Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadirmu Gantikan Dirinya

3 Januari 2017   07:23 Diperbarui: 3 Januari 2017   07:51 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudah untuk mengatur semuanya.” Putri keempat mengusulkan. “Oh tidak bisa!” potong Nyonya Yulia emosi. “Kenapa tidak bisa?” Mama menaikkan nada suaranya. “Asal kamu tahu ya, bukan maksudku pamer atau riya, rumahku di Bandung selalu dipenuhi tamu dari kompleks perumahan dan dari perkampungan di belakang kompleks tiap kali Idul Fitri. Warga perumahan maupun warga perkampungan datang dan bahagia, merayakan Lebaran dan silaturahmi bersama. Mereka senang datang ke rumahku. Tak masalah, Yulia. Tidak ada yang tidak bisa, aku percaya itu.” Nyonya Yulia dan suaminya membelalakkan mata.

“Itu karena kamu dan suamimu terlalu royal! Warga dari perkampungan kalian manjakan! Kalian beri uang dan makanan! Kalian terlalu baik!” Mama beristighfar. Memutuskan untuk diam. Tak ingin berdebat lebih panjang. “Yulia, harta kekayaan tidak akan dibawa mati. Sadarilah itu. Rupanya pergi ke Mekkah tidak membuka mata hatimu. Kemana hati baikmu, Yulia?” ungkap Nyonya Bunga, suaranya bergetar. Para cucu tak berani ambil bagian. Hanya menyaksikan ritme rapat keluarga yang semakin memanas. Nyonya Dionesia terisak. Wajah Tuan Riyadi dan Nyonya Bunga amat sedih. Hal itu tertangkap jelas oleh Arif. Sebagai anak, ia ikut merasakan apa yang orang tuanya rasakan. Ia tak rela melihat orang tuanya bersedih. Maurin paham itu. Dipeluknya Arif erat-erat.

Dikecupnya puncak kepala anak itu. Mensugestikan rasa aman dan tenang. Berusaha menghapus rasa cemas di hati kanak-kanak yang masih lunak dan putih itu. Hati yang polos dan belum terkontaminasi emosi negatif seperti dendam, amarah, dan kebencian. Bukankah anak bagaikan selembar kertas putih? “Arif jangan sedih...ya? Ada aku di sini. Habis ini kita jalan-jalan. Aku udah beliin hadiah buat Arif. Jangan sedih lagi, Sayang.” Bujuk Maurin. Hal itu benar. Ia menyiapkan hadiah istimewa untuk sepupu kesayangannya. Kehadiran Arif mengobati rasa rindunya. Rindu pada seseorang dengan nama depan yang sama dengan anak kecil berwajah tampan di pangkuannya ini.

Arif Albert tak di sisinya kini. Namun ia bisa mencurahkan cinta, rindu, dan kasihnya untuk Arif sepupunya. Ia bisa memanjakannya, memeluknya, dan mencurahinya perhatian sebesar yang ia mau. ** Tak akan pernah hilang Janji-janji kita Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini Tak kulepas semua mimpi indah kita Walau itu semua pudar Seperti ini hanyalah mimpi (Isyana Sarasvati-Mimpi). ** “Sabar ya, Riyadi. Doa orang yang teraniaya dan terzhalimi akan dikabulkan.” Mama menepuk pundak Tuan Riyadi. Lembut membesarkan hati. Maurin bergabung dengan mereka. Arif terlelap dalam pelukannya. Tuan Riyadi mengulurkan tangan. Membelai hangat rambut Arif. “Mama sedih ya, gara-gara rapat tadi?” tanya Maurin lembut. “Hmm...iya. Mama tak habis pikir dengan situasi keluarga kita.

Terserahlah apa yang mau mereka lakukan. Terserah jika Dionesia dan Gabriel ingin mengambil alih semua warisan.” Gadis itu menundukkan kepala. Jujur, ia sudah kehilangan kepercayaan dengan Nyonya Dionesia. Wanita yang semula dihormatinya, wanita yang mempunyai kisah yang sama dengannya. Ternyata tak pantas untuk dipercaya. Dengan dalih keluarga yang terjerat kesulitan ekonomi, kekayaan orang lain diperebutkan. Entah, kepercayaannya pudar seketika. Maurin yang sulit mempercayai orang lain, kini semakin sulit dan lebih rapat menutup pintu hatinya. Ingatannya tertuju pada kata-kata Arif Albert.

Sewaktu ia bercerita tentang problem yang dihadapi keluarga besarnya, pemuda tampan itu menyayangkan sikap orang-orang yang selalu memperebutkan harta kekayaan. Dari pada mengingat harta dan warisan, lebih baik mengingat nasihat dan kebaikan orang yang telah meninggal. Itu akan jauh lebih bermakna dan berguna. “Riyadi, kamu harus operasi. Mau ya?” Mama mengalihkan pembicaraan. “Aku tidak mau. Operasi itu berisiko kematian. Semua kupasrahkan pada Allah. Jika umurku tak panjang, memang sudah takdirnya. Jika aku harus menyusul Ibu secepatnya, aku ikhlas.” Ya Allah, apakah hidup harus dijalani dengan pesimistis?

Umur memang ada di tangan-Mu, tapi... “Riyadi, umur memang ada di tangan Tuhan. Tapi tak ada salahnya kita berusaha, berdoa, dan berikhtiar. Bukan hanya demi kamu atau Bunga, tapi demi...” Mama mendekat. Lembut mengelus kening Arif dengan tangan halusnya. Menyibakkan rambut anak itu. “Demi anak tunggalmu, Riyadi. Kamu mau, anakmu yang tampan hidup tanpa ayah? Dia masih terlalu kecil untuk menyandang status yatim. Dia masih membutuhkanmu. Okey ada ibunya, tapi tetap saja dia tak sebahagia anak lainnya yang punya keluarga lengkap. Lakukan operasi itu, Riyadi. Demi Arif.” Hening. Tuan Riyadi tenggelam dalam pikirannya.

Menjalani operasi berisiko tinggi, tidak menjalani operasi lebih berisiko lagi. Nyawa jadi taruhannya. Dilematis. Di atas semua itu, masih tersisa pijar harapan. Harapan untuk sembuh takkan hilang. Allah menurunkan penyakit beserta obatnya. Dering ponsel memecah keheningan. Ternyata ada telepon. Tanpa melihat nama penelepon, Maurin menjawabnya. “Pagi, Rin...” Hangat menyelimuti tubuh Maurin. Ia kenal suara lembut itu, suara sepupu jauhnya. Sepupu yang sangat ia rindukan.

“Mas Anton? Pagi...ada apa?” balasnya. “Kamu di Bandung, kan? Weekend ini, aku sama Ayah dan Ibu mau ke rumah kamu. Tunggu kami, ya?” Kabar bahagia menyapa di tengah kemelut konflik dan kesedihan. Maurin bahagia sekali menerima kabar itu. Anton datang di saat yang tepat. Rindu dari kota budaya akan terbawa hingga ke kota Paris van Java. ** Dear Albert, Hari ini aku mendapat pelajaran berharga. Rapat keluarga dan rencana kedatangan sepupu jauhku yang sangat kurindukan membawa warna baru. Kamu pasti sibuk sekali di sana. Sampai-sampai melupakanku. Meski begitu, aku tak pernah melupakanmu sesibuk apa pun diriku. Aku paham dan mengerti dirimu luar-dalam. Aku selalu mendoakan agar kamu baik-baik saja. I love you. Ik hou van jou. Maurin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun