Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadirmu Gantikan Dirinya

3 Januari 2017   07:23 Diperbarui: 3 Januari 2017   07:51 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuingin dia yang sempurna Untuk diriku yang biasa Kuingin hatinya, kuingin cintanya Kuingin semua yang ada pada dirinya Ku hanya manusia biasa Tuhan bantuku tuk berubah Kumiliki dia kubahagiakannya Ku menjadi seorang yang sempurna Untuk dia (Sammie-Dia). Lagi-lagi dua sepupu itu menyanyi bersama. Denting lembut piano mengiringi mereka. Gadis berambut panjang itu menatap heran wajah pemuda tampan di sisinya. Nampak pemuda 16 tahun itu sangat kalut. “Dani kenapa?” tanya si gadis penuh simpati. “Mamaku bukan lagi sosok sempurna,” desahnya. “Maksud kamu?” “Mama Paulina berubah. Suka pergi sama teman-temannya. Suka ninggalin Papa.

Apa salah Papa sama Mama? Sampai Mama kayak gitu?” Iba menyentuh hati gadis Virgo itu. Ternyata begitulah kelakuan Auntie-nya selama ini. Kasihan Eyang Putri di surga sana, bisik hatinya. Pasti beliau sedih sekali melihat situasi rumah tangga putri ketiganya. “Waktu Tahun Baru kemarin, Mama biarin Papa sendirian di rumah. Mama malah ke villa temannya, senang-senang di sana. Kasihan Papa...” “Astaghfirulah al-azhim. Mama kamu kok gitu? Aduh, aku jadi ingat Mamaku.” “Kenapa, Mbak?” “Yah...waktu aku sedih sebelum momen pergantian tahun, Mama orang pertama yang membelai punggungku sambil bilang ‘kenapa kamu nangis?’. Pelukannya itu lho, mirip sama...” “Arif Albert?” tebak Dani cepat, binar cerdik terpancar di matanya. “Iya, aku baru mau sebut itu. Mamaku selalu ada untuk keluarganya. Tidak jauh, tidak pernah berhenti memperhatikan keluarganya.” Dani menghela nafas. “Mbak Maurin beruntung. Mamaku mana mau begitu? Di rumah saja sudah Alhamdulillah.” “Kamu jangan gitu. Justru sebagai anak, tugas kamu adalah mengingatkan dan membantu Mama kamu agar lebih baik.” Maurin dihadapkan pada kenyataan pahit. Ternyata ada bagian dari keluarganya yang berantakan. Ada yang mulai rapuh dan hancur. Derap langkah sepatu disusul kemunculan Keanu menyadarkan mereka. Keanu menghampiri Dani dan Maurin. Raut wajahnya jengkel. “Kenapa, Sayang?” tanya Maurin seraya membelai pipi kanak-kanak itu. Sebagai jawaban, Keanu menunjuk ke jendela. Dani dan Maurin mengikuti arah telunjuk Keanu. Sebuah sedan hitam baru saja berhenti. Pintunya terbuka. Sesosok anak laki-laki melompat turun dari mobil. Dengan lincah berlari di halaman. Wajah anak lelaki itu amat tampan. Ia lebih dari sekedar rupawan. Sepasang mata teduh, hidung mancung, lekuk wajah sempurna, dan rambut hitam lebat menjadikan profilnya memikat. Roman mukanya polos khas anak kecil, namun sangat memesona. Postur tubuhnya pun proporsional.

“Ya Allah, itu siapa? Ganteng banget,” desah Maurin tanpa sadar. “Iya Mbak, anak siapa ya?” Pertanyaan mereka terjawab seketika. Tuan Riyadi dan Nyonya Bunga turun dari mobil. Tersenyum, lalu mengelus kepala anak itu. “Masya Allah, itu...itu Arif?” seru Maurin tertahan. Dani mengangguk. Speechless. “Charming!” Sedetik kemudian Maurin berlari turun ke halaman. Dani mengejarnya, tak lupa menggendong Keanu. Daya tarik fisik merupakan faktor penting dalam ketertarikan interpersonal memang benar. Kesan pertama yang didapatkan seseorang melalui parasnya. Secantik atau setampankah dia? Sejumlah penelitian psikologi telah membuktikan hal itu. Maurin pun tak ingin munafik atau mengingkari fakta. Satu kata saat melihat sepupu barunya: charming. Ternyata Arif sangat tampan. Bahkan jauh lebih tampan dari Keanu. Secara psikologis, anak yang memiliki daya tarik fisik akan memiliki harga diri yang jauh lebih tinggi pula. Begitu juga dengan orang dewasa yang memiliki daya tarik fisik lebih. Harga dirinya akan jauh lebih tinggi (radiating beauty effect). “Ehem...lebih ganteng mana nih? Arif sepupu kita atau Arif Albert?” Tepukan kuat di pundaknya mengejutkan gadis bergaun pale blue itu. Dani sudah berada di sisinya. Tersenyum penuh arti. “Dua-duanya ganteng kok,” sahut Maurin jujur. “Ah, lebih ganteng Arif sepupu kitalah.

Arif Albert lewat, Keanu juga lewat.” Mendengar itu, Keanu berteriak memprotes. Dani tertawa dan mengacak-acak rambut Keanu. Sepasang mata biru milik gadis itu tak lepas menatapi Arif. Kini Arif tengah berpelukan dengan Chelsea. Chelsea melempar senyum anggunnya, Arif memberi senyum menawannya. Keanu tak tahan melihatnya. Ia menyembunyikan wajah di leher Dani. “Oh...pantesan Keanu ngambek. Dia punya saingan sekarang,” goda Dani. Nampak jelas Chelsea langsung tertarik dan dekat dengan Arif. Chelsea yang cantik bersama Arif yang tampan. Rumah induk itu akan semakin indah oleh generasi baru ini. Posisi Keanu bisa tergeser.

“Ya ampun, itu Arif? Cakepnya...!” Della, Vallen, dan Clara berseru terpesona. “Kayak nggak pernah liat cowok ganteng aja.” Komentar Fadil. Melempar pandang tajam pada Arif. Ditatap begitu, Arif stay cool. Benar asumsi Maurin. Arif memiliki harga diri dan gengsi yang cukup tinggi sebagai anak dengan daya tarik fisik yang lebih dominan. “Sok kecakepan banget! Masih kecil juga!” kata Fadil geram. Arif tak gentar diintimidasi Fadil. Tatapannya kini berpindah pada Maurin. Sepasang mata teduh bertemu sepasang mata biru. Selangkah demi selangkah, Maurin menghampiri Arif. Tangan kanannya terulur. Lembut menyentuh pergelangan tangan Arif.

Arif cukup responsif. Ia balas menyentuh tangan gadis itu. Raut wajahnya kini begitu innocent. “Hai Sayang...” sapa Maurin. Menunduk, lalu memeluk dan mencium kanak-kanak itu. Tak puas-puasnya menatapi wajah tampan Arif. “Aku foto...mau ya, Sayang? Mau ya?” “Jangan,” cegah Tuan Riyadi buru-buru. “Lho...kenapa?” “Kami tidak ingin foto Arif dilihat oleh siapa pun di luar keluarga. Tak mau dia jadi konsumsi publik.” Jelas Nyonya Bunga. “Tapi kalau aku tulis boleh ya?” “Boleh.” Putra-putri almarhumah Eyang Putri berkumpul di tepi halaman. Tuan Riyadi dan Nyonya Bunga bergabung dengan mereka. Tersenyum, lalu berkata penuh kasih. “Itu Arif.

Anak tunggal kami.” ** Rapat keluarga besar. Atmosfer ketegangan melingkupi ruang tengah. Para cucu duduk bersebelahan, mulai resah. Arif berada di pangkuan Maurin. Dani memangku Chelsea. Keanu sudah lama ditarik ke pangkuan Della. “Dionesia, kamu masih menginginkan rumah ini jatuh ke tanganmu?” tanya Nyonya Yulia dingin. Nyonya Dionesia merasa dihakimi. Ia menundukkan wajah, tak kuasa membalas tatapan tajam Nyonya Yulia. Tuan Gabriel mengusap-usap lengan istrinya. “Aku...” “Kamu memang tidak tahu diri ya! Kamu bukan putra dia! Mengharapkan rumah dan segala warisannya, yang seharusnya jatuh ke tangan putra-putri dia!

Kamu sudah merebut hak orang lain!” dakwa Nyonya Yulia berang. Tuan Yazid menengahi. “Sudah, sudah. Aku yakin Almarhumah Ibu tidak akan mempermasalahkan bila tahu kondisi Gabriel dan Dionesia yang sebenarnya. Biarkan saja kalau mereka menginginkan rumah dan segala isinya. Yang seharusnya jadi hak Riyadi dan kami semua. Riyadi, kamu jangan khawatir. Nanti kuganti dengan rumah baru. Hakmu tetap menjadi hakmu. Rezekimu selamanya akan menjadi rezekimu. Rumah warisanmu boleh diambil, tapi insya Allah kau dan aku bisa menggantinya.” Tuan Riyadi menarik nafas panjang.

Wajahnya berubah sendu. “Aku tidak peduli soal warisan, Yazid. Juga soal wasiat. Aku hanya kasihan pada Almarhumah Ibu.” Tepat itulah yang ada di pikiran Maurin. Rupanya Maurin dan Tuan Riyadi memiliki jalan pikiran yang sama. Setiap masalah semestinya dilihat dari berbagai sudut pandang. Tidakkah mereka kasihan pada Eyang Putri? Eyang Putri pasti takkan tenang melihat keluarga besarnya bersengketa. “Yazid, Riyadi, dengarkan aku. Coba kalian pikirkan. Ini rumah induk keluarga kita. Tiap Idul Fitri dan momen-momen khusus lainnya, kita berkumpul di sini. Kita bisa mengadakan open house di sini.

Jika rumah ini ditempati keluarga Dionesia yang notabenenya Katolik, dimana lagi kita akan berkumpul bersama saat hari raya? Dimana kita bisa mengadakan open house untuk keluarga dan orang-orang lainnya yang biasa datang? Tidak mungkin keluarga Katolik sudi menyediakan rumahnya untuk perayaan hari besar umat agama lain! Apa lagi ini keluarga miskin yang hanya bisa menyusahkan kita selama ini!” Dani dan Maurin saling pandang. Mengapa harus mengungkit soal agama? Apakah nilai toleransi sudah benar-benar berkurang? Seharusnya, perkara agama tak usah disebut-sebut. Mengapa pula Nyonya Yulia harus mencela keluarga Nyonya Dionesia sedemikian rupa? Della menutup rapat telinga Keanu. Mencegah kanak-kanak itu mendengar hal negatif.

Tak ingin pikiran anak sekecil itu terkontaminasi. Dani membuai Chelsea di pelukannya. Amat berharap gadis kecil itu tidur agar tak usah mendengar pertengkaran orang dewasa. Maurin berusaha mengalihkan perhatian Arif dengan mendekap dan memberikan kecupan hangatnya. Mendorongnya untuk bicara. Sayangnya, Arif terlalu sibuk memperhatikan ekspresi wajah kedua orang tuanya. “Yulia, kamu dan suamimu bisa menjadikan rumah kalian sebagai tempat open house. Rumah kalian besar dan luas.

Mudah untuk mengatur semuanya.” Putri keempat mengusulkan. “Oh tidak bisa!” potong Nyonya Yulia emosi. “Kenapa tidak bisa?” Mama menaikkan nada suaranya. “Asal kamu tahu ya, bukan maksudku pamer atau riya, rumahku di Bandung selalu dipenuhi tamu dari kompleks perumahan dan dari perkampungan di belakang kompleks tiap kali Idul Fitri. Warga perumahan maupun warga perkampungan datang dan bahagia, merayakan Lebaran dan silaturahmi bersama. Mereka senang datang ke rumahku. Tak masalah, Yulia. Tidak ada yang tidak bisa, aku percaya itu.” Nyonya Yulia dan suaminya membelalakkan mata.

“Itu karena kamu dan suamimu terlalu royal! Warga dari perkampungan kalian manjakan! Kalian beri uang dan makanan! Kalian terlalu baik!” Mama beristighfar. Memutuskan untuk diam. Tak ingin berdebat lebih panjang. “Yulia, harta kekayaan tidak akan dibawa mati. Sadarilah itu. Rupanya pergi ke Mekkah tidak membuka mata hatimu. Kemana hati baikmu, Yulia?” ungkap Nyonya Bunga, suaranya bergetar. Para cucu tak berani ambil bagian. Hanya menyaksikan ritme rapat keluarga yang semakin memanas. Nyonya Dionesia terisak. Wajah Tuan Riyadi dan Nyonya Bunga amat sedih. Hal itu tertangkap jelas oleh Arif. Sebagai anak, ia ikut merasakan apa yang orang tuanya rasakan. Ia tak rela melihat orang tuanya bersedih. Maurin paham itu. Dipeluknya Arif erat-erat.

Dikecupnya puncak kepala anak itu. Mensugestikan rasa aman dan tenang. Berusaha menghapus rasa cemas di hati kanak-kanak yang masih lunak dan putih itu. Hati yang polos dan belum terkontaminasi emosi negatif seperti dendam, amarah, dan kebencian. Bukankah anak bagaikan selembar kertas putih? “Arif jangan sedih...ya? Ada aku di sini. Habis ini kita jalan-jalan. Aku udah beliin hadiah buat Arif. Jangan sedih lagi, Sayang.” Bujuk Maurin. Hal itu benar. Ia menyiapkan hadiah istimewa untuk sepupu kesayangannya. Kehadiran Arif mengobati rasa rindunya. Rindu pada seseorang dengan nama depan yang sama dengan anak kecil berwajah tampan di pangkuannya ini.

Arif Albert tak di sisinya kini. Namun ia bisa mencurahkan cinta, rindu, dan kasihnya untuk Arif sepupunya. Ia bisa memanjakannya, memeluknya, dan mencurahinya perhatian sebesar yang ia mau. ** Tak akan pernah hilang Janji-janji kita Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini Tak kulepas semua mimpi indah kita Walau itu semua pudar Seperti ini hanyalah mimpi (Isyana Sarasvati-Mimpi). ** “Sabar ya, Riyadi. Doa orang yang teraniaya dan terzhalimi akan dikabulkan.” Mama menepuk pundak Tuan Riyadi. Lembut membesarkan hati. Maurin bergabung dengan mereka. Arif terlelap dalam pelukannya. Tuan Riyadi mengulurkan tangan. Membelai hangat rambut Arif. “Mama sedih ya, gara-gara rapat tadi?” tanya Maurin lembut. “Hmm...iya. Mama tak habis pikir dengan situasi keluarga kita.

Terserahlah apa yang mau mereka lakukan. Terserah jika Dionesia dan Gabriel ingin mengambil alih semua warisan.” Gadis itu menundukkan kepala. Jujur, ia sudah kehilangan kepercayaan dengan Nyonya Dionesia. Wanita yang semula dihormatinya, wanita yang mempunyai kisah yang sama dengannya. Ternyata tak pantas untuk dipercaya. Dengan dalih keluarga yang terjerat kesulitan ekonomi, kekayaan orang lain diperebutkan. Entah, kepercayaannya pudar seketika. Maurin yang sulit mempercayai orang lain, kini semakin sulit dan lebih rapat menutup pintu hatinya. Ingatannya tertuju pada kata-kata Arif Albert.

Sewaktu ia bercerita tentang problem yang dihadapi keluarga besarnya, pemuda tampan itu menyayangkan sikap orang-orang yang selalu memperebutkan harta kekayaan. Dari pada mengingat harta dan warisan, lebih baik mengingat nasihat dan kebaikan orang yang telah meninggal. Itu akan jauh lebih bermakna dan berguna. “Riyadi, kamu harus operasi. Mau ya?” Mama mengalihkan pembicaraan. “Aku tidak mau. Operasi itu berisiko kematian. Semua kupasrahkan pada Allah. Jika umurku tak panjang, memang sudah takdirnya. Jika aku harus menyusul Ibu secepatnya, aku ikhlas.” Ya Allah, apakah hidup harus dijalani dengan pesimistis?

Umur memang ada di tangan-Mu, tapi... “Riyadi, umur memang ada di tangan Tuhan. Tapi tak ada salahnya kita berusaha, berdoa, dan berikhtiar. Bukan hanya demi kamu atau Bunga, tapi demi...” Mama mendekat. Lembut mengelus kening Arif dengan tangan halusnya. Menyibakkan rambut anak itu. “Demi anak tunggalmu, Riyadi. Kamu mau, anakmu yang tampan hidup tanpa ayah? Dia masih terlalu kecil untuk menyandang status yatim. Dia masih membutuhkanmu. Okey ada ibunya, tapi tetap saja dia tak sebahagia anak lainnya yang punya keluarga lengkap. Lakukan operasi itu, Riyadi. Demi Arif.” Hening. Tuan Riyadi tenggelam dalam pikirannya.

Menjalani operasi berisiko tinggi, tidak menjalani operasi lebih berisiko lagi. Nyawa jadi taruhannya. Dilematis. Di atas semua itu, masih tersisa pijar harapan. Harapan untuk sembuh takkan hilang. Allah menurunkan penyakit beserta obatnya. Dering ponsel memecah keheningan. Ternyata ada telepon. Tanpa melihat nama penelepon, Maurin menjawabnya. “Pagi, Rin...” Hangat menyelimuti tubuh Maurin. Ia kenal suara lembut itu, suara sepupu jauhnya. Sepupu yang sangat ia rindukan.

“Mas Anton? Pagi...ada apa?” balasnya. “Kamu di Bandung, kan? Weekend ini, aku sama Ayah dan Ibu mau ke rumah kamu. Tunggu kami, ya?” Kabar bahagia menyapa di tengah kemelut konflik dan kesedihan. Maurin bahagia sekali menerima kabar itu. Anton datang di saat yang tepat. Rindu dari kota budaya akan terbawa hingga ke kota Paris van Java. ** Dear Albert, Hari ini aku mendapat pelajaran berharga. Rapat keluarga dan rencana kedatangan sepupu jauhku yang sangat kurindukan membawa warna baru. Kamu pasti sibuk sekali di sana. Sampai-sampai melupakanku. Meski begitu, aku tak pernah melupakanmu sesibuk apa pun diriku. Aku paham dan mengerti dirimu luar-dalam. Aku selalu mendoakan agar kamu baik-baik saja. I love you. Ik hou van jou. Maurin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun