Langit kelam berselimut awan-awan Cumolonimbus. Gerimis turun mengawali pagi itu. Udara semakin dingin. Kesuraman nyata terlukis di kota apel penghasil pria tampan dan wanita cantik itu.
“Terima kasih kamu mau datang ke sini, Nita.” Albert menatap wajah Nita tulus. Satu tangannya merapatkan sweater v-neck putihnya.
“Kamu kurus sekali. Bagaimana rasanya keluar dari biara?”
Sesaat Albert terdiam. Limfoma merampas berat tubuhnya, selera makannya, dan antibodi dalam tubuhnya. Limfoma pulalah yang membuatnya terpaksa cuti untuk sementara waktu.
“Aku tidak keluar, Nita. Aku hanya cuti selama menjalani pengobatan,” jawabnya lembut.
“Who care? Toh bulan depan aku akan menikah,” potong Nita cepat.
Detik berikutnya, Albert terpaku. Aliran darahnya serasa berhenti. Menikah? Nita, gadis yang dicintainya, akan menikah? Itu berarti, Nita akan meninggalkannya. Jauh di dasar hati, sesuatu runtuh perlahan. Torehan demi torehan panjang terbentuk. Makin lama makin dalam, membentuk luka. Pedih, menyakitkan.
“Tapi kenapa, Nita? Kenapa kamu ingin menikah dengan pria lain?”
Nita menghela nafas panjang. Tatapannya terarah lurus ke mata teduh milik pria tampan di depannya. Tak nampak lagi kehangatan dan kelembutan di sana. Tidak, ini bukan Nita yang Albert kenal. Pasti ada yang salah dengan semua ini.
“Aku tidak bisa bersama pria berpenyakit dan lemah sepertimu. Kamu tidak pernah tegas dalam mengambil keputusan. Selalu saja kamu mengulur-ulur waktu. Kamu tidak bisa diharapkan.”
Kata-kata Nita seperti ratusan panah yang menghujam hatinya. Hati yang lembut itu sempurna terkoyak. Tercabik oleh kesedihan dan rasa sakit.