Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka: Jujur, Toleran, dan Positif

17 Agustus 2017   07:14 Diperbarui: 19 Agustus 2017   01:00 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bulan Agustus menjadi bulan spesial di negara kita. Di bulan ini, ada satu momen yang sangat luar biasa. Wow, sangat luar biasa? Apa ya kira-kira momennya?

Yups, tepat sekali. Peringatan kemerdekaan. Tahun ini, Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-72. Hmm...sudah cukup tua ya? Eits, tapi itu untuk ukuran standar umur manusia. Sedangkan jika diukur dalam standar usia berdirinya sebuah negara, Indonesia masih tergolong muda. Coba bandingkan dengan Swiss yang sudah berusia 726 tahun, atau Andora yang telah didirikan sejak tahun 1278.

Sebenarnya, apa itu merdeka? Menurut KBBI, kata merdeka berarti bebas dari perhambaan, penjajahan, lepas dari tuntutan, tidak terikat dengan orang lain, dan berdiri sendiri. Sebuah negara dapat dikatakan merdeka bila dapat berdiri sejajar dengan negara-negara lainnya. Sejatinya, sebuah negara tidak bisa berdiri sendiri. Tetap saling membutuhkan dengan negara lain.

Indonesia dapat dikatakan telah merdeka. Sebab telah terbebas dari penjajahan negara lain. Tiga setengah abad dijajah Belanda, lalu tiga setengah tahun dijajah Jepang. Kini Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan yang bebas dari penjajahan negara lain.

Tiap kali Agustus tiba, langsung saja nuansa seremonial begitu kuat terasa. Berbagai event diadakan untuk memeriahkan momen kemerdekaan. Kisah-kisah sejarah tentang para pahlawan dan bapak pendiri bangsa diangkat ke permukaan. Tak jarang nasib para veteran yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan kembali menjadi sorotan. Pokoknya, Agustus menjadi bulannya sejarah dan kemerdekaan.

Setelah euforia hari merdeka berakhir, semuanya seakan lenyap. Semangat cinta tanah air yang dikobarkan di awal sampai pertengahan bulan tetiba lenyap begitu saja. Kembali lagi pada kebiasaan semula: radikalisme, isu SARA, dan kecintaan berlebihan pada budaya asing.

Menurut saya, kemerdekaan dapat bermakna tiga hal: jujur, bebas, dan positif. Merdeka luas maknanya. Ayo kita bahas ketiga poin itu.

  1. Jujur

Indonesia memang telah merdeka. Penjajah sudah angkat kaki dari bumi pertiwi berkat jasa dan keberanian para pahlawan. Sayang sekali, kemerdekaan di negara kita masih diwarnai kecurangan dan ketidakjujuran. Dalam bidang apa pun, masih banyak praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Entah itu di bidang politik, ekonomi, olahraga, kesehatan, dan pendidikan.

Contoh kecilnya, kecurangan dan ketidakjujuran di bidang pendidikan. Saya pernah mengalaminya sendiri.

Dua tahun lalu, beberapa minggu sebelum mengikuti ujian nasional, di kelas saya sebagian besar murid sibuk mendiskusikan mengenai bocoran soal dan kunci jawaban. Mereka tergoda untuk membeli bocoran serta kunci dengan harga jutaan rupiah. Uang sudah mulai terkumpul. Mereka terus bergerak mempromosikan peredaran barang haram itu.

Saya mengikuti diskusi itu dari awal sampai akhir. Sebagian besar teman sekelas rela mengeluarkan uang jutaan rupiah demi mendapatkan bocoran soal dan kunci jawaban. Saya sendiri sama sekali tidak tertarik. Bukannya mau sok suci atau sok berhati malaikat, tapi saya masih takut hari pembalasan di akhirat. Saya takut berdosa besar.

Tiba-tiba, si ketua kelas mendekati saya. Dia mengajak saya ngobrol. Saya tanggapi dengan ramah dan ceria seperti biasa. Akan tetapi, firasat saya mengatakan, ada yang tidak beres. Saya membaca adanya maksud lain di hatinya yang terdalam.

Lama mengobrol, akhirnya dia meninggalkan bangku saya. Intuisi saya mulai meneliti adanya keanehan dalam diri ketua kelas itu. Sampai akhirnya, sahabat saya mendekat. Dia mengatakan sesuatu pada saya. Firasat saya benar. Ternyata, si ketua kelas ingin menawarkan bocoran soal dan kunci jawaban. Namun ia takut dan segan pada saya. Makanya dia tidak berani menawarkannya secara langsung. Saya heran, mengapa harus takut? Kalau ingin menawarkan, ya tawarkan saja. Toh jawabannya sudah jelas: saya tolak sekali pun gratis.

Mendengar itu, saya hanya melempar senyum dan berkata tegas. Saya takkan membeli bocoran soal dan kunci jawaban itu. Terserah yang lain mau membelinya, saya tak mau ikut-ikutan. Saya punya prinsip sendiri. Dan sahabat saya pun tak ikut membelinya juga. Saya senang dengan keputusannya.

Keesokan harinya, tangan saya terluka cukup parah. Darah mengalir membasahi lengan baju saya. Jika sudah begitu, saya lebih suka sendiri. Mengatasi dan menyimpan rasa sakit sendiri tanpa diketahui orang lain. Termasuk teman-teman saya. Apa lagi mereka takut darah. Sedangkan saya sama sekali tidak takut. Buat apa takut? Melihat darah sudah biasa.

Tanpa diduga, si ketua kelas itu mendekati saya lagi. Padahal waktu itu saya ingin sendiri. Saya tak ingin memperlihatkan kesakitan di depan siapa-siapa. Apa lagi saya terluka karena kecerobohan yang sudah sering terjadi.

Dia menanyai saya. Apakah saya baik-baik saja atau tidak. Apakah lukanya terasa sakit atau tidak. Saya jawab tidak apa-apa dan bergegas meninggalkannya. Sebelum saya pergi, lagi-lagi feeling saya bekerja. Membisikkan bahwa si ketua kelas sebenarnya masih ingin menawarkan bocoran soal dan kunci jawaban. Untunglah saya masih bisa menjaga diri dari pengaruh negatif. Saya tidak mau terpedaya dan jatuh dalam lumpur dosa.

Dalam hati, saya bertanya-tanya. Mengapa mereka rela membayar mahal demi sebuah kecurangan? Sia-sia sekali uang sebanyak itu hanya untuk mendapatkan kunci jawaban dan bocoran soal. Belum tentu juga kunci jawaban dan bocoran soal itu benar. Bisa saja salah, kan? Dari pada untuk membeli kunci jawaban dan bocoran soal, lebih baik uang yang ada dialokasikan untuk hal lain. Misalnya untuk membayar biaya kuliah, traveling, melakukan hobi, atau lebih bagus lagi, disumbangkan pada orang-orang yang membutuhkan. Jalan pikiran orang memang berbeda-beda.

Kejadian di atas menunjukkan potret kecurangan dalam dunia pendidikan. Ada benih ketidakjujuran di sana. Kalau hal kecil saja sudah tidak jujur, bagaimana dengan hal besar? Kalau saat masih sekolah saja sudah berbuat curang, bagaimana mau memimpin negara?

Apa jadinya bila para pahlawan yang sudah tenang di alam sana melihat perilaku generasi muda yang curang dan tidak jujur? Pastilah mereka sedih. Merasa kemerdekaan yang mereka usahakan tidak dihargai. Merasa perjuangan mereka sia-sia.

Coba ingat perjuangan Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa. Bapak Pendidikan kita itu berjuang mencerdaskan rakyat Indonesia. Belanda berusaha menghalanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar. Sekarang negara kita telah merdeka. Kita bebas menuntut ilmu dan bersekolah dimana saja tanpa perlu takut pada ancaman pihak lain. Lalu, keleluasaan dalam menuntut ilmu itu disia-siakan dengan praktik kecurangan dalam ujian. Ironis sekali, kan?

Kemerdekaan itu jujur. Tidak curang, menghargai usaha sendiri dan usaha orang lain. Merdeka itu mengakui usaha diri sendiri dan orang lain. Sudah sepantasnya untuk menghentikan praktik-praktik kecurangan di negara yang telah merdeka.

  1. Toleransi

"Kamu bukan orang Indonesia. Soalnya agama kamu beda dari kita-kita."

"Yeee...kata siapa kamu ini Indonesia? Darah campuran gitu kok. Pulang sana ke negara asalmu."

Isu SARA masih berlangsung tajam di negara kita. Tiap etnis membanggakan dirinya sendiri dan menghina etnis lain. Tiap agama merasa paling baik dan menghina agama lain. Padahal kita semua tahu, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, budaya, dan agama. Indonesia menyatukan keberagaman. Ingat Bhineka Tunggal Ika? Berbeda-beda tapi tetap satu? Nah, itulah kita. Indonesia.

Tak sedikit orang-orang yang bisa dikatakan berdarah Indo, berdarah campuran, berdarah keturunan, atau apalah istilahnya, sangat mencintai Indonesia. Darah boleh saja campuran, tapi cinta pada Indonesia sangatlah murni dan teruji. Integritas pada negara? Jangan ditanya lagi: luar biasa. Bagaimana pun rupa fisik, bentuk tubuh, warna kulit, dan agama yang dipeluk, tetaplah bagian dari Indonesia. Mau kulit putih, kulit hitam, kulit kuning langsat, mata coklat, mata biru, mata hitam, rambut ikal, rambut lurus, pemeluk Islam, pemeluk Katolik, pemeluk Budha, atau apa pun, tetaplah orang Indonesia. Mau berdarah campuran dari generasi keberapa, mau berdarah murni Indonesia, tetaplah Indonesia. Indonesia itu menyatukan keberagaman dalam kesatuan yang utuh. Indonesia yang sesungguhnya adalah negara toleran. Setiap perbedaan dihargai. Tiap orang mendapat hak yang sama. Semua terbebas dari diskriminasi.

72 tahun sudah negara kita merdeka. Masih pantaskah radikalisme dipertahankan? Masih pantaskah saling menghina suku dan agama lain? So, hilangkan semua hal negatif itu. Hargai dan cintai mereka yang berbeda suku dan agama dengan kita, sama seperti kita mencintai mereka yang seagama dan satu etnis dengan kita. Jangan ragu memberi pertolongan hanya karena perbedaan suku dan agama. Belajarlah menghargai budaya dan agama lain. Percayalah bahwa setiap suku dan agama mengajarkan kebaikan.

  1. Positif

Saya masih ingat ucapan instruktur modeling sewaktu mengikuti ajang pemilihan duta. Begini katanya,

"Kalian itu keren dan istimewa. Di saat teman-teman kalian lebih milih pacaran dan lakuin kegiatan yang nggak jelas manfaatnya, kalian mau di sini. Mau belajar, mau berkegiatan positif, mau berkontribusi untuk kebaikan. Ingat ya, kalian ini istimewa."

Ucapannya benar. Secara tak langsung, dia menyoroti turunnya minat anak muda dalam melakukan kegiatan positif.

Sangat disayangkan. Anak-anak muda membuang kesempatan mereka begitu saja. Membuang masa muda yang hanya datang sekali seumur hidup untuk kegiatan yang tidak ada gunanya. Ironisnya, generasi muda sekarang ini semakin malas berorganisasi dan melakukan kegiatan positif. Andai saja mereka tahu, banyak sekali manfaat dari melakukan kegiatan positif. Memperluas pergaulan, menambah pengalaman, mengasah soft skill, dan mengembangkan bakat. Belakangan ini, anak muda lebih suka eksis di sosmed, narsis, pamer kekayaan, pamer kemesraan, dan saling membully. Mereka tak lagi tertarik melakukan kegiatan positif yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Lalu, apa hubungannya kegiatan positif dengan kemerdekaan? Kemerdekaan yang kita nikmati sebaiknya diisi dengan hal-hal positif. Bayangkan bila kita hidup di negara yang penuh konflik seperti Palestina. Tak terlukiskan hidup di tempat seperti itu. Jangankan bebas berekspresi. Sekedar mendapatkan rasa aman dan memastikan diri serta keluarga tidak terbunuh saja sudah bagus. Sedangkan kita hidup di negara yang sudah merdeka. Mau melanjutkan sekolah oke, mau berorganisasi tidak dilarang, mau berkreasi dan berekspresi silakan saja.

Keadaan sebaik ini layak disyukuri. Salah satu cara mensyukurinya dengan memperbanyak kegiatan positif. Gunakan waktu dan kesempatan untuk melakukan kebaikan. Jangan hanya narsis, bersenang-senang, mementingkan diri sendiri, atau pacaran saja. Bukan berarti berpacaran dengan lawan jenis dan bersenang-senang dengan orang terdekat tidak baik. Boleh-boleh saja, asalkan tidak berlebihan dan mengarah ke hal positif. Bahkan kita bisa memotivasi orang-orang yang kita cintai untuk melakukan kegiatan positif. Bagus kan?

So, siapkah untuk mengisi kemerdekaan dengan kejujuran, toleransi, dan kegiatan positif?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun