Terlebih di sana ada seseorang yang pernah mengkhianati dan menusuk saya dari belakang. Teman-teman sejurusan saya berkubu-kubu, dan saya tidak suka itu. Banyak di antara mereka terlibat cinta lokasi lalu pamer kemesraan di depan dosen. Tak jarang para dosen mengkritik mereka. Tekanan yang dihadapi semakin besar. So, saya akan lebih sering membutuhkan Aurora dan Kermit. Tiap kali memeluk mereka, rasanya lebih baik. Saya merasa tenang. Kermit dan Aurora adalah pengingat. Saya ingat mereka, ingat pula pada siapa yang telah memberikan nama untuk mereka. Begitu saja sudah cukup.
Cuplikan kisah di atas dialami pula oleh banyak orang. Tak sedikit orang yang mempunyai benda kesayangan. Biasanya, mereka sulit terpisahkan dengan benda kesayangan itu. Memiliki benda kesayangan identik pula dengan orang yang berkepribadian introvert, romantis, dan melankolis.
Benda apa pun berpotensi menjadi benda kesayangan. Baju, tas, sepatu, boneka, jam tangan, aksesoris, piano, Â selimut, bantal, bahkan mobil sekali pun. Entah karena nilai historis atau faktor kenyamanan belaka.
Senangnya punya benda kesayangan. Kita bisa memeluknya, menciumnya, dan mengusap-usapnya dengan lembut. Kita juga bisa mengajak bicara benda kesayangan kita. Hati terasa tenang saat berada di dekat benda kesayangan.
Memberi nama untuk benda kesayangan? Mengapa tidak? Saya sering melakukannya. Bahkan menamai benda kesayangan juga menjadi kebiasaan Nabi Muhammad. Pedang kesayangan Rasulullah diberi nama Dzulfikar. Kuda piaraannya dinamai Luhaif.
Ternyata memiliki benda kesayangan ada manfaatnya. Benda kesayangan dapat menjadi media katarsis. Istilah katarsis berasal dari Bahasa Yunani yang berarti penyucian diri dengan cara melepaskan ketegangan. Katarsis dipopulerkan oleh Sigmund Freud, pelopor psikoanalisis. Selain melepaskan ketegangan, katarsis dapat menyalurkan emosi yang terpendam. Bukankah emosi yang terpendam secara berlebihan tidak baik bagi kesehatan?
Ada banyak teknik katarsis. Curhat menjadi teknik katarsis yang paling mainstream. Dengan curhat, perasaan seseorang menjadi lebih lega. Ada pula yang menemukan ketenangan, kebahagiaan, dan harapan baru setelah curhat. Ketika seseorang curhat dan menceritakan masalahnya, sebaiknya jangan langsung memberikan solusi. Berikan mereka kesempatan untuk melepaskan emosi yang terpendam. Tiap orang butuh pelepasan emosi. Biarkan mereka melakukan teknik katarsis.Â
Memberikan solusi saat seseorang masih memendam emosi tidak banyak gunanya. Orang cenderung meneruskan keluh kesah mereka dan mengabaikan saran kita. Tunggu dengan sabar sampai ia melepaskan seluruh emosinya. Sabarlah sedikit sampai proses katarsisnya selesai. Setelah ia tenang, barulah berikan solusi. Bila solusi diberikan dalam keadaan tenang, orang akan lebih mudah menerima dan menurutinya. Bahkan, ada kalanya orang curhat hanya ingin didengarkan. Semata ingin melakukan teknik katarsis dengan melepas perasaan, bukannya minta solusi.
Media katarsis lainnya adalah menulis. Perasaan seseorang dapat tercurah lewat tulisan. Menulis dapat melepaskan emosi bagi mereka yang melakukannya. Misalnya, kita kesal dan gemas dengan masalah politik yang tak kunjung selesai. Emosi dan kekesalan yang terpendam di dalam hati bisa kita tumpahkan lewat tulisan. Dari sinilah proses katarsis bekerja. Melepaskan emosi dan kekesalan yang terpendam dalam tulisan. Menulis dapat membantu menyalurkan emosi. Dari pada menjadi penyakit, lebih baik dikatarsis saja dengan menulis.
Bermain musik juga layak dijadikan media katarsis. Contohnya saat bermain piano. Musik dimainkan, perasaan dicurahkan lewat alunan musik yang kita mainkan. Jemari bergerak membawakan sebuah lagu. Ekspresi perasaan dan emosi ada di sana. Piano atau alat musik lainnya bisa menjadi media katarsis yang efektif.
Ada pula metode katarsis yang kekinian: update status di media sosial. Ya, media sosial dapat pula dijadikan media katarsis. Update status berarti menceritakan perasaan atau kesan kita pada suatu hal. Ada proses pelepasan emosi di sana. Metode katarsis yang satu ini sedang populer di masa kekinian.