Tiba-tiba, si ketua kelas mendekati saya. Dia mengajak saya ngobrol. Saya tanggapi dengan ramah dan ceria seperti biasa. Akan tetapi, firasat saya mengatakan, ada yang tidak beres. Saya membaca adanya maksud lain di hatinya yang terdalam.
Lama mengobrol, akhirnya dia meninggalkan bangku saya. Intuisi saya mulai meneliti adanya keanehan dalam diri ketua kelas itu. Sampai akhirnya, sahabat saya mendekat. Dia mengatakan sesuatu pada saya. Firasat saya benar. Ternyata, si ketua kelas ingin menawarkan bocoran soal dan kunci jawaban. Namun ia takut dan segan pada saya. Makanya dia tidak berani menawarkannya secara langsung. Saya heran, mengapa harus takut? Kalau ingin menawarkan, ya tawarkan saja. Toh jawabannya sudah jelas: saya tolak sekali pun gratis.
Mendengar itu, saya hanya melempar senyum dan berkata tegas. Saya takkan membeli bocoran soal dan kunci jawaban itu. Terserah yang lain mau membelinya, saya tak mau ikut-ikutan. Saya punya prinsip sendiri. Dan sahabat saya pun tak ikut membelinya juga. Saya senang dengan keputusannya.
Keesokan harinya, tangan saya terluka cukup parah. Darah mengalir membasahi lengan baju saya. Jika sudah begitu, saya lebih suka sendiri. Mengatasi dan menyimpan rasa sakit sendiri tanpa diketahui orang lain. Termasuk teman-teman saya. Apa lagi mereka takut darah. Sedangkan saya sama sekali tidak takut. Buat apa takut? Melihat darah sudah biasa.
Tanpa diduga, si ketua kelas itu mendekati saya lagi. Padahal waktu itu saya ingin sendiri. Saya tak ingin memperlihatkan kesakitan di depan siapa-siapa. Apa lagi saya terluka karena kecerobohan yang sudah sering terjadi.
Dia menanyai saya. Apakah saya baik-baik saja atau tidak. Apakah lukanya terasa sakit atau tidak. Saya jawab tidak apa-apa dan bergegas meninggalkannya. Sebelum saya pergi, lagi-lagi feeling saya bekerja. Membisikkan bahwa si ketua kelas sebenarnya masih ingin menawarkan bocoran soal dan kunci jawaban. Untunglah saya masih bisa menjaga diri dari pengaruh negatif. Saya tidak mau terpedaya dan jatuh dalam lumpur dosa.
Dalam hati, saya bertanya-tanya. Mengapa mereka rela membayar mahal demi sebuah kecurangan? Sia-sia sekali uang sebanyak itu hanya untuk mendapatkan kunci jawaban dan bocoran soal. Belum tentu juga kunci jawaban dan bocoran soal itu benar. Bisa saja salah, kan? Dari pada untuk membeli kunci jawaban dan bocoran soal, lebih baik uang yang ada dialokasikan untuk hal lain. Misalnya untuk membayar biaya kuliah, traveling, melakukan hobi, atau lebih bagus lagi, disumbangkan pada orang-orang yang membutuhkan. Jalan pikiran orang memang berbeda-beda.
Kejadian di atas menunjukkan potret kecurangan dalam dunia pendidikan. Ada benih ketidakjujuran di sana. Kalau hal kecil saja sudah tidak jujur, bagaimana dengan hal besar? Kalau saat masih sekolah saja sudah berbuat curang, bagaimana mau memimpin negara?
Apa jadinya bila para pahlawan yang sudah tenang di alam sana melihat perilaku generasi muda yang curang dan tidak jujur? Pastilah mereka sedih. Merasa kemerdekaan yang mereka usahakan tidak dihargai. Merasa perjuangan mereka sia-sia.
Coba ingat perjuangan Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa. Bapak Pendidikan kita itu berjuang mencerdaskan rakyat Indonesia. Belanda berusaha menghalanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar. Sekarang negara kita telah merdeka. Kita bebas menuntut ilmu dan bersekolah dimana saja tanpa perlu takut pada ancaman pihak lain. Lalu, keleluasaan dalam menuntut ilmu itu disia-siakan dengan praktik kecurangan dalam ujian. Ironis sekali, kan?
Kemerdekaan itu jujur. Tidak curang, menghargai usaha sendiri dan usaha orang lain. Merdeka itu mengakui usaha diri sendiri dan orang lain. Sudah sepantasnya untuk menghentikan praktik-praktik kecurangan di negara yang telah merdeka.