Saat tengah berjalan sendirian di koridor, seorang teman sekelas berlari-lari menghampiri saya. Dia menangis. Saya keheranan dan bertanya mengapa dia menangis. Teman sekelas saya mengatakan kalau dia baru saja dibentak dan diberi kata-kata menyakitkan oleh mahasiswa di kelas yang sama. Kejadian itu bukan baru sekali-dua kali ia alami, melainkan sudah sering terjadi.
Dia terus menangis. Saya menenangkannya. Saya belai lembut lengannya. Saya mengajaknya ke taman. Dengan sabar, saya terus mendengarkan keluh kesahnya dan menghiburnya. Saya baru meninggalkannya setelah dia lebih tenang. Saat duduk berdua dengannya di taman dan sibuk menenangkannya, saya ikut sedih. Andai saja pemuda yang saya cintai yang duduk di samping saya dan mengeluhkan kepedihan, luka, serta rasa sakitnya pada saya. Tentu saya akan lega dan bersyukur, karena saya bisa membantunya meringankan bebannya di depan saya. Andai saja pemuda belahan jiwa yang juga Kompasianer itu yang menangis di depan saya, maka saya akan berusaha lebih baik lagi untuk menghapus kesedihannya. Tapi ini teman saya, bukan dia. Saya mencoba realistis dan kembali fokus untuk menenangkannya.
Malamnya, saat saya membuka persediaan es krim di kulkas, perhatian saya teralih oleh kiriman e-mail darinya. Dia masih memikirkan kejadian tadi. Saya memintanya untuk sabar dan kuat. Membesarkan hatinya dan memotivasinya, itulah yang coba saya lakukan pada teman saya.
Entah mengapa, sejak sekolah sampai kuliah seperti sekarang, saya kerap kali didatangi para korban bullying. Mereka dekat dengan saya. Mereka menjadikan saya sebagai tempat berbagi perasaan, sahabat, dan tempat bersandar pasca bullying. Saya tidak tega melihat penderitaan yang mereka alami. Hati saya luluh saat mereka menangis dan bersedih di depan saya. Saya tidak bisa diam saja melihat mereka disakiti, diancam, dihina, diremehkan, dan dilecehkan.
Saya pribadi tidak pernah merasakan bullying secara langsung. Mungkin mereka takut saya tidak akan membantu mereka lagi dalam soal pelajaran dan hypnotherapy. Orang yang punya power dan kharisma dalam suatu kelompok memiliki risiko yang rendah untuk di-bully.
Meski demikian, saya memahami perasaan para korban bullying. Saya dekat dengan mereka cukup emosional. Bahkan salah satu korban bullying pernah menjadi kekasih saya dua tahun lalu. Sosok belahan jiwa saya juga pernah menjadi korban bullying. Sampai kini, saya pun tak paham mengapa saya sering didekati korban-korban bullying. Apakah tubuh saya punya magnet untuk menarik mereka dekat dengan saya?
Kompasianer, apa itu bullying?
MenurutBarbara Coloroso (2003:44) – “Bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan terror. Termasuk juga tindakan yang direncana akan maupun yang spontan bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, di hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak”.
Bullying berbeda dengan konflik. Sebab terdapat unsur pengulangan dan ketidakseimbangan antara kelompok yang lebih kuat dengan korban bullying yang jauh lebih lemah. Ada beberapa jenis bullying: verbal bullying, social bullying, dan physical bullying. Verbal bullying berupa ejekan, ucapan yang menjatuhkan mental korban, mengejek nama, menyebut nama orang tua sebagai plesetan, komentar negatif, sampai komentar tajam yang mengarah pada seksual. Social bullying adalah proses pengucilan seseorang dalam suatu kelompok sehingga membuat orang itu merasa malu, tidak berharga, minder, dan tidak diinginkan. Sedangkan physical bullying berorientasi pada penyiksaan fisik seperti memukul, menampar, melukai, merusak barang-barang, dll.
Ada banyak alasan mengapa seseorang di-bully. Misalnya, karena status ekonomi. Kasus yang sering terjadi adalah anak dari keluarga menengah ke bawah belajar di sekolah elite. Lalu ia di-bully teman-temannya karena kemiskinannya. Bisa juga anak orang kaya di sekolah/asrama biasa di-bully dengan cara dipaksa memberikan uang atau fasilitas mewah miliknya.
Masalah fisik membuat seseorang rentan di-bully. Orang yang terlalu kurus, terlalu gemuk, penampilannya tidak modis dan tidak menarik, wajah yang tidak terlalu rupawan dibanding teman-teman lain dalam kelompoknya, dll. Mereka cenderung mengalami verbal bullying. Wanita cantik dan pria tampan pun rawan di-bully. Jangan salah, Kompasianer-Kompasianer yang cantik dan tampan harus hati-hati. Banyak orang yang merasa iri dengan kecantikan/ketampanan orang lain, lalu mem-bullynya. Meski itu bukan salah kita karena kita dilahirkan tampan/cantik.
Faktor lainnya adalah kelemahan dan kekuatan. Para pelaku bullying memiliki power yang lebih, sehingga mereka suka menindas korban bullying yang lemah. Di samping itu, ada pula faktor perbedaan agama dan ras. Mereka yang mayoritas mem-bully yang minoritas dengan sadis.
Apa pun alasannya, bullying dapat menimbulkan dampak fatal. Tidak hanya bagi korban, melainkan juga untuk pelaku. Pelaku bullying memiliki kepercayaan dan harga diri yang terlalu tinggi. Akibatnya, mereka bertindak agresif, haus kekuasaan, mempunyai toleransi yang rendah, dan selalu ingin mendominasi. Pelaku bullying pun cenderung sosiopat.
Itu baru dampak untuk pelaku. Bagaimana dengan korban bullying? Efek yang muncul bisa lebih parah. Korban bullying akan memiliki perasaan penakut, mudah merasa bersalah, krisis kepercayaan diri, dan rendah diri. Jika tidak ditangani dengan serius, efek psikologis pasca bullying bisa berlangsung sampai memasuki usia dewasa muda.
Korban bullying rentan mengidap PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) setelah dewasa. Bahaya lainnya adalah Depresi, Psikosomatis, dan gangguan kecemasan atau Anxiety disorder. Beberapa klien hypnotherapy yang saya tangani mengidap Psikosomatis dan PTSD. Setelah diselidiki, ternyata mereka korban bullying.
Pelepasan kortisol dan adrenalin adalah reaksi fisiologis pertama yang dirasakan korban bullying. Jika reaksi ini terus terjadi, kekebalan tubuh akan menurun. Gejala fisiologis lainnya yang sering muncul adalah sakit punggung, sakit perut, pusing/sakit kepala, otot menegang, peningkatan detak jantung, dan cedera fisik. Dilansir dari The Conversation, korban bullying memiliki kandungan protein C reaktif dalam darah (CRP) yang lebih tinggi. Kondisi ni dapat bertahan sampai mereka berusia dewasa muda. Protein CRP terjadi sebagai reaksi dari cedera, Arthritis, dan saat tubuh melawan infeksi. Peningkatan protein CRP terjadi pula pada korban bullying. Reaksi tubuh korban yang di-bully sama seperti reaksi tubuh ketika melawan infeksi.
Gangguan makan juga rawan terjadi. Misalnya Anorexia dan Bulimia. Terakhir, korban bullying dapat mengalami Poros Hypothalamic-Pituitary-Adrenal. Korban bullying mengalami respon kortisol yang tumpul saat ketahanannya terhadap stress diuji.
Semua gejala fisik dan psikologis itu dapat terjadi dalam jangka waktu lama. Mulai dari pasca bullying sampai menginjak masa dewasa muda.
Bukan berarti bullying dan dampaknya tidak bisa diatasi. Perlu kerjasama yang baik antara berbagai pihak. Baik dari korban bullying, keluarga, orang terdekat, dan psikolog/psikiater/terapis yang menanganinya. Apa saja langkah-langkah yang dapat dilakukan?
1. Beri perhatian lebih dan partisipasi
Langkah pertama ini ditujukan pada orang tua, keluarga, atau orang terdekat korban bullying. Sekecil apa pun tanda-tandanya, jangan diremehkan. Sering kali korban bullying menyembunyikan penderitaannya. Saat itulah pihak keluarga dan orang terdekat harus lebih perhatian. Setelah mengetahui peristiwa bullying yang terjadi dan efeknya, jangan panik. Jangan pula bersikap acuh atau tidak peduli. Bawalah korban bullying ke tempat psikiater, psikolog, dokter, dan hypnotherapyst untuk ditangani lebih lanjut. Ironisnya, kesadaran orang tua untuk menangani anak yang pernah menjadi korban bullying masih sangat rendah. Faktornya bermacam-macam, bisa karena faktor biaya, orang tua yang kurang paham tentang bullying dan psikologis korbannya, dll. Mulai saat ini, buka mata lebar-lebar. Sadarilah jika korban bullying perlu mendapat penanganan dan perawatan intensif.
2. Akui Kelebihan Diri Sendiri
“Aku ini banyak kekurangannya. Aku ini jelek, hitam, bodoh, miskin, tidak tulus, dingin, dan tidak peduli.”
“Jangan begitu. Kamu itu tampan. Kamu juga baik, penyabar, penyayang, pintar, dan lembut hati. Akui kelebihanmu, okey?”
Pasca bullying, korban mengalami krisis kepercayaan diri. Pesimistis dan underestimate. Menganggap diri selalu negatif dan mengingat-ingat kekurangan diri sendiri. Dampak ini bisa dikurangi dengan mengakui kelebihan yang ada dalam diri kita. Jika tidak bisa menemukannya, tanyakan pada orang lain. Khususnya orang-orang terdekat yang mengerti kita luar-dalam. Mereka pasti tahu apa hal positif yang kita miliki. Akuilah semua kelebihan itu. Lihat diri kita dari sisi positifnya.
3. Kuatkan dan berikan motivasi
Langkah ketiga ini untuk orang-orang terdekat dari si korban. Jangan lelah untuk memberikan motivasi dan support bagi korban bullying. Pastikan kita selalu ada untuk mereka. Jangan biarkan mereka menghadapi trauma pasca bullying sendirian. Kuatkan dan besarkan hati mereka. Jangan tinggalkan mereka sendirian, bisa saja mereka mencoba melukai diri sendiri. Risiko psikologis yang paling berbahaya dari kasus bullying adalah bunuh diri. Cegahlah sebelum hal itu terjadi. Dengan apa? Dengan motivasi, support, perhatian, dan kasih sayang yang tulus.
4. Berdamai
Poin terakhir ini terasa sulit. Sadar atau tidak, banyak korban bullying yang menyimpan dendam dan berniat membalasnya suatu saat nanti. Jangan sampai itu terjadi. Dari pada membalas dendam, lebih baik berdamai dengan pelakunya. Itu pun jika memungkinkan dan kedua belah pihak menyadari pentingnya berdamai. Segala bentuk konseling, hypnotherapy, trauma healing, dan psikoterapi lainnya tidak akan berguna bila kita belum berdamai dan memaafkan kejadian tersebut. Justru cara terbaik untuk menyembuhkan luka dan rasa sakit yang membekas setelah bullying adalah berdamai. Bila kita bisa berdamai, maka kita telah sembuh sepenuhnya. Berdamai berbeda dengan melupakan. Berdamai adalah mengikhlaskan, menerima, dan merelakan kejadian bullying itu sebagai bagian dari masa lalu kita. Kita tidak perlu mendendam karenanya. Itulah yang dimaksud dengan berdamai.
So, jangan putus asa. Sudah saatnya korban-korban bullying bangkit dari keterpurukan dan menatap masa depan dengan lebih optimis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H