Kami berpelukan erat saat kembali bertemu. Bahagia sekali bisa bertemu dan berkumpul lagi. Di ruangan yang sama pula, tempat kami biasa rapat waktu itu. Rasanya terjebak nostalgia.
Puas berpelukan, kami mulai bertukar cerita. Mereka bertanya tentang novel yang baru saya selesaikan. Saya menceritakannya, hasilnya saya malah dihadiahi tepuk tangan oleh mereka. Saya benar-benar bahagia ada di dekat mereka. Teman-teman saya pun menceritakan aktivitas dan prestasi. Ada yang baru saja melakukan student exchange ke Korea. Ada pula yang Indeks Prestasinya sangat bagus. Salah seorang teman sedikit bercerita tentang bisnis cafe yang baru dijalankannya. Kami antusias mendengarkan tiap keberhasilan dan target yang telah tercapai. Saya bangga memiliki mereka. Saya bangga bisa menjadi bagian dari mereka. Anak-anak muda rupawan, berprestasi, cerdas, setia, dan konsisten. Paket lengkap dan loveable.
Kemudian salah seorang adik kelas datang. Ia menceritakan jalannya perpolitikan di sekolah ini. Tentang kepala sekolah baru yang cukup baik, tentang para guru pembina OSIS, dan problem-problem internal yang terjadi. Kami bertanya banyak hal padanya. Termasuk bertanya siapa finalis yang mewakili pemilihan duta wisata tahun ini. Jawabannya sangat menggembirakan: ternyata finalis yang mewakili pemilihan duta pengurus OSIS dan MPK juga. Betapa bangganya kami. Berarti, kami punya penerus. Alumni duta tak hanya kami. Adik kelas dari angkatan di bawah kami pun meneruskannya. Banyak dari kami pernah mengikuti pemilihan itu. Praktis, kami masih hafal bagaimana sikap seorang duta yang baik. Walau kami tertawa dan bercanda, namun kami tetap duduk dan bergerak dengan cara yang anggun. Penampilan pun sangat diperhatikan. Bukan pencitraan atau tebar pesona. Hanya sekedar menerapkan contoh yang baik.
Selesai dengan urusan LKO dan LKMPK, kami mulai bercerita sesuatu yang lebih serius. Kami menjaga privasi. Maka kami memilih ruangan terpisah. Duduk bersisian di karpet yang tebal dan hangat, kami mulai saling membuka diri. Awalnya, teman saya yang memulai. Saya hanya menjadi pendengar. Dia bercerita tentang masalah-masalah yang dihadapinya. Sulitnya memimpin sebuah organisasi. Saya mengerti perasaannya. Memang tak mudah untuk memimpin. Selalu saja jiwa kepemimpinan kita diuji. Semakin tinggi posisi seseorang, semakin sedikit orang yang bisa diajak diskusi dengan terbuka. Makin sedikit orang yang dapat dipercaya. Saya tatap wajah cantiknya. Masih terlihat gurat kekecewaan dan kelelahan di sana. Tapi dia gadis yang tegar dan dewasa. Jiwa kepemimpinan diimbangi dengan sifat tangguh dan kecantikan wajah. Bangga pada teman baik saya yang satu ini.
Ia juga bercerita tentang kekasihnya. Saya kenal siapa kekasihnya. Pemuda tampan yang satu almamater dengan kami. Dulunya, ia ketua ekskul. Namun pemuda ini tergolong bad boy. Bad boy dan good girl. Sebuah kisah klise, pikir saya. Sebenarnya, saya dan teman-teman lain tak setuju pada pilihannya. Teman kami yang cantik itu layak mendapat pasangan yang lebih baik. Hal ini sudah sering terjadi. Teman-teman saya yang masuk kategori nice guy, prince charming, good girl, princess, miss perfect, dan semacamnya, justru punya pasangan kekasih yang berkebalikan dengan mereka. Tipenya biasanya bad boy atau bad girl. Saya sendiri tak habis pikir kenapa mereka memilih tipe semacam itu. Kalau saya jadi mereka, saya lebih memilih good boy. Saya akan berpikir ratusan kali sebelum memutuskan bersama bad boy. Terlalu berat risikonya. Belum tentu cocok juga.
Saya mencoba menasihati dia. Agar dia memikirkan ulang lagi pilihannya. Jika hubungan mereka masih sehat dan saling cinta, tidak apa-apa. Lanjutkan saja. Namun bila sudah tak sehat dan hanya bertahan karena status, lebih baik akhiri saja. Saya meminta dia memikirkan baik-baik perasaannya. Dia mendengarkan saran saya dan menurutinya.
Tanpa terduga, teman-teman saya jauh lebih kritis dan cerdas. Mereka ternyata memperhatikan saya dari jauh. Mereka mengikuti tulisan-tulisan saya. Mereka tahu aktivitas dan target saya. Benteng pertahanan saya runtuh. Saya yang awalnya enggan membuka diri, mulai bercerita sedikit demi sedikit. Tentang apa yang telah terjadi sampai saat ini. Tentang patah hati, kontrol perasaan, penyiapan mental, dan tanda tanya yang masih memenuhi hati saya hingga detik ini. Saya ceritakan dengan jujur dan apa adanya. Sia-sia saja bersembunyi dari mereka. Toh mereka sudah tahu lebih dulu. Mudah bagi mereka untuk mengetahui semua yang telah terjadi.
Kebersamaan itu benar-benar saya nikmati. Kemarin adalah hari yang sempurna. Saya berada kembali di lingkungan yang membuat nyaman. Saya ada di dekat orang-orang yang klop dan sejalan dengan saya. Hati dan perasaan saya begitu hangat. Sayangnya, saya hanya bisa bersama mereka selama dua jam. Saya sudah janji dengan Mama saya.
Saat menikmati menu di resto favorit kami, saya sedikit membuka diri. Menceritakan prestasi dan keberhasilan teman-teman terbaik yang pernah saya miliki dan sayangi. Mama saya kenal baik semua teman saya. Sekali lagi saya bangga. Sewaktu masih sekolah, mereka anak-anak yang pintar dan membanggakan. Kini setelah mereka menjadi mahasiswa, mereka pun sukses dengan karier dan studinya masing-masing. Saya selalu mendoakan kesuksesan, kesehatan, dan kebahagiaan mereka.
Selain kesetiaan, ada satu lagi poin berharga yang dapat direfleksikan dari kejadian kemarin: waktu tak dapat terganti. Waktu tak dapat diputar ulang, apa lagi dibeli. Cobalah berhenti sejenak dari kesibukan dan luangkan waktu untuk orang-orang terdekat. Beri mereka kesempatan untuk bertemu kita. Berikan ruang untuk saling bicara dari hati ke hati.
Kemajuan teknologi mempermudah kita untuk berkomunikasi. Akan tetapi, pesatnya kemajuan teknologi tidak dapat menggantikan waktu dan momen kebersamaan secara nyata. Berinteraksi secara langsung, tanpa perantara aplikasi sosial media, jauh lebih dalam esensinya. Berbicara, berkontak fisik, bertukar cerita, saling memotivasi, adalah bentuk nyata dari kebersamaan. Waktu tak dapat ditukar dengan materi. Sering kali terjadi kasus keretakan suatu hubungan hanya karena kurangnya waktu.