Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pernah Jadi Korban Bullying? Jangan Putus Asa

22 April 2017   06:18 Diperbarui: 22 April 2017   16:00 3996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Aku ini banyak kekurangannya. Aku ini jelek, hitam, bodoh, miskin, tidak tulus, dingin, dan tidak peduli.”

“Jangan begitu. Kamu itu tampan. Kamu juga baik, penyabar, penyayang, pintar, dan lembut hati. Akui kelebihanmu, okey?”

Pasca bullying, korban mengalami krisis kepercayaan diri. Pesimistis dan underestimate. Menganggap diri selalu negatif dan mengingat-ingat kekurangan diri sendiri. Dampak ini bisa dikurangi dengan mengakui kelebihan yang ada dalam diri kita. Jika tidak bisa menemukannya, tanyakan pada orang lain. Khususnya orang-orang terdekat yang mengerti kita luar-dalam. Mereka pasti tahu apa hal positif yang kita miliki. Akuilah semua kelebihan itu. Lihat diri kita dari sisi positifnya.

3. Kuatkan dan berikan motivasi

Langkah ketiga ini untuk orang-orang terdekat dari si korban. Jangan lelah untuk memberikan motivasi dan support bagi korban bullying. Pastikan kita selalu ada untuk mereka. Jangan biarkan mereka menghadapi trauma pasca bullying sendirian. Kuatkan dan besarkan hati mereka. Jangan tinggalkan mereka sendirian, bisa saja mereka mencoba melukai diri sendiri. Risiko psikologis yang paling berbahaya dari kasus bullying adalah bunuh diri. Cegahlah sebelum hal itu terjadi. Dengan apa? Dengan motivasi, support, perhatian, dan kasih sayang yang tulus.

4. Berdamai

Poin terakhir ini terasa sulit. Sadar atau tidak, banyak korban bullying yang menyimpan dendam dan berniat membalasnya suatu saat nanti. Jangan sampai itu terjadi. Dari pada membalas dendam, lebih baik berdamai dengan pelakunya. Itu pun jika memungkinkan dan kedua belah pihak menyadari pentingnya berdamai. Segala bentuk konseling, hypnotherapy, trauma healing, dan psikoterapi lainnya tidak akan berguna bila kita belum berdamai dan memaafkan kejadian tersebut. Justru cara terbaik untuk menyembuhkan luka dan rasa sakit yang membekas setelah bullying adalah berdamai. Bila kita bisa berdamai, maka kita telah sembuh sepenuhnya. Berdamai berbeda dengan melupakan. Berdamai adalah mengikhlaskan, menerima, dan merelakan kejadian bullying itu sebagai bagian dari masa lalu kita. Kita tidak perlu mendendam karenanya. Itulah yang dimaksud dengan berdamai.

So, jangan putus asa. Sudah saatnya korban-korban bullying bangkit dari keterpurukan dan menatap masa depan dengan lebih optimis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun