Albert mengajaknya masuk. Keduanya duduk berhadapan di sofa. Hubungan ayah dan anak itu memang kurang baik. Apa lagi setelah Mummy meninggal dan Albert memutuskan memilih jalan hidup yang berbeda dengan saudara-saudaranya: hidup tanpa menikah. Sekali pun ada seorang gadis yang tulus mencintainya di luar sana.
“Albert, sampai kapan kamu mau jadi psikolog terus? Kamu tidak ingin meneruskan perusahaan keluarga kita?” kata pria paruh baya itu to the point.
“Maaf Daddy, aku sama sekali tidak tertarik meneruskan bisnis keluarga. Lebih baik Daddy serahkan posisiku di perusahaan pada orang lain.” Jawab Albert tegas.
Wajah Daddy berubah marah. Susah payah ia menahan emosinya.
“Kamu anak tidak tahu diri! Coba sekali saja, buat keluargamu bangga! Lihat kakak-kakakmu! Mereka selalu menjadi anak yang membanggakan! Tidak pernah mengecewakan seperti kamu!”
Sakit menusuk hati Albert. Sampai dewasa pun, ia masih dibanding-bandingkan dengan saudaranya yang lain. Kapankah semua ini akan berakhir?
“Daddy, aku punya panggilan hidup yang berbeda. Izinkan aku menjalani pilihanku sendiri. Menjadi psikolog adalah panggilan jiwaku. Aku pun bahagia hidup dengan anak tunggalku. Aku mohon, Daddy mengerti pilihanku.” Pinta Albert sedih.
Tepat pada saat itu, pintu terbuka. Chelsea melangkah menghampiri mereka. Tersenyum memesona.
“Ayah, itu Grandpa ya?” ucapnya polos. Raut wajah innocent-nya makin menyentuh hati Albert.
Sebaliknya, Daddy menatap Chelsea penuh kebencian. “Ini semua pasti gara-gara anak pungut yang tidak jelas asal-usulnya itu! Dia sudah meracuni pikiranmu!”
Seraya memeluk Chelsea, Albert membalas perkataan Daddy-nya. “Putri tunggalku tidak bersalah, Daddy. Aku sangat menyayanginya. Aku ingin hidup bahagia dengannya.”