“Well, kenapa kamu percaya padaku? Kamu kan punya banyak orang-orang terdekat yang menyayangimu di sana. Kenapa harus aku, Dear? Ada Renna, Chika, Nia, keluargamu, dan...laki-laki yang namanya sama denganku itu. Albert Fast.” Albert mulai penasaran.
“Mereka tidak mengerti aku seperti kamu mengerti aku. Kamu yang paling mengerti dan memahamiku. So, aku percaya padamu meski kamu jauh dariku.”
Entah apa yang dipikirkan Albert saat itu. Maurin berharap Albert memikirkan baik-baik apa yang dikatakannya. Ia hanya ingin membuka mata hati Albert. Mengajaknya melihat dari perspektif yang berbeda.
“Kamu sendiri bagaimana? Aku rasa, kamu tidak punya seseorang yang benar-benar dekat denganmu di sana.” Lanjut Maurin.
“Kata siapa? Aku punya,” bantah Albert.
“Coba sebutkan siapa namanya. Kenalkan padaku. Agar aku tahu kamu tidak menghadapi semuanya sendirian.”
Sayangnya, Albert tidak menyebutkan satu nama pun. Hal ini menguatkan keyakinan di hati Maurin jika pemudanya tak punya teman. Teman yang benar-benar dekat dan mengerti dirinya.
“Albert, percayalah. Dua jauh lebih baik dari satu. Masalah akan lebih ringan jika dihadapi bersama, bukan sendirian.” Kesekian kalinya Maurin memberi kata-kata sugestif. Mensugestikan hal positif. Membuka pikiran Albert dengan caranya.
Ia percaya Albert bisa menjaga dirinya sendiri. Namun ada yang rapuh dalam diri pemuda bermata teduh itu. Ia sakit, dan belum sepenuhnya sembuh. Bukankah setiap penyakit harus disembuhkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H