Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lembaran-lembaran Hidup: Aku Pun Ingin Hidup Normal

27 Februari 2017   07:12 Diperbarui: 27 Februari 2017   08:25 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1 Januari

Lembaran 1

Kata orang, ia cantik. Namun sering kali ia tak percaya. Ia ragu dengan kecantikannya sendiri. Kata orang, kulitnya putih dan matanya indah. Matanya berwarna biru. Salah satu teman ibunya menjulukinya Boneka Barbie. Benarkah itu? Seiring berjalannya waktu, ia mulai percaya. Kepercayaan dirinya kembali bangkit.

Umur dua tahun, ia sudah bisa membaca. Ia hafal semua warna. Kata guru-gurunya, tingkat intelegensianya tinggi. Kemampuannya menghafal dan menganalisis sangat cepat.

Umur tiga tahun ia sudah tahu arti toleransi. Pasalnya ia bersekolah di sekolah Kristen. Dalam usianya yang masih kecil, ia mengerti makna perbedaan. Ia menghormati teman-temannya. Ia menyayangi teman-temannya meski cara ibadah, doa, dan iman mereka berbeda.

Dimana pun ia berada, entah di sekolah atau di rumah, orang-orang menjulukinya Bule. Ia senang dengan julukan itu. Ia bahkan bangga karenanya.

Ia punya dua sahabat di masa kecil. Rasa simpati dan empatinya begitu besar. Pasalnya, dua sahabatnya yatim. Hanya dirinya yang mempunyai orang tua lengkap. Ia tak keberatan berbagi kasih sayang orang tuanya dengan kedua sahabatnya.

Salah seorang sahabatnya lumpuh. Ia senang tiap kali mengulurkan tangan untuk membantu sahabatnya. Mendorong kursi rodanya, membantunya dalam pelajaran, dan memberinya hadiah Natal. Sang sahabat pun mendukungnya. Jika ia mengikuti kontes menyanyi atau siaran radio, sang sahabat tak pernah melewatkan waktu untuk menyaksikan bakatnya.

Sejak kecil, ia suka menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju padanya. Ia suka itu. Bukan karena ia mengalami over narsistik sindrom, namun karena ia ingin menunjukkan pada semua orang bahwa ia bukan anak perempuan biasa. Ia ingin menunjukkan dan memotivasi siapa pun dengan kemampuan, kecantikan, dan bakatnya. Sayang sekali, banyak orang sering salah mengerti. Ia sering dituduh sombong dan suka membanggakan dirinya sendiri. Padahal maksud sebenarnya tidak begitu. Ia benci pada semua orang yang mengatainya sombong. Mereka tidak pengertian, tidak benar-benar memahami dirinya.

Ramadhan tahun 2007, ia mengajari sepupunya yang baru pindah rumah untuk bermain piano. Saat itu ia masih kelas 5 Elementary School. Sedangkan sepupunya yang ia ajari bermain piano kelas 7 Junior High School. Tak masalah, bukankah belajar tak harus dibatasi status, usia, senioritas, dan sejenisnya? Ilmu bisa didapat dari siapa saja dan dari mana saja.

Saat itulah ia tersadar. Ia senang saat mentransfer ilmu untuk orang lain. Kebahagiaannya terletak pada ilmu yang dibagi. Ilmu takkan habis meski dibagi pada banyak orang. Justru ilmu akan terus bertambah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun