"Hmm...kayaknya enak ya." Nyonya Calisa melirik cangkir berisi coffee latte yang baru jadi.
"Kamu pandai membuatnya."
Dipuji atasannya, si barista tersenyum. Nyonya Calisa memegang tepi cangkir kopi, bersiap membawanya.
"Boleh saya saja yang antar? Ke meja berapa?" tawarnya halus.
"Meja 18, Nyonya."
Sehati-hati mungkin, Nyonya Calisa membawa cangkir itu. Ia melangkah anggun menuju meja 18. Di meja itu, duduk seorang pria berjas hitam. Si pria sibuk dengan laptopnya. Wajahnya tak kelihatan jelas.
"Permisi..." tukas Nyonya Calisa sopan. Meletakkan cangkir kopinya di meja.
Si pria otomatis mengangkat wajah. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Nyonya Calisa menahan napas. Pria itu tersenyum memandang Nyonya Calisa.
"Thanks Calisa," ujarnya, masih melempar senyuman.
"Wahyu?" desis Nyonya Calisa.
"Yups, this is me. Kenapa kaget? Tadi aku lewat depan cafe, trus lihat mobilnya Calvin. Aku yakin, kamu pasti ada di sini juga. Makanya aku mampir."