Tetapi aku jalani
Semua kisah hidupku ini (Akhir Rasa Ini).
**
Semuanya telah berakhir. Gadisnya telah pergi. Ia takkan pernah melihatnya lagi. Hati kecilnya berbisik, mengucap selamat tinggal pada cinta pertamanya. Ia berdoa memohon kekuatan pada Tuhan. Memohon kerelaan, keikhlasan, dan ketabahan. Bisakah dirinya seikhlas Bunda Maria yang merelakan kematian Yesus Kristus? Dapatkah ia setegar Ali bin Abi Thalib ketika Fatimah Radhiyallahu Anha dipanggil ke sisi Allah?
“Apa yang kamu lakukan pada kakakku?! Jawab!”
Di luar kamar, terlihat Dewi mencegat Nita. Mencengkeram erat lengannya. Berteriak tepat di depan wajahnya.
“Kamu jahat, Nita! Teganya kamu menyakiti kakakku! Kak Albert sedang sakit! Dia butuh kita semua! Tapi kamu meninggalkannya!” Setelah berkata begitu, Dewi menampar Nita. Menarik rambutnya. Dewi tidak terima kakaknya disakiti.
“Kak Albert yang penyabar dan lembut hati itu tidak pantas untukmu! Pergi dari rumah ini! Pergi!” teriak Dewi marah. Lantaran terlalu sibuk mengusir Nita, tak sengaja ia memecahkan sebuah guci. Alhasil guci mahal itu jatuh dan pecah. Dewi memunguti pecahan-pecahannya.
“Guci ini hancur...seperti hati Kak Albert. Tapi jika pecahan-pecahan itu dikumpulkan dan disatukan, maka semuanya akan kembali. Bahkan jauh lebih indah dan rapi. Dan kamu, Nita!” Dewi mendorong kasar punggung Nita ke dekat tangga.
“Kamu tidak berhak lagi mendapatkan hati kakakku!”
Albert tak tahan melihat semua itu. Ia bergegas ke kamar mandi. Menyalakan shower, lalu duduk di bawahnya. Mengabaikan tubuhnya yang demam karena itu merupakan salah satu gejala Limfoma, ia membiarkan bajunya basah kuyup. Albert memeluk lututnya. Berharap kesedihannya terbawa bersama guyuran air shower yang membasahi tubuhnya. Tak ada air mata,