Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Tua Tidak Kenali Karakter Anak, Ini Sebabnya

8 April 2017   06:36 Diperbarui: 8 April 2017   22:30 4630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai anak bungsu, Rosie selalu berada di bawah bayang-bayang keempat kakaknya. Leo, Sofia, Karin, dan Aprilia selalu mem-bullynya. Mereka tak mengerti perasaan Rosie tiap kali di-bully. Mereka tak pernah mengerti bahwa Rosie tipikal anak yang sensitif dan mudah tersinggung.

Alhasil Rosie menjauhi keempat kakaknya. Ia lebih suka menyendiri. Menutup diri adalah jalan terbaik. Meski demikian, Rosie tetap mempunyai kepedulian tinggi terhadap Leo, Karin, Sofia, dan Aprilia. Ia berbuat baik pada keluarga dan orang-orang yang dicintainya dengan caranya sendiri. Rosie memiliki cara tersendiri untuk menyayangi mereka.

Bundanya salah paham. Bunda mengira bila Rosie membenci kakak-kakaknya. Lebih parah lagi, Karin menuduhnya egois dan keras hati. Bundanya membenarkan pernyataan Karin.

Mendengar itu, Rosie sakit hati. Ia sedih dan marah. Rosie tak terima disebut egois dan keras hati. Terpaksa ia mengungkapkan beberapa kebaikan yang telah dilakukannya. Sebab Rosie suka bertindak di belakang layar. Dalam hati, Rosie takut jika ia tidak ikhlas berbuat baik karena semua kebaikannya diungkapkan. Namun ia sudah tak tahan.

Saat itulah mereka tahu bahwa selama ini Rosie berusaha melindungi keluarganya dari upaya pemerasan, pemanfaatan fasilitas, dan pemaksaan dari pihak luar. Rosie pun tengah berusaha mencarikan jodoh untuk Karin. Sebab Rosie memahami keinginan Bundanya. Bunda menginginkan Karin untuk segera menikah.

Setelah mengungkapkan semua itu, Rosie makin kecewa. Ternyata orang tua dan keluarganya sendiri tidak mengenal ia sepenuhnya. Bahkan Bunda percaya saja saat Karin mengatainya egois. Rosie merasa dirinya tidak berguna, tidak diinginkan, tidak dimengerti, dan tidak dihargai. Bunda dan Ayah terlalu sibuk mengenal dan memahami keempat kakaknya. Sementara Rosie sama sekali tak dikenali oleh mereka.

Tengah malam, ketika semua orang sudah tertidur, Rosie berdoa pada Tuhan. Berkeluh kesah pada-Nya. Memohon satu hal agar kelak ia mempunyai anak tunggal. Rosie menganggap anak tunggal adalah jalan terbaik untuk menghindarkan si anak dari konflik, bullying, fitnah, dan adu domba antarsaudara. Selain itu, Rosie akan lebih fokus mengenali dan memahami bila hanya memiliki satu anak.

Kasus di atas cukup kompleks. Anak yang di-bully saudara-saudaranya, ibu yang tidak meluruskan ketika salah seorang anak menuduh saudaranya mempunyai sifat buruk, dan orang tua yang tidak sepenuhnya mengenali karakter anak. Poin terakhirlah yang saya garisbawahi.

Mempunyai ikatan biologis dan hidup bersama tidak menjamin orang tua bisa mengenal karakter anak. Sering kali orang tua tidak mengerti kondisi emosi anak. Sikap otoriter membuat orang tua tidak memahaminya. Pemegang kekuasaan dan kekuatan terbesar di rumah adalah orang tua, atau orang yang memberikan biaya hidup untuk keluarga. Otoritas semacam itulah yang membuat orang tua kerap kali meremehkan perasaan anak.

Setiap anak terlahir dengan karakter yang unik dan khas. Orang tua tidak bisa memaksakan anak harus memiliki karakter/sifat yang didambakannya. Ada anak yang sensitif, mudah tersinggung, perasa, lemah lembut, angkuh tapi perhatian, introvert, ekstrovert, suka berbuat kebaikan di belakang layar, dll. Ada pula anak yang terlihat kuat namun sesungguhnya sangat rapuh. Anak yang dari luar periang belum tentu sepenuhnya bahagia. Bisa saja ia menyembunyikan rasa sakit di balik senyuman, atau eccedentesiast. Anak yang terlihat ekstrovert dan supel,  tapi sebenarnya sangat tertutup dan sensitif. Anak yang dipandang egois dan keras hati, ternyata justru paling lembut dan baik hati di antara saudara-saudaranya. Dari luar si anak terkesan arogan dan pemarah, sesungguhnya ia penolong dan solid.

Apa yang terlihat dari luar belum tentu benar. Perlu pemikiran luas bagi orang tua untuk melihat bagaimana sifat anak sesungguhnya. Orang tua yang berpikir sempit kesulitan mengenali kepribadian anaknya.

Selain itu, sikap pilih kasih juga menjadi faktor lainnya. Orang tua terlalu sibuk mengenali satu-dua anak. Sedangkan anaknya yang lain sama sekali tidak dikenali. Akibatnya, orang tua tidak tahu cara menghadapi si anak yang tidak dikenali itu. Dianggapnya sifat semua anak sama dan semua anak bisa diperlakukan sama.

Terlalu fokus memikirkan karier adalah penyebab yang sering terjadi. Banyak waktu yang seharusnya dihabiskan untuk mengenal dan memahami anak, justru habis untuk kepentingan karier. Orang tua beranggapan, anak cukup dipenuhi kebutuhan finansialnya. Soal memberikan waktu untuk mereka tak lagi penting. Padahal quality time bersama anak penting sekali untuk mengenali kepribadian mereka.

Wajar bila orang tua sudah merasa adil dan merasa mengenali anak mereka. Akan tetapi, ada saja momen dimana anak merasa orang tua tidak adil dan tidak sepenuhnya mengenali dirinya. Pada titik ini, anak akan merasa kecewa. Terlebih ketika orang tua menelan begitu saja pernyataan tentang sifat-sifat buruk anak yang sesungguhnya tidak benar. Bagaimana cara menyikapinya?

1. Lebih banyak meluangkan waktu bersama anak

Jika orang tua tak punya waktu untuk anak, bagaimana orang tua akan mengenal mereka? Sisihkan waktu untuk anak, sesibuk apa pun orang tua. Jadikan anak sebagai prioritas di tengah segala kesibukan. Berikan porsi waktu yang sama untuk masing-masing anak. Dengan begitu, anak tidak merasa dibeda-bedakan. Adanya waktu bersama membuat orang tua lebih mudah mengenali anak.

2. Jangan mengabaikan perasaan anak

Saat anak marah, menangis, jengkel, tersinggung, atau kecewa, jangan dibiarkan. Jangan menganggap bahwa semua emosi negatif itu bisa reda dengan sendirinya. Justru pembiaran itu akan membuat anak semakin terluka. Mereka merasa tidak dimengerti dan tidak disayangi. Tugas orang tualah untuk mendekati, mendampingi, dan meredakan emosi anak.

3. Meluruskan, bukan menelan tuduhan

Anak yang memiliki satu atau lebih saudara kandung rentan mengalami konflik. Entah itu konflik fisik maupun konflik batin. Saat itulah saudara si anak berpotensi melayangkan tuduhan macam-macam. Seperti yang terjadi pada kasus di atas. Sebagai orang tua yang baik, jangan menelan tuduhan itu begitu saja. Luruskan tuduhan itu. Jangan membenarkan bila tidak ada fakta yang membuktikan kebenaran tuduhan itu. Jangan mendengarkan persepsi satu anak saja, melainkan dengarkan persepsi dari semua anak. Jangan jadikan konflik antarsaudara berat sebelah dengan berpihak pada satu anak. Tiap anak punya kesempatan membela diri. Tiap anak punya alasan kuat untuk mempertahankan diri. Orang tua mesti netral dan mampu meluruskan segala tuduhan.

4. Jangan biarkan anak menghadapi  masalahnya sendirian

Poin ini penting. Banyak anak yang lebih terbuka pada orang di luar keluarga. Ada pun anak yang suka mencurahkan isi hatinya lewat tulisan, surat, e-mail, dan diary. Jika orang tua selangkah lebih maju, mereka takkan membiarkan anaknya menghadapi masalah sendirian. Ada baiknya orang tua mengenal siapa orang-orang di luar keluarga yang paling dekat dengan anak. Jalin komunikasi dengan mereka. Pantau perkembangan anak lewat orang-orang di luar keluarga yang dekat dengan anak. Mencoba mencari diary, surat, dan e-mail si anak tak ada salahnya. Lakukan itu sehati-hati mungkin agar si anak merasa privasinya tidak dilanggar.

5. Bicara dari hati ke hati

Inilah yang terpenting. Bagi yang belum terbiasa, bicara dari hati ke hati mungkin terasa sulit. Biasakan sejak awal untuk mengembangkan sikap terbuka pada anak. Ciptakan momen yang sempurna untuk bicara dari hati ke hati dengan anak. Buat anak merasa senang dan nyaman. Jangan lupa pertahankan kontak mata saat berbicara dengannya. Dengarkan isi hati anak dengan sabar. Jangan sekali-sekali menghakimi, menyalahkan, dan menyudutkannya. Biarkan anak mengungkapkan perasaan dan perbuatannya. Setelah itu, giliran orang tua menyampaikan pendapatnya pada anak. Jika ada problem, orang tua dan anak mencari solusinya bersama-sama. Ketika berbicara dari hati ke hati itulah peluang orang tua untuk mengenali karakter anak terbuka lebar.

Kompasianer, siapkah menjadi anak dan orang tua yang saling memahami?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun