Malaikat cintaku"
**
Bagiku, malam adalah waktu yang tepat untuk berbicara, mendengarkan, evaluasi diri, dan berdoa. Bukankah hidup harus seimbang? Ada saat untuk hal-hal duniawi, ada pula waktu untuk ibadah dan memperkuat relasi dengan Tuhan. Ada saat untuk berusaha, ada waktu untuk berdoa. Ada saat untuk beraktivitas, ada waktu untuk rileks dan mengistirahatkan tubuh serta pikiran. Ada saat untuk karier dan studi, ada waktu yang disisihkan untuk keluarga dan orang-orang terdekat.
“Tetap hati-hati ya?” Ia berpesan. Aku tersenyum, pelan mengiyakan.
Aku membalik halaman buku yang tengah kubaca. Sebuah buku yang sangat bagus. Sudah lama aku mencarinya.
“Mas Roman, akhirnya aku dapat buku yang sudah lama kucari. Seksualitas Kaum Berjubah. Aku baru tahu, Romo Paul ternyata seorang Jesuit.” Ungkapku antusias.
“Ya, saya juga pernah baca buku itu.” Sang mantan biarawan Fransiskan menanggapi keantusiasanku.
“Buku yang bagus. Aku jadi makin berempati sama biarawan dan biarawati.”
“Kenapa berempati?”
“Mereka mau hidup selibat. Mereka mau hidup membiara di tengah segala tantangan, terlebih dalam hal seksual dan psikoseksual. Entah, aku merasa nyaman dan tenang di dekat mereka. Auranya berbeda...ada yang istimewa, baik itu biarawan/biarawati, dan mantan biarawan/biarawati. Aura yang sangat positif. Begitu pula energi positif yang mereka miliki. Bahkan aku pernah berkata pada sahabatku, Chika. ‘Chik, kalo aku ditakdirkan Allah menikah sama pria Katolik, aku ingin menikah dengan mantan Frater atau mantan Romo. Sosok-sosok seperti itu yang aku butuhkan. Mencintai bukan mencari sosok yang kita inginkan, melainkan sosok yang kita butuhkan’.”
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Kutangkap perubahan dalam diri pria baik hati itu. Pastilah ia menyerap kata-kataku. Mantan Frater? Mantan Romo? Dengan mudah, kuselami isi hatinya.