Saat menemani Mama saya berbelanja, saya sengaja memisahkan diri darinya. Saya berjalan-jalan sendirian mengitari bagian lain dari areal pusat perbelanjaan. Begitulah kebiasaan saya tiap kali bepergian dengan satu atau beberapa anggota keluarga saya ke mall atau tempat belanja tertentu. Memisahkan diri dan berjalan-jalan sendiri, itulah yang saya sukai. Biasanya mereka baru sadar jika saya sudah tak berada di dekat mereka lagi. Lalu salah satu dari mereka akan bergegas menyusul saya dengan sikap over protektifnya. Padahal saya tidak apa-apa.
Sore itu, saya pun kembali melakukan hal yang sama. Menjauh dari Mama saya yang sibuk memilih-milih barang, lalu berjalan-jalan sendirian. Saya nikmati langkah demi langkah menyusuri deretan rak yang memajang berbagai display barang. Alunan lagu yang disusun oleh profesional playlist market saya dengarkan. Sesekali saya ikut menyenandungkan liriknya. Pokoknya saya benar-benar menikmati kesendirian dan keleluasaan saya.
Sampai akhirnya, saya tiba di depan sebuah rak yang memajang macam-macam coklat dari berbagai merk. Langkah saya terhenti. Tertarik, saya melihat-lihat varian coklat yang ditawarkan. Salah satu varian coklat menarik perhatian saya. Saya ambil satu, lalu mengamatinya. Melihat kertas pembungkus dan labelnya.
 Saat itulah sepotong kenangan terlintas di benak saya. Ini bukan coklat biasa. Setidaknya bagi saya. Coklat satu itu merupakan jenis coklat yang dulu sering diberikan sahabat masa kecil saya saat hari Valentine. Tiap tahun, saya menerima varian coklat itu darinya. Sedangkan saya biasa memberikan coklat dengan berbagai macam varian tiap tahunnya. Saling memberikan coklat, itulah rutinitas yang biasa saya dan sahabat masa kecil lakukan di hari Valentine.
Seketika, saya langsung teringat sahabat masa kecil saya itu. Dia gadis cantik berdarah keturunan yang sangat baik. Rona kecantikannya khas oriental. Saya suka itu. Wajah oriental, kulit putih, dan mata sipit membuat sahabat masa kecil saya itu menjadi gadis yang rupawan. Senang berbagi dan penolong, itulah dua kesan positif dari sosoknya. Lumpuh sejak lahir tak mematahkan semangat hidupnya. Ia justru periang dan penuh semangat dalam menjalani hidup.
Masih segar dalam ingatan saya enam tahun persahabatan kami di Elementary School. Dulu, saya sering mendorong kursi rodanya. Mengajaknya jalan-jalan di taman. Menolongnya semampu saya. Saat itu, kondisi penglihatan saya masih sangat bagus. Bahkan nyaris sempurna seratus persen. Sehingga saya mampu membantunya. Meski satu sekolah dan hampir tiap hari bertemu, tapi tiap sore kami sering bertelepon. Dia satu dari sedikit teman yang tahu nomor telepon rumah saya. Saat itu saya dan keluarga belum pindah rumah. Semuanya masih baik-baik saja.
Saya percaya. Sama halnya seperti ketampanan, kecantikan pun tak hanya di luar saja. Ada inner beauty, kecantikan yang terpancar dari dalam. Nah, sahabat masa kecil saya ini gadis yang cantik luar-dalam menurut penilaian saya. Dia anak baik, orang tuanya pun baik. Saya kenal baik Mamanya. Dia pun kenal baik Mama-Papa saya. Tuhan memanggil Papanya sejak kecil. Alhasil dia nyaris tak pernah mengenal Papanya.
Tiap kali saya mengikuti berbagai ajang kompetisi dan syukur Alhamdulillah selalu menjuarainya, dia selalu menyemangati serta mensupport saya. Saat saya latihan menyanyi, dia selalu menemani. Guru privat yang melatih waktu itu mengizinkan dia ikut masuk ruangan untuk menemani saya. Hari Minggu adalah waktunya ibadah ke gereja dan terapi syaraf. Sedangkan saya punya jadwal rutin siaran radio setiap Minggu pagi. Kebetulan saya dipercaya menjadi host program radio untuk anak-anak.Â
Meski sibuk beribadah dan terapi, teman saya yang satu itu selalu menyempatkan waktu untuk mendengar saya siaran. Sungguh, hal itu membuat saya tersentuh. Waktunya ia berikan untuk saya. Kompasianer, bukankah waktu sangat penting dan tak bisa tergantikan? Saya lebih menghargai orang yang konsisten dan bisa meluangkan waktu dibandingkan orang cerdas yang inkonsisten dan tidak bisa memberikan waktu sedikit pun. Percayalah, waktu sangatlah penting dan berharga.
Kembali ke sahabat masa kecil, saya dan dia selalu bersama. Kebetulan juga kami sekelas. Saat kelas 5 dan 6, saya terpilih sebagai ketua kelas. Betapa susahnya menertibkan kelas dengan anak-anak super nakal dan super aktif seperti itu. Dulu, kelas saya dikenal paling berisik dan paling bandel murid-muridnya. Kesabaran ekstra saya berikan demi membuat kelas yang saya pimpin menjadi kondusif. Untunglah sahabat saya itu cukup baik dan pengertian. Sehingga dia mudah diatur. Selain itu, dia bisa diajak kerjasama dalam mengurus kelas.
Perbedaan budaya dan agama tidak menjadi halangan kami untuk bersahabat. Teman-teman sering menjuluki saya 'Bule'. Sedangkan sahabat saya itu diberi julukan yang berkaitan dengan rasnya, tapi saya tak tega menuliskannya di sini. Kami tak pernah bertengkar. Selalu kompak dan solid. Menjelang Natal, saya tak lupa memberi hadiah padanya. Sebaliknya, beberapa hari sebelum Lebaran, dia memberi saya hadiah yang saya sukai. Dari dialah saya tahu tentang Imlek dan berbagai tradisi Tionghoa lainnya. Saya pun bisa merasakan lezatnya kue keranjang saat Imlek karena dirinya. Di dekatnya, saya selalu berusaha membuatnya bahagia dan optimis dalam menjalani hidup. Saya menyayanginya. Saya perlakukan dia dengan perhatian dan cinta kasih. Sikap lembut selalu saya tunjukkan setiap kali berinteraksi dengannya.
Itulah sekelumit kisah saya dengan sahabat masa kecil yang saya rindukan. Ya, saya merindukannya. Saya ingin memeluknya dan mengajaknya jalan-jalan seperti dulu. Hati saya diliputi tanda tanya. Bagaimana kabarnya? Apakah terapinya membawa kemajuan? Lantas, apa yang terjadi dengan keluarganya? Sayangnya, saya lost contact dengan dia.
Melihat coklat-coklat penuh kenangan itu, hasilnya saya jadi baper. Perasaan rindu sulit tertahankan. Susah payah saya coba mengontrolnya. Saya alihkan perhatian dari rasa rindu, sedih, dan kehilangan. Berbagai cara saya lakukan untuk mengontrol perasaan. Termasuk mengambil coklat-coklat itu. Memegangnya, dan...mengecupnya. Yups, saya berhasil meninggalkan noda lipstick di atas coklat-coklat itu. Beberapa pengunjung pusat perbelanjaan dan para pegawai memperhatikan saya. Saya tak peduli. Biarkan saja saya jadi pusat perhatian, yang penting saya bisa mengontrol perasaan.
Lagu yang terputar saat itu membuat saya makin baper. Tepat pada saat itu, Mama menghampiri saya. Memegang tangan saya, lalu mengajak ke kasir. Ternyata semua barang sudah dibeli. Tidak ada kata-kata protes atau keluhan karena saya suka menghilang dengan sengaja.
Lagi-lagi saya mencoba mengalihkan pikiran dan perasaan. Tanpa diminta, saya membantu memindahkan barang belanjaan dari troli ke meja kasir. Sebenarnya saya sudah biasa melakukan itu. Tanpa diminta sekali pun. Saya hanya ingin meringankan tugas orang lain. Namun kali ini saya melakukannya karena ingin mengontrol perasaan.
Proses pembayaran selesai. Barang-barang yang dibeli cukup banyak. Alhasil harus memakai troli untuk dibawa keluar. Sekali lagi, tanpa diminta, saya mengambil alih troli itu dan mendorongnya. Saya melangkah anggun sambil mendorong troli. Areal pusat perbelanjaan itu seolah catwalk. Senyum termanis saya berikan pada para pengunjung pusat perbelanjaan yang berpapasan dengan saya. Tak lupa tatapan mata dan cara 'show your aura' yang pernah saya dapatkan dari instruktur modeling, saya gunakan dan praktikkan. Bukan bermaksud tebar pesona atau cari perhatian. Justru saya ingin mengalihkan pikiran dan mengontrol perasaan. Dengan cara itulah perasaan saya bisa terkontrol. Peduli apa saat mereka jadi memperhatikan dan melirik penuh rasa penasaran? Yang penting perasaan saya terkontrol. Ternyata sedikit bertingkah bisa mengontrol perasaan saya. Entah cara ini lazim atau tidak, saya tak peduli. Ini style saya, ini hidup saya.
Sampai di luar, giliran Mama saya yang terbawa emosi. Mama marah-marah karena ada barang yang tak sesuai. Saya tahu persis siapa Mama saya. Pemberani, to the point, dan tegas. Apa pun yang tidak sesuai akan langsung dipertanyakan. Betul, detik itu juga Mama langsung komplain dan marah-marah. Hampir semua orang di sana kena getahnya. Saya hanya diam. Tidak berkomentar apa-apa, tidak pula berusaha menenangkan. Aturan mainnya saya hafal: jangan coba-coba menyela, membantah, atau melawan saat Mama sedang marah. Biarkan saja.
Bukannya gentar, saya tetap tenang. Saya bukanlah Mama yang mudah terbawa emosi. Ingin rasanya saya meminta dan mengajari Mama untuk mengontrol perasaan. Namun saya tak mau jadi anak durhaka. Nanti disangka saya anak tak tahu diri yang berani kurang ajar pada orang tuanya.
Saat malam tiba, barulah saya sampai di rumah. Saya lampiaskan perasaan dengan memeluk boneka kesayangan saya, Kermit dan Aurora. Saya bicara pada Kermit. Saya katakan bila saya rindu sahabat masa kecil dan ingin memeluknya. Ingin sekali saya bercerita banyak hal padanya. Tentang studi, kegiatan non akademis, cinta, dan perasaan. Pastilah dia akan menjadi pendengar yang baik. Saya rindu, benar-benar rindu.
Dua kejadian di atas memberikan pelajaran berharga. Perasaan apa pun yang hadir di dalam hati, cobalah mengontrolnya. Entah itu perasaan positif dan negatif. Bila porsinya berlebihan, takkan baik bagi pikiran dan tubuh kita.
Rasa cinta, benci, rindu, marah, kecewa, dan bahagia, ada baiknya dikelola sedemikian rupa. Agar perasaan itu tidak menjadi berlebihan dan merusak pikiran kita. Segala sesuatu haruslah seimbang, tak terkecuali perasaan dan emosi yang ada di hati. Benci yang berlebihan tidak baik. Begitu pula cinta yang berlebihan sama tidak baiknya. Kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang terlalu besar dapat menimbulkan masalah. So, kontrollah perasaan itu. Tempatkan setiap jenis perasaan pada posisi dan kapasitas yang tepat.
Bagaimana cara mengontrolnya? Bisa dengan cara apa saja. Misalnya, mengalihkan pikiran dan perhatian ke arah lain. Melakukan sesuatu yang disukai. Mengonsumsi makanan dan minuman favorit yang dapat menenangkan perasaan. Mendengarkan musik juga mempermudah kita mengontrol perasaan. Asalkan jenis musik yang kita dengarkan bukanlah musik yang membuat perasaan kita lebih buruk. Menulis, berkomunikasi dengan benda kesayangan, hypnotherapy, katarsis, dan curhat pada orang lain dapat pula menjadi sarana kontrol perasaan. Tiap orang mempunyai karakter yang berbeda-beda. Cara mereka mengontrol perasaan pun tak sama. Perlu diingat, perasaan tetap harus dikontrol agar tidak berlebihan dan menjadi hal buruk bagi diri kita sendiri.
Kompasianer, siapkah mengontrol perasaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H