Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Jangan Bawa Kermit", Sebuah Media Katarsis

2 September 2017   07:19 Diperbarui: 2 September 2017   10:47 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saat hari raya Idul Adha kemarin, rumah saya kedatangan anggota keluarga lainnya. Seperti biasa, obrolan ringan dan cerita-cerita mengalir hangat tiap kali kumpul keluarga. Seperti biasa pula, saya kesepian di tengah keramaian. Cukup pasang posisi anggun, tersenyum cantik, dan menjadi pendengar saja. Toh saya menikmatinya juga. Sedikit bicara, banyak mendengarkan, berikan senyum tulus. Itu sudah cukup di tengah rasa sepi yang mengepung hati saya.

Tetiba saja, Mama menawari salah satu anggota keluarga untuk membawa koleksi boneka di rumah ini. Mama memang murah hati. Tak pernah segan memberikan sesuatu untuk orang lain.

Kata anggota keluarga itu, "Boleh. Boneka yang mana? Yang hijau itu?"

Spontan saya mencegah. "Jangan bawa Kermit. Boleh bawa boneka yang mana aja, asalkan bukan Kermit dan Aurora."

Mama dan yang lainnya paham. Akhirnya Kermit tidak jadi dibawa. Entah terdorong oleh motivasi apa, saya buru-buru bangkit dan mengambil boneka hijau berbentuk katak bernama Kermit itu. Saya memeluknya, mungkin ada bentuk proteksi di balik tindakan pelukan secara refleks itu.

Dua bulan terakhir, saya memiliki perasaan sayang yang lebih pada dua di antara koleksi boneka cantik milik saya. Satu boneka dengan kombinasi warna pink dan white, satu lagi boneka hijau berbentuk katak. Boneka cantik berwarna kombinasi pink-white itu bernama Aurora. Sedangkan boneka hijau berbentuk katak itu namanya Kermit. Aurora saya letakkan di ruang tamu. Sebelum dan sesudah shalat, saya sering kali memeluk dan membelai-belainya. Sementara Kermit ada di kamar saya. Menjadi teman saya di tempat tidur. Tiap kali saya sedih, ketakutan, dan kesepian, saya peluk Kermit. Dua boneka cantik itu lebih saya sayangi dibanding koleksi boneka lainnya. Kermit dan Aurora adalah pengingat untuk saya. Meski saya sendiri yang membeli dua boneka itu, tapi namanya pemberian orang lain. Saya takkan lupa, baik itu boneka-bonekanya maupun yang memberikan nama untuk keduanya.

Saya sering merasa sulit tidur. Berjam-jam lamanya saya mencoba untuk tidur, tapi hasilnya nihil. Aurora dan Kermitlah yang ada di dekat saya. Saya peluk dan jadikan mereka sebagai pengingat di kala kesepian datang di larut malam.

Percaya atau tidak, saya sering berbicara pada Aurora dan Kermit. Saya bercerita apa saja pada mereka. Perasaan sedih, bahagia, curahan hati, kerinduan, apa pun saya ungkapkan pada mereka. Seolah Aurora dan Kermit dapat mendengar.

Sayangnya, beberapa kali air mata dan darah saya menetes di tubuh mereka. Selama masih memungkinkan, saya tak ingin menangis atau memperlihatkan luka di depan orang lain. Sebagai ganti, saya memilih menangis dan menumpahkan darah dari luka saya ke tubuh boneka-boneka kesayangan itu. Lebih aman dan tidak terdeteksi orang lain. Meski dampaknya boneka-boneka cantik itu lebih cepat kotor.

Kermit dan Aurora menjadi saksi bisu kesedihan dan luka-luka saya dua bulan terakhir. Orang-orang yang saya sayangi tak bisa selamanya terus di dekat saya. Alhasil, saya hanya punya Kermit dan Aurora.

Minggu depan perkuliahan sudah dimulai. Kemungkinan besar saya akan lebih banyak membutuhkan Kermit dan Aurora. Di kampus saya tidak punya sahabat. Jujur, saya sudah tak nyaman dengan suasana perkuliahan. Indeks prestasi bagus, tapi solidaritas nol. Individualisme begitu terasa. Terlebih mereka beda prinsip dengan saya. Mereka hanya mendekati saya bila ada butuhnya saja. Misalnya untuk diajari materi pelajaran, minta bantuan terkait motivasi, hypnotherapy, dan relasi dengan lawan jenis. 

Terlebih di sana ada seseorang yang pernah mengkhianati dan menusuk saya dari belakang. Teman-teman sejurusan saya berkubu-kubu, dan saya tidak suka itu. Banyak di antara mereka terlibat cinta lokasi lalu pamer kemesraan di depan dosen. Tak jarang para dosen mengkritik mereka. Tekanan yang dihadapi semakin besar. So, saya akan lebih sering membutuhkan Aurora dan Kermit. Tiap kali memeluk mereka, rasanya lebih baik. Saya merasa tenang. Kermit dan Aurora adalah pengingat. Saya ingat mereka, ingat pula pada siapa yang telah memberikan nama untuk mereka. Begitu saja sudah cukup.

Cuplikan kisah di atas dialami pula oleh banyak orang. Tak sedikit orang yang mempunyai benda kesayangan. Biasanya, mereka sulit terpisahkan dengan benda kesayangan itu. Memiliki benda kesayangan identik pula dengan orang yang berkepribadian introvert, romantis, dan melankolis.

Benda apa pun berpotensi menjadi benda kesayangan. Baju, tas, sepatu, boneka, jam tangan, aksesoris, piano,  selimut, bantal, bahkan mobil sekali pun. Entah karena nilai historis atau faktor kenyamanan belaka.

Senangnya punya benda kesayangan. Kita bisa memeluknya, menciumnya, dan mengusap-usapnya dengan lembut. Kita juga bisa mengajak bicara benda kesayangan kita. Hati terasa tenang saat berada di dekat benda kesayangan.

Memberi nama untuk benda kesayangan? Mengapa tidak? Saya sering melakukannya. Bahkan menamai benda kesayangan juga menjadi kebiasaan Nabi Muhammad. Pedang kesayangan Rasulullah diberi nama Dzulfikar. Kuda piaraannya dinamai Luhaif.

Ternyata memiliki benda kesayangan ada manfaatnya. Benda kesayangan dapat menjadi media katarsis. Istilah katarsis berasal dari Bahasa Yunani yang berarti penyucian diri dengan cara melepaskan ketegangan. Katarsis dipopulerkan oleh Sigmund Freud, pelopor psikoanalisis. Selain melepaskan ketegangan, katarsis dapat menyalurkan emosi yang terpendam. Bukankah emosi yang terpendam secara berlebihan tidak baik bagi kesehatan?

Ada banyak teknik katarsis. Curhat menjadi teknik katarsis yang paling mainstream. Dengan curhat, perasaan seseorang menjadi lebih lega. Ada pula yang menemukan ketenangan, kebahagiaan, dan harapan baru setelah curhat. Ketika seseorang curhat dan menceritakan masalahnya, sebaiknya jangan langsung memberikan solusi. Berikan mereka kesempatan untuk melepaskan emosi yang terpendam. Tiap orang butuh pelepasan emosi. Biarkan mereka melakukan teknik katarsis. 

Memberikan solusi saat seseorang masih memendam emosi tidak banyak gunanya. Orang cenderung meneruskan keluh kesah mereka dan mengabaikan saran kita. Tunggu dengan sabar sampai ia melepaskan seluruh emosinya. Sabarlah sedikit sampai proses katarsisnya selesai. Setelah ia tenang, barulah berikan solusi. Bila solusi diberikan dalam keadaan tenang, orang akan lebih mudah menerima dan menurutinya. Bahkan, ada kalanya orang curhat hanya ingin didengarkan. Semata ingin melakukan teknik katarsis dengan melepas perasaan, bukannya minta solusi.

Media katarsis lainnya adalah menulis. Perasaan seseorang dapat tercurah lewat tulisan. Menulis dapat melepaskan emosi bagi mereka yang melakukannya. Misalnya, kita kesal dan gemas dengan masalah politik yang tak kunjung selesai. Emosi dan kekesalan yang terpendam di dalam hati bisa kita tumpahkan lewat tulisan. Dari sinilah proses katarsis bekerja. Melepaskan emosi dan kekesalan yang terpendam dalam tulisan. Menulis dapat membantu menyalurkan emosi. Dari pada menjadi penyakit, lebih baik dikatarsis saja dengan menulis.

Bermain musik juga layak dijadikan media katarsis. Contohnya saat bermain piano. Musik dimainkan, perasaan dicurahkan lewat alunan musik yang kita mainkan. Jemari bergerak membawakan sebuah lagu. Ekspresi perasaan dan emosi ada di sana. Piano atau alat musik lainnya bisa menjadi media katarsis yang efektif.

Ada pula metode katarsis yang kekinian: update status di media sosial. Ya, media sosial dapat pula dijadikan media katarsis. Update status berarti menceritakan perasaan atau kesan kita pada suatu hal. Ada proses pelepasan emosi di sana. Metode katarsis yang satu ini sedang populer di masa kekinian.

Dalam hypnotherapy, terdapat satu langkah yang melibatkan teknik katarsis. Seperti dijelaskan Charles Tebbet dalam bukunya, Miracles on Demand, terdapat empat langkah terapi. Posthypnotic suggestion & immagery, release emosi, discovering the root cause, re-learning and re-writing history. Saat release emosi itulah terjadi proses katarsis dimana emosi yang terpendam dilepaskan. Hypnotherapy sendiri memanfaatkan kondisi hipnotic state atau trance. Ketika memasuki tahap release emosi, klien akan mengalami proses katarsis. Perasaan dan emosinya yang semula terpendam mulai dilepaskan.

Katarsis sangat baik untuk menekan risiko penyakit Psikosomatis, stress, dan depresi. Lalu, apa hubungannya katarsis dengan benda kesayangan? Komunikasi dengan benda kesayangan merupakan salah satu media katarsis. Tanpa kita sadari, ketika kita memeluk, mencium, membelai, dan mengajak bicara benda kesayangan, kita sedang melakukan teknik katarsis. Medianya adalah benda kesayangan itu sendiri.

Pelepasan beban, perasaan, dan emosi sedang berlangsung ketika kita berkomunikasi dengan benda kesayangan. Benda kesayangan dapat menjadi media katarsis yang paling mudah dan dekat untuk dijangkau dengan kita. Misalnya saat kita kesepian dan tak punya teman curhat, kita bisa lakukan teknik katarsis dengan benda kesayangan kita. Bagi mereka yang tidak terlalu suka mengekspos kehidupannya di medsos dan cenderung sulit mempercayai orang lain, benda kesayangan layak dijadikan media katarsis. Begitu juga untuk orang-orang yang tidak suka menulis, katarsis saja dengan benda kesayangan.

Eits, jangan lupa. Selain menjadikannya media katarsis, rawatlah benda kesayangan kita. Rajinlah mencuci dan membersihkannya. Jagalah benda kesayangan kita agar tidak rusak. Perlakukan benda kesayangan kita dengan lembut. Jangan memukul, merusak, melempar, menginjak, mematahkan, menghancurkan, atau menjadikan benda kesayangan sebagai pelampiasan emosi negatif.

Kompasianer, apakah benda kesayangan kalian?

Paris Van Java, 2 September 2017

Hanya artikel kecil yang ditulis sambil menunggu seseorang bangun dari tidurnya. Saya mulai memahami kebiasaannya, dan saya menunggu dia bangun untuk mengucapkan terima kasih serta mengirimkan lagu untuknya. Berikanlah perhatian, sekecil apa pun. Sebab perhatian dan kasih sayang yang tulus bernilai kebaikan bagi pemberi dan penerimanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun