Raut wajah Nyonya Calisa tetap tenang. Tuan Calvin mengelus lembut dagu istrinya. Sekilas memeluk pundaknya.
"Jangan marah ya?"
Semula Tuan Calvin mengira istrinya akan marah. Dugaannya keliru. Wanita berdarah Indo itu berkata ringan.
"I see. Masa begitu saja marah? Beda pendapat itu wajar, Calvin. Indikator kebahagiaan tiap orang juga berbeda. So, semuanya kembali lagi ke diri kita masing-masing. Indikator kebahagiaan seperti apa yang kita tetapkan? Aku hargai perbedaan itu."
"Good..."
"Aku senang ada perbedaan seperti ini. Terkadang, orang yang saling mengagumi dan menyayangi pun bisa berbeda pendapat."
Sesaat Tuan Calvin terdiam. Masih ada lagi yang ingin disampaikannya tentang artikel itu.
"Calisa, aku ingin memberi sedikit kritikan. Dalam artikel itu, kamu seperti mendiskreditkan kemiskinan. Coba kamu baca lagi. Siapa tahu aku yang salah."
Orang sukses adalah orang yang mau menerima kritikan. Nyonya Calisa tak keberatan dikritik. Terlebih bila kritikan itu disampaikan dengan baik dan rendah hati seperti yang baru saja dilakukan Tuan Calvin.
"Okey. Nanti kubaca lagi artikelnya. Ini bisa jadi masukan untukku agar lebih hati-hati lagi kelak."
Rupanya Clara ikut mendengarkan dialog Ayah-Bundanya. Meski tak terlalu paham, ia senang mendengarkannya. Feelingnya mengatakan jika orang tuanya tipe yang terbuka dan sabar. Tak mudah berkonflik.