Ketakutan timbul di hati kecil Wahyu. Membawa putranya ke rumah sakit mengundang risiko. Reinhart masih kecil. Wahyu khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk pada anak tunggalnya itu.
Terpaksa ia mengajak Reinhart ke rumah sakit. Ia harus menjenguk rekan bisnisnya. Kebetulan saat itu pengasuh yang biasa menjaga Reinhart minta cuti. Mana mungkin Reinhart ditinggal sendirian di rumah dalam waktu lama? Ia masih terlalu kecil. Meski sebenarnya Reinhart cukup berani. Wahyu terlalu protektif.
"Rein, kamu nggak apa-apa kan, Nak? Maaf ya, Papi ajak kamu ke rumah sakit." Wahyu bertanya, menepuk pelan puncak kepala Reinhart.
"Nggak apa-apa kok, Pap. Rein malah senang di sini. Rein bisa tahu dan rasain sendiri, enaknya punya tubuh yang sehat." jawab Reinhart polos.
Mendengar itu, Wahyu terhenyak. Putra semata wayangnya telah memahami arti bersyukur. Ia selalu berpikiran positif.
"Iya, Sayang. Makanya Rein harus banyak bersyukur sama Allah ya?" timpal Wahyu lembut.
Reinhart mengangguk mantap. Menggandeng tangan Papinya. Berdua mereka menyusuri koridor rumah sakit. Bersiap pulang.
Di koridor ketiga, tetiba langkah Reinhart terhenti. Pandangannya tertumbuk pada sebuah brankar yang didorong dengan tergesa-gesa oleh dua orang perawat. Ia menajamkan fokus penglihatannya. Dicengkeramnya tangan Wahyu erat-erat.
"Kenapa, Rein?"
"Papi, lihat. Itu kan Om ganteng dan baik hati yang kemarin nolongin Rein di kids club. Iya Pap, itu Om Calvin."
Wahyu mengikuti arah pandang Reinhart. Benar saja. Ia mengenali pria berkulit putih dan berwajah oriental yang terbaring di brankar itu.