Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Idul Fitri dan Cinta: Kepasrahan Total pada Allah

1 Juli 2017   06:39 Diperbarui: 1 Juli 2017   16:30 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin Kompasianer dan kaum strong di Ngawursiana bertanya-tanya. Apa benang merahnya perayaan Idul Fitri dengan cinta dan kepasrahan total pada Allah? Ternyata ada. Saya menemukannya dalam perenungan yang saya lakukan.

Mama saya memiliki satu orang kakak dan beberapa adik. Idul Fitri tahun ini, mereka berkumpul di rumah saya. Praktis saya dan keluarga inti tidak mudik. Melainkan menyambut keluarga besar yang berdatangan.

Mereka memiliki kebiasaan yang berbeda dari kami. Jujur saja, bila kami memilih tidur di hotel saat pergi ke luar kota, mereka lebih suka menginap di rumah kami. Entah apa alasannya. Kami tak pernah merepotkan orang lain dengan meminjam kendaraan dan lebih suka naik kendaraan pribadi, mereka senang ikut mobil kami. Porsi makan mereka lebih banyak dari kami. Saya dan keluarga inti memang pecinta kuliner, tapi kami tahu batas dan porsi makan kami tidak sebanyak mereka dalam satu hari. Penampilan mereka pun berbeda dengan kami. Jujur saya katakan, menurut saya mereka kurang stylish dan elegan kecuali salah satu sepupu laki-laki. Maaf bila saya to the point dan kesannya mengkritisi keluarga besar saya sendiri. Namun itulah kenyataannya. Mau protes karena keterusterangan saya? Saya doakan yang protes masuk alam barzah sekarang juga.

Rumah saya yang biasanya sepi menjadi sangat ramai selama Lebaran. Semua orang seakan punya energi lebih untuk bercanda dan tertawa. Makanan berlimpah dan Mama saya bolak-balik memenuhi request anggota keluarga besar yang merindukan kelezatan masakannya. Mereka senang mencicipi masakan lezat buatan Mama. Saya jadi kasihan melihat Mama saya menguras tenaga dan pikirannya untuk mereka. So, saya berusaha membantu Mama semampu saya. Rasanya antara kasihan dan tidak rela Mama terus-menerus diperalat dan dimanfaatkan orang lain. Saya bukannya berpikir negatif, melainkan hanya melihat hal ini dari perspektif berbeda.

Soal berbelanja pun menimbulkan kerepotan tersendiri. Sepanjang hari terakhir kunjungan mereka ke Bandung, kami menemani mereka berbelanja oleh-oleh. Terlihat lagi perbedaan yang mencolok. Keluarga besar suka berbelanja di pasar biasa, sedangkan kami lebih memilih mall dan supermarket saat ingin membeli pakaian atau aksesoris. Melihat kerumunan orang yang memadati areal pasar saja sudah membuat kami lelah dan stress. Sugesti yang ada di pikiran kami hanyalah lelah. Terlebih kami tidak bisa menawar harga barang. Celakanya, saya dan keluarga inti sering dijebak pedagang. Mereka sengaja mematok harga mahal untuk kami. Mama saya yang paling sering kena jebakan. Alhasil, kami tidak berbelanja apa-apa dan hanya menemani mereka.

Sepanjang Lebaran kemarin, ada satu topik hangat yang dibahas keluarga besar: pernikahan salah seorang sepupu. Dia sudah memiliki calon suami dan akan menikah. Setelah Lebaran, akan diadakan prosesi lamaran. Masalahnya klasik: biaya. Sepupu saya yang akan menikah ini mengalami kesulitan biaya dan perencanaan menikah. Banyak sekali yang harus diurus untuk acara lamaran dan pernikahannya. Lalu apa yang terjadi? Coba Kompasianer dan kaum strong Ngawur Siana tebak. Mama saya membantu prosesi lamaran dan pesta pernikahan. Kalian mengerti maksud saya, kan?

Mama saya membantu persiapan pernikahan keponakannya. Sementara anaknya sendiri kemungkinan besar takkan menikah. Siapa yang mau menikahi gadis difable, infertil, dan tidak berguna? Tidak ada, kan?

Tentu saja Mama tak boleh tahu soal ini. Cukup saya saja yang tahu ironi menyakitkan ini. Tapi saya salut dengan Mama. Anaknya sendiri belum menikah, dan di saat orang tua lain sibuk memikirkan anaknya sendiri, beliau justru masih sempat memikirkan keponakannya. Anak orang lain, tepatnya anak orang lain yang akan menikah melangkahi putrinya.

Mengapa dikatakan melangkahi? Sebab Mamalah yang lebih dulu menikah dan punya anak waktu itu. Mama memang punya satu orang kakak, tapi kakaknya itu memiliki kondisi istimewa. Kondisi yang membuatnya tidak bisa memiliki anak. Kini kakaknya Mama dan istrinya mengadopsi seorang anak berumur empat tahun.

Siapa orang yang mau dilangkahi dalam menikah? Siapa orang tua yang tidak sedih ketika anaknya sendiri dilangkahi? Namun dengan segala kerelaan hati, Mama membantu prosesi lamaran dan pernikahan keponakannya. Satu hal yang membuat saya semakin mengagumi Mama.

Belum habis pembicaraan seputar rencana pernikahan, ada lagi sepupu saya yang lain sibuk membanggakan kekasihnya. Sepupu saya yang satu itu punya kekasih yang kaya. Sang kekasih suka membelikannya barang-barang mahal. Tiap kali makan di luar, selalu saja sang kekasih yang membayarnya. Meski sudah punya pasangan, beberapa orang ingin menjodohkan sepupu saya dengan anak mereka. Saya tersenyum dan ikut senang mendengarnya. Syukurlah, berarti saudara-saudara saya tak kesulitan mencari cinta. Cukup saya yang ‘tidak laku’ dan mengalami kekecewaan cinta. Jangan sampai saudara-saudara saya mengalaminya pula. Saya ingin apa yang saya alami tidak terjadi pada orang lain.

Saya memang berbeda dari saudara-saudara saya. Bila mereka mudah mendapatkan pasangan, saya tidak. Bila mereka tahu cara move on yang cepat, saya tidak mau move on. Saya berpegang paada satu prinsip: jika saya sudah benar-benar jatuh cinta pada seorang pria, maka saya akan mencintainya begitu dalam, apa pun yang terjadi. Kalau pun saya terpaksa harus mencari pria lain, saya akan mencari seseorang yang mirip dengan sosok pria yang saya cintai di masa lalu.

Begitu juga soal menikah. Jika Allah mentakdirkan saya menikah, perasaan saya tidak akan berubah. Saya akan tetap mencintai pria yang sama walau saya menikah dengan pria berbeda. Tujuan saya menikah bukan karena cinta, melainkan demi menyenangkan hati keluarga. Tapi balik lagi ke pertanyaan awal: adakah yang mau menikahi gadis infertil, difable, dan tidak berguna?

Setahun terakhir, saya merasakan diri saya ada di titik terbawah dalam hidup. Menulis saya jadikan sebagai bentuk pelampiasan atas kepahitan hidup. Saya benar-benar letih dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Klimaksnya adalah Idul Fitri tahun ini. Saat pria yang saya cintai menolak tawaran bisnis dari orang tua saya. Dalam arti, ia memutuskan tak bisa bersama saya. Berbisnis dengan orang tua saya akan membuat dia bersama saya juga.

Dia sosok pria yang tampan. Saya mencintainya dengan hati. Dia klien istimewa saya. Saya tahu kondisi kesehatan fisik dan psikisnya. Saya coba memahami dia luar-dalam. Dari luar ia terlihat tegar. Kerapuhan justru terlihat di dalam. Ada penyakit dan luka-luka yang tersembunyi dalam dirinya. Mata batin menembus ke relung jiwa, di sanalah terpancar kesakitan dan luka.

Seharusnya dia masih menjalankan terapi dengan saya. Tapi pria itu terlalu mengabaikan kondisi kesehatannya sendiri. Menyembuhkan dengan cinta, satu prinsip yang saya jalani tiap kali membantu klien dengan hypnotherapy atau jenis terapi psikologis lainnya. Menyembuhkan dalam cinta pun artinya harus sabar menghadapi klien dengan berbagai karakter. Termasuk klien yang keras kepala seperti dia.

Okey, lupakan soal penyakit dan terapi. Saat hari pertama Idul Fitri, dia menyampaikan penolakan. Apa alasannya? Hanya karena dia tidak enak dengan seorang pemuka agama yang telah lama dikenalnya. Saya tak mengerti dengan jalan pikiran pria tampan itu. Jika dia tak bisa bersama saya karena alasan prinsip atau ada cinta yang lain, sungguh saya ikhlas. Namun jika dia tidak bisa bersama saya hanya karena rasa tidak enak pada seorang pemuka agama yang telah lama dikenalnya? Apa yang membuatnya tidak enak? Apakah ada hutang budi yang sangat besar di masa lalu? Apakah pemuka agama itu telah berjasa besar bagi dirinya dan keluarganya? Hal ini makin menimbulkan tanda tanya di hati saya.

Sulit sekali untuk menyingkap misteri yang sesungguhnya. Saya tahu, pria yang saya cintai ini berasal dari keluarga yang kondisinya berbeda dengan keluarga saya. Latar belakang kami berbeda. Saya berpikir dan terus berpikir. Apakah kemiskinan dan desakan ekonomi membuat orang lupa segalanya? Seberapa besar pengaruh desakan ekonomi hingga seseorang menggadaikan imannya dan mengingkari hati nuraninya? Separah itukah dampak kemiskinan pada diri seseorang?

Lebih parahnya lagi, si pemuka agama yang membuatnya tidak enak itu tahu tentang saya. Dari mana dia tahu? Apakah ada konspirasi tersembunyi di balik semua ini? Sebelum saya dibolehkan bertemu dia, saya malah bertemu dengan si pemuka agama itu. Dia menanyai beberapa hal tentang saya. Sempat menanyakan alamat rumah. Mana mungkin saya beri tahu? Cukup dia saja yang tahu tempat tinggal saya. Saya paling benci dimata-matai dan dihalangi.

Masih membekas dalam ingatan saya soal pertemuan di hari pertama Lebaran itu. Dia menjelaskan segalanya, bahkan terang-terangan menghampiri orang tua saya dan mengungkapkan penolakannya. Ia menolak dengan alasan yang tidak bisa dimengerti oleh nalar saya. Saya memintanya untuk berpikir ulang sekali lagi, tapi dia menolak. Sebelum pergi, dia sempat memegang tangan saya. Dia bahkan mengambilkan tas saya dan menyediakan minuman untuk saya.

Hati saya hancur. Muncul lagi pertanyaan-pertanyaan di dasar jiwa. Seberapa besarkah hutang budi sampai-sampai membuat kebahagiaan seseorang terhalangi? Begitukah cara seorang pemuka agama mempertahankan muridnya? Apakah si pemuka agama itu yang memaksanya menjadi calon rohaniwan yang tidak menikah sepanjang hidup? Dan mengapa si pemuka agama harus tahu tentang saya? Apakah ada unsur kesengajaan di balik semua ini?

Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Mulai detik itu, saya hanya bisa pasrah. Saya berserah diri sepenuhnya pada Allah. Memohon kekuatan dan petunjuk-Nya. Memohon ganjaran setimpal untuk orang-orang yang terlibat dalam kasus ini bila memang ada konspirasi jahat di baliknya. Allah adalah hakim yang paling adil di dunia dan akhirat. Azab-Nya sangat pedih, siksaan-Nya sangat perih, dan rencana-Nya adalah yang terbaik.

Kesedihan ini saya curahkan pada sepupu laki-laki saya. Dia terpaut tiga tahun lebih muda dari saya. Di sekolah favorit tempatnya menuntut ilmu, dia tergolong cerdas. Selain bersekolah, ia terjun ke dunia musik sebagai vokalis band. Mengikuti jejak ayahnya yang pernah bermusik di masa muda sebagai gitaris. Anak remaja dan anak band tak membuatnya terjebak hal negatif. Sama seperti saya. Suka kegiatan non akademis yang mengasah talenta, tapi tidak ikut terjerumus dalam hal-hal negatif seperti rokok, alkohol, atau pergaulan bebas. Saya nyaman bersamanya. Sampai-sampai saya berkata.

“Dani, tahun depan kamu kuliah di Bandung aja. Terus tinggal di rumahku. Jadi aku nggak kesepian lagi.”

Dia mengajak saya bernyanyi dan bermain piano. Lalu saya bercerita padanya. Dia menghibur dan menenangkan saya. Di umurnya yang masih belia, pemikirannya telah matang dan bijak. Dia melakukan sesuatu yang membuat saya tersenyum.

Kini rumah saya kembali sepi. Saya hanya ditemani boneka raksasa koleksi terbaru saya yang dibeli beberapa hari lalu. Boneka raksasa berwarna coklat itu pun saya namai seperti nama pria yang saya cintai. Saya paling takut saat akan tidur. Menjelang tidur, saya akan lebih banyak memikirkan hal-hal sedih dan kenangan bersama dia. Waktu shalat adalah momen terbaik. Saya bisa mencurahkan perasaan dan isi hati pada Illahi. Shalat menciptakan keterbukaan hati pada Illahi. Shalat adalah hal yang saya sukai, tidur adalah hal yang saya jauhi. Bahkan saya mencoba untuk tidak tidur dan tetap terjaga. Seperti ketika saya menulis artikel ini di tengah malam. Malam saya habiskan untuk menulis dan mengisi botol-botol air yang telah kosong di kulkas. Setelah kejadian itu, saya hanya bisa berserah diri.

Keputusan untuk berserah diri dan memasrahkan segalanya hanya pada Allah adalah solusi. Menurut Imam Al Ghazali, pasrah berarti hati bersandar semata pada Dzat yang dipasrahi (Al-Wakiil). Pasrah identik dengan menyandarkan kelemahan, ketidakberdayaan, dan segala perkara hanya pada Allah. Berserah diri atau pasrah bukan berarti diam saja. Melainkan menyerahkan seluruh hasil akhirnya pada Illahi.

Ketika seluruh usaha telah dilakukan, berbagai doa telah dipanjatkan, saatnya berserah diri. Pasrah secara total pada Allah. Biarkan Allah menyelesaikan bagian-Nya.

Kepasrahan total juga ditunjukkan Nabi Sulaiman. Kisah cinta beda keyakinannya dengan Ratu Bilqis itu melegenda. Ketika Nabi Sulaiman pasrah dan mendekatkan diri hanya pada Allah, ia mendapat hadiah luar biasa. Ratu Bilqis mengikuti keyakinan Nabi Sulaiman. Akhirnya mereka menikah.

Kesimpulannya, kepasrahan total pada Allah berbuah kebahagiaan. Mempercayakan semua urusan pada Allah dan berprasangka baik pada-Nya. Sudah siapkah kita berserah diri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun