Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Idul Fitri dan Cinta: Kepasrahan Total pada Allah

1 Juli 2017   06:39 Diperbarui: 1 Juli 2017   16:30 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memang berbeda dari saudara-saudara saya. Bila mereka mudah mendapatkan pasangan, saya tidak. Bila mereka tahu cara move on yang cepat, saya tidak mau move on. Saya berpegang paada satu prinsip: jika saya sudah benar-benar jatuh cinta pada seorang pria, maka saya akan mencintainya begitu dalam, apa pun yang terjadi. Kalau pun saya terpaksa harus mencari pria lain, saya akan mencari seseorang yang mirip dengan sosok pria yang saya cintai di masa lalu.

Begitu juga soal menikah. Jika Allah mentakdirkan saya menikah, perasaan saya tidak akan berubah. Saya akan tetap mencintai pria yang sama walau saya menikah dengan pria berbeda. Tujuan saya menikah bukan karena cinta, melainkan demi menyenangkan hati keluarga. Tapi balik lagi ke pertanyaan awal: adakah yang mau menikahi gadis infertil, difable, dan tidak berguna?

Setahun terakhir, saya merasakan diri saya ada di titik terbawah dalam hidup. Menulis saya jadikan sebagai bentuk pelampiasan atas kepahitan hidup. Saya benar-benar letih dan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Klimaksnya adalah Idul Fitri tahun ini. Saat pria yang saya cintai menolak tawaran bisnis dari orang tua saya. Dalam arti, ia memutuskan tak bisa bersama saya. Berbisnis dengan orang tua saya akan membuat dia bersama saya juga.

Dia sosok pria yang tampan. Saya mencintainya dengan hati. Dia klien istimewa saya. Saya tahu kondisi kesehatan fisik dan psikisnya. Saya coba memahami dia luar-dalam. Dari luar ia terlihat tegar. Kerapuhan justru terlihat di dalam. Ada penyakit dan luka-luka yang tersembunyi dalam dirinya. Mata batin menembus ke relung jiwa, di sanalah terpancar kesakitan dan luka.

Seharusnya dia masih menjalankan terapi dengan saya. Tapi pria itu terlalu mengabaikan kondisi kesehatannya sendiri. Menyembuhkan dengan cinta, satu prinsip yang saya jalani tiap kali membantu klien dengan hypnotherapy atau jenis terapi psikologis lainnya. Menyembuhkan dalam cinta pun artinya harus sabar menghadapi klien dengan berbagai karakter. Termasuk klien yang keras kepala seperti dia.

Okey, lupakan soal penyakit dan terapi. Saat hari pertama Idul Fitri, dia menyampaikan penolakan. Apa alasannya? Hanya karena dia tidak enak dengan seorang pemuka agama yang telah lama dikenalnya. Saya tak mengerti dengan jalan pikiran pria tampan itu. Jika dia tak bisa bersama saya karena alasan prinsip atau ada cinta yang lain, sungguh saya ikhlas. Namun jika dia tidak bisa bersama saya hanya karena rasa tidak enak pada seorang pemuka agama yang telah lama dikenalnya? Apa yang membuatnya tidak enak? Apakah ada hutang budi yang sangat besar di masa lalu? Apakah pemuka agama itu telah berjasa besar bagi dirinya dan keluarganya? Hal ini makin menimbulkan tanda tanya di hati saya.

Sulit sekali untuk menyingkap misteri yang sesungguhnya. Saya tahu, pria yang saya cintai ini berasal dari keluarga yang kondisinya berbeda dengan keluarga saya. Latar belakang kami berbeda. Saya berpikir dan terus berpikir. Apakah kemiskinan dan desakan ekonomi membuat orang lupa segalanya? Seberapa besar pengaruh desakan ekonomi hingga seseorang menggadaikan imannya dan mengingkari hati nuraninya? Separah itukah dampak kemiskinan pada diri seseorang?

Lebih parahnya lagi, si pemuka agama yang membuatnya tidak enak itu tahu tentang saya. Dari mana dia tahu? Apakah ada konspirasi tersembunyi di balik semua ini? Sebelum saya dibolehkan bertemu dia, saya malah bertemu dengan si pemuka agama itu. Dia menanyai beberapa hal tentang saya. Sempat menanyakan alamat rumah. Mana mungkin saya beri tahu? Cukup dia saja yang tahu tempat tinggal saya. Saya paling benci dimata-matai dan dihalangi.

Masih membekas dalam ingatan saya soal pertemuan di hari pertama Lebaran itu. Dia menjelaskan segalanya, bahkan terang-terangan menghampiri orang tua saya dan mengungkapkan penolakannya. Ia menolak dengan alasan yang tidak bisa dimengerti oleh nalar saya. Saya memintanya untuk berpikir ulang sekali lagi, tapi dia menolak. Sebelum pergi, dia sempat memegang tangan saya. Dia bahkan mengambilkan tas saya dan menyediakan minuman untuk saya.

Hati saya hancur. Muncul lagi pertanyaan-pertanyaan di dasar jiwa. Seberapa besarkah hutang budi sampai-sampai membuat kebahagiaan seseorang terhalangi? Begitukah cara seorang pemuka agama mempertahankan muridnya? Apakah si pemuka agama itu yang memaksanya menjadi calon rohaniwan yang tidak menikah sepanjang hidup? Dan mengapa si pemuka agama harus tahu tentang saya? Apakah ada unsur kesengajaan di balik semua ini?

Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Mulai detik itu, saya hanya bisa pasrah. Saya berserah diri sepenuhnya pada Allah. Memohon kekuatan dan petunjuk-Nya. Memohon ganjaran setimpal untuk orang-orang yang terlibat dalam kasus ini bila memang ada konspirasi jahat di baliknya. Allah adalah hakim yang paling adil di dunia dan akhirat. Azab-Nya sangat pedih, siksaan-Nya sangat perih, dan rencana-Nya adalah yang terbaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun