Idul Fitri identik dengan hari kemenangan. Setelah berpuasa selama satu bulaan penuh, umat Islam yang beriman dan menjalaninya akan kembali dalam keadaan suci seperti bayi yang baru lahir. Ramadhan pergi, Idul Fitri datang.
Bahagia sudah pasti. Sebab perjuangan kita di bulan Ramadhan terbayar dengan datangnya kemenangan. Di sela-sela rasa bahagia, terselip rasa sedih. Kesedihan melepas kepergian Ramadhan. Bulan paling mulia, bulan berlipatnya pahala dan cinta, harus dilepas begitu saja. Siapa yang tidak sedih?
Rasa sedih dan bahagia tak bisa dilepaskan dari perayaan Idul Fitri. Kedua perasaan itu dapat dirasakan bersamaan, dapat pula dirasakan terpisah. Padahal kita semua tahu, euforia perayaan Idul Fitri berlangsung tak lebih dari seminggu. Biasanya kita kembali disibukkan dengan segudang aktivitas seminggu setelah Idul Fitri.
Saya sendiri merasakan dua perasaan itu saat Idul Fitri. Tentunya bahagia setelah berhasil melewati Ramadhan. Sedih karena mesti terpisah dengan bulan suci yang dimuliakan ini.
Namun, ada hal lain yang memaksa perasaan sedih menyeruak ke hati saya. Idul Fitri dua tahun lalu, saya gagal dalam SNMPTN dan SBMPTN. Dua kegagalan itu membuat perasaan saya tak menentu. Lebaran yang penuh kegembiraan ternoda oleh gagalnya saya menembus tes universitas. Praktis saya mengikuti seleksi mandiri. Tes tertulis setelah pengumuman SBMPTN yang sering digunakan sebagai jalan pintas saat tidak diterima di universitas pilihan. Seleksi mandirilah yang mengantar saya ke bangku universitas.
Sementara Idul Fitri tahun lalu, saya sakit. Alhamdulillah bukan sakit serius. Tetap saja hari kemenangan tak bisa terlewati dengan lancar karena datangnya penyakit.
Idul Fitri tahun ini, saya mengalami kejadian menyedihkan dengan pria yang saya cintai. Saya tidak bisa menceritakannya secara langsung. Pastinya, kejadian di hari pertama Lebaran itu melukai hati saya. Bisa saja saya berpura-pura bahagia di depan semua orang. Seolah kejadian itu tidak mempengaruhi diri saya. Hanya dalam tulisan, cerita, dan kata, saya benar-benar total mencurahkan perasaan.
Kesedihan berimbang dengan kebahagiaan. Faktanya, kesedihanlah yang lebih lama bertahan dibandingkan kebahagiaan. Sudah banyak penelitian dan jurnal motivasi yang memuat fakta itu.
Ada dua alasan kesedihan lebih lama bertahan dibanding kebahagiaan. Pertama, kesedihan datang dari peristiwa penting yang mempengaruhi kehidupan kita. Peristiwa penting yang banyak mempengaruhi kualitas hidup kita, baik di masa lalu maupun masa kini. Kedua, kita terus-menerus memikirkan penyebab dari kesedihan itu.
Dilansir dari Prevention, perenungan atas penyebab kesedihan tak dapat terhindarkan. Seseorang terus merenungi dan menyesali penyebab kesedihan itu. Kesedihan itu bisa saja telah terlewati. Hanya saja, penyebab dari kesedihanlah yang terus dipikirkan. Tak heran bila orang lebih lama larut dalam kesedihan.
Menyalahkan keadaan bukanlah cara terbaik. Keadaan tak dapat disalahkan. Menyalahkan orang lain pun tak bisa. Kita tidak tahu kondisi orang lain yang mungkin menjadi penyebab kesedihan kita. Tiap orang mempunyai kisah masa lalu, situasi, dan kondisi berbeda-beda.
Sebuah penelitian dari Masachusetts General Hospital menunjukkan bahwa meditasi adalah solusi menghilangkan kesedihan. Hal ini dapat dicoba. Entah berhasil atau tidak, tergantung cara kita melakukannya.
Banyak beribadah pada Allah, mendekatkan diri pada-Nya, pasrah dan berserah diri, adalah cara terbaik. Allah menggenggam hati orang-orang yang berserah diri pada-Nya. Hadiah dari keikhlasan dan kepasrahan total adalah kebahagiaan. Ikhlas atas ketetapan Allah menuntun kita pada ketenangan hati.
Ada satu lagi cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kesedihan: berbicara. Bicaralah pada orang lain. Khususnya pada orang yang kita percayai. Tujuan kita berbicara dan mencurahkan isi hati untuk meringankan beban serta mencari solusi. Orang yang diajak bicara pun mestinya paham. Tempatkan diri sebagai penengah dan problem solver, bukannya sebagai seseorang yang suka menghakimi dan memberi opini negatif.
Seperti saya kini. Ingin sekali berbicara dengan seseorang yang mampu memahami kondisi dan situasi saya, namun belum juga menemukannya. Siapakah yang akan saya temukan untuk bicara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H