Berpikiran positif, itulah yang tengah dilakukan Silvi. Ia meyakinkan dirinya sendiri kalau Calvin takkan berselingkuh. Ia pergi selama beberapa hari semata untuk urusan pekerjaan. Terlebih Adica dan Syifa sempat bercerita padanya. Tentang politik kantor yang tidak disukai Calvin. Mungkin Calvin sedang menyelesaikan urusan tak menyenangkan di perusahaannya itu. Kelak perusahaan keluarga akan jatuh ke tangan Calvin. Sudah disepakati dalam daftar ahli waris.
Sepi menyelimuti rumah besar itu. Sepi yang sama menyusup ke hati Silvi. Pelan-pelan, wanita cantik itu melangkah mundur. Kembali masuk ke dalam rumah. Calvin mengajarinya menikmati kesepian. Terasa sulit sekali. Silvi bukanlah Calvin yang mudah menikmati sepi.
Bel pintu berdering. Merasa teralihkan dari rasa sepi, Silvi bergegas ke ruang depan. Membukakan pintu, dilihatnya Syifalah yang datang. Satu tangannya memegang paperbag berisi beberapa potong pakaian.
"Hai Silvi," sapa Syifa hangat.
"Aku boleh masuk, kan? Kubawakan baju-bajumu yang tertinggal di rumah Mama."
Silvi mengangguk tanpa kata. Mempersilakan Syifa masuk. Orang yang paling ia inginkan kehadirannya saat ini adalah Calvin, bukan Syifa. Alhasil Silvi tak banyak bicara.
"Well, kamu pasti rindu Kak Calvin ya?" tebak Syifa, tersenyum simpul melihat gurat keresahan di wajah kakak iparnya.
"Ya, begitulah." jawab Silvi.
"Sabar. Kak Calvin pasti cepat kembali. Terapinya juga sudah selesai."
"Terapi?"
Refleks Syifa menepuk dahi. Ia telah melakukan kesalahan fatal. Keceplosan adalah kesalahan yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.