Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Ucapmu

28 November 2016   05:48 Diperbarui: 28 November 2016   08:27 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Januari, 2006 Aku terpaku mendengar cerita Papa. Malam beranjak, langit bertabur bintang. Jarum jam di ruang keluarga berputar tepat di angka sepuluh. Kurapatkan selimut, Papa meletakkan bantal di atas kepalaku. Tersenyum, meneruskan bercerita. “...Sepuluh tahun Papa tinggal di asrama itu. Kamu tahu? Pagi-pagi sekitar pukul lima, Papa dan teman-teman harus sudah bangun. Mandi, lalu berdoa. Suasana dalam asrama harus hening. Kami dilarang bicara.” “Oh ya?” Aku membulatkan mata tak percaya. “Iya. 

Pokoknya ada jam-jam dimana kami harus berada dalam keheningan, khusyuk dalam doa. Setelah doa pagi, mulailah kami belajar. Ada juga ritual ibadat di siang hari, malam hari, dan ibadat penutup. Doa pribadi juga ada. Pokoknya kehidupan di sana teratur. Jadwalnya sangat ketat. Ada waktu untuk belajar, mengembangkan bakat, bekerja membersihkan asrama, dan macam-macam lagi.” Aku terpaku. Kata demi kata meresap dalam hatiku. 

Papa biasanya pendiam. Jarang sekali ia banyak bercerita seperti ini. Mama tidak ada rumah. Ada perjalanan dinas ke Semarang selama seminggu. Otomatis, Papa yang menjagaku. Sebenarnya Eyang Putri menawarkan diri menjagaku, namun Papa menolak dengan halus. “Jaga anak satu kok nggak bisa? Saya masih bisa, Bu.” 

Dalih Papa dua hari yang lalu. Kutatap jam di dinding. Pukul sepuluh lewat sepuluh. Sudah larut malam, namun masih banyak pertanyaan yang mengendap di otakku. “Waktu Papa di sana, sering ditengokin sama keluarga nggak?” tanyaku dengan raut wajah innocent. “Nggak. Papa jarang ditengok. Pulang hanya setahun dua kali.” Jawab Papa. Alisku terangkat seketika. “Apa? Dua kali setahun? Memangnya nggak kangen keluarga di rumah?” “Ya kangen...tapi aturannya kan gitu. Papa nggak bisa dong langgar aturan. Nanti Papa dikeluarin dari sana.” “Tapi pada akhirnya Papa keluar juga, kan?” Papa tersenyum kecil. “Itu lain ceritanya. Sudah, ayo tidur. Kamu kan sekolah. Besok malam Papa cerita lagi. Tentang Bruder Karman dan Romo Victor.” Mau tak mau aku menurut. Otakku sibuk merangkai nama-nama itu. Perlahan aku terlelap. Dalam tidur, aku serasa bertemu Mama dan Papa. Mereka duduk di kanan-kiriku, lalu mengajakku shalat. Shalat berjamaah di ruang tengah. Papa menjadi Imam, aku dan Mama berdiri di belakangnya sebagai makmum. 

Ya Allah, aku kangen Mama. Padahal baru dua hari aku berpisah dengan beliau. Masih lima hari lagi sebelum Mama pulang. ** “Sudah shalat Isya? Sudah kerjain PR?” tanya Papa. “Sudah,” sahutku. Beranjak naik ke tempat tidur. Tak seperti malam kemarin, kali ini aku tidur di kamarku sendiri. Papa berdiri di kaki ranjang. Bersiap memenuhi janjinya. Aku menunggu dengan sabar. Yakin seali jika cerita malam ini tak kalah seru dari malam sebelumnya. “Waktu itu, Papa masih di Salatiga. Bruder Karman baik sekali. 

Orangnya lucu. Selalu saja dia bisa mencairkan suasana dan membuat kami tertawa.” “Kalau Romo Victor?” “Oh, Romo Victor baik tapi tegas. Tapi Papa dekat kok sama beliau...” Papa terus bercerita. Aku mendengarkan dengan antusias. Tak pernah sebelumnya Papa berbicara sebanyak dan seluwes ini. Bukankah biasanya Mama yang bercerita? Papa tidak pernah mendongeng, bercerita, atau berbicara banyak padaku selama ini. Papa lebih banyak diam dan tenggelam dalam rutinitasnya di kantor. 

Aku jauh lebih akrab dengan Mama. Momen ini terbilang langka. Bahkan mungkin hanya sekali seumur hidup. Maka aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas. Kunjungan dinas Mama ternyata memiliki sisi positif juga bagi gadis kecil sembilan tahun sepertiku. “Sampai akhirnya, Papa keluar dan menikahi Mama kamu. Di situlah kehidupan Papa berubah total. Kehidupan yang lebih baik dan membahagiakan.” 

Papa mengakhiri ceritanya dengan senyum. Papa tersenyum? Itu pun sangat jarang. Aku selalu mengenal Papa sebagai sosok pria yang dingin, pendiam, kaku, dan kurang ekspresif. Papa tak sepandai Mama dalam berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan. “Alhamdulillah. Hidayah menjemput Papa.” Desahku. “Mama pernah cerita apa aja sama kamu?” “Pertanyaan bagus. Mama cerita, kalo Papa itu beda banget sama Mama. Kayak bumi sama langit. Keluarga Papa dari kampung, sementara keluarga Mama dari kota. Kehidupannya juga beda. Tapi pada akhirnya Mama dan Papa berjodoh, terus menikah. Mama melihat Papa sebagai orang yang kekurangan kasih sayang dan perhatian. 

Mama tahu, Papa tidak bahagia dan terkesan punya banyak beban. Papa kesepian, Papa juga introvert. Sedangkan Mama...” “Mama kamu wanita yang populer di kantornya. Banyak yang suka sama Mama kamu. Soalnya Mama pintar, supel, periang, dan bisa membawa diri. Di rumah, Mama juga anak kesayangan Eyang Kakung dan cucu kesayangan Raden Rolia. Beda kan, sama Papa?” “Beda...terus Papa minder nggak?” “Awalnya sempat minder, tapi kan akhirnya Papa yang nikah sama Mama kamu. Di awal-awal, Mama sering bilang kalo Papa orangnya kaku dan nggak punya insiatif. Keluarga Papa juga pasif. Astaga...” kenang Papa. 

Aku tertawa kecil. Mama memang terlalu jujur. Mungkin karena pola asuh dan latar belakang keluarganya. Alhasil Mama tidak ragu dalam berpendapat dan punya kepercayaan diri. Sifat itu sedikit-banyak diwarisi olehku. “Sampai menikah pun, masih banyak yang suka sama Mama kamu. Papa tahu itu. Mulai dari staf, supir kantor, sampai pejabat. Papa tidak menutup mata. Papa tahu itu. Alhamdulillah, Mama dan Papa masih bertahan sampai sekarang. Apa lagi udah ada kamu...” Malam itu aku tertidur pulas. Ucapan-ucapan Papa dan Mama tersimpan di otakku. 

Tak terduga, kisah cinta yang sama akan menghampiriku sepuluh tahun kemudian. ** Oktober 2016 “Akhirnya aku bisa menemuimu, Albert...” Tatapanku terfokus padanya. Pria berbaju putih itu amat tampan. Sepasang mata teduhnya, senyumnya, suara barithon-nya yang lembut menenangkan. Sebuah akumulasi yang sempurna. Ia pria yang sederhana. Tak banyak bicara, tak begitu ekspresif, namun tulus dan lembut hati. Dia mengerti diriku luar-dalam. Di depannya, aku tak ragu menunjukkan sisi lain diriku yang sesungguhnya. 

Sisi lain yang tidak pernah kuperlihatkan pada orang lain. “Iya. Kita keluar yuk.” Albert meraih tanganku. Menuntunku meninggalkan bangunan rumah studi itu. Aku menikmati tiap detik bersamanya. Merasakan tangannya menggenggam jemariku. Kami bicara banyak hal. Aku sering bertanya tentang keluarganya. 

Sedikit demi sedikit aku mulai tahu seperti apa kehidupannya. Aku serasa melihat cerminan Papaku dalam diri Arif Albert. Demi Allah, aku seolah melihat gambaran Papaku di masa muda melalui sosok rupawannya. Kehidupan mereka nyaris sama. Apakah arti semua ini, Ya Rabb? Apa rencana-Mu di balik semua ini? “Ibuku memang baik, tapi tegas. Sejak kecil aku dibiasakan untuk hidup mandiri dalam kemiskinan. Jadi, aku tidak pernah merasakan kehidupan sepertimu.” “I see. Bagaimana rasanya, Albert? Dunia kita berbeda, ya? Aduh, kayak lagunya Isyana Sarasvati.” Ups, kurasa aku sudah terlalu banyak bicara. 

Albert hanya tersenyum. Aku suka melihat senyumnya. Aku suka jika ia memperlihatkan keceriaan dan kebahagiaan. Itulah yang kuinginkan. Kuharap aku bisa membuatnya selalu ceria dan mempunyai semangat hidup. Sebelum berpisah, kami berpelukan. Ia memelukku hangat. Kuletakkan tangan di punggungnya. Tubuhnya serasa begitu rapuh. Kuharap ini bukan terakhir kali aku memeluknya. Mengapa ia amat rapuh? Mengapa ia harus sakit dan kesepian seperti ini? ** “Halo, kamu lagi apa?” Terdengar Mama menyapa Papa di telepon. 

Mama sengaja me-loudspeaker ponselnya. Sesekali melirikku di ujung ruangan. “Lagi baca bukunya Romo Mangun.” “Hmm...filsafat teologikah? Sastranya? Atau politiknya?” Gerakan tanganku terhenti. Apa yang akan dikatakan Papa jika ia tahu kisahku yang sebenarnya? Kisah yang tidak jauh berbeda dengan Mama dan Papa sendiri. Like father, like daughter? Maybe... 

** 

Daun-daun berguguran Ditiup angin dingin gunung Mencoba mencari arah Tuk dapatkan keindahannya Saat hatiku bergetar keras Ingin mengerti arti ucapmu Air mataku mencari Noda hitam dalam jiwaku Mungkinkah aku yang salah Yang tak dapat membuatmu bahagia Haruskah aku mengalah Membiarkan semua menjadi nyata Saat hatiku bergetar keras Ingin mengerti arti ucapmu Air mataku mencari Noda hitam dalam jiwaku Mungkinkah aku yang salah Yang tak dapat membuatmu bahagia Haruskah aku mengalah Membiarkan semua menjadi nyata Mungkinkah aku yang salah Yang tak dapat membuatmu bahagia Haruskah aku mengalah Membiarkan semua menjadi nyata Akankah kita berdiri Walau pun kau tak bersamaku lagi Mungkinkah kita bahagia Yang kutunggu semua ini terlewati Yang kutunggu semua ini terlewati (Adera-Arti Ucapmu). Kunyanyikan untaian lirik lagu itu. 

Anggota paduan suara di sekelilingku ikut bernyanyi diiringi denting lembut piano. Tanpa sadar cairan hangat memenuhi bola mataku. Turun perlahan membasahi pipi. Aku teringat arti ucapan itu. Ucapan Papa dan Mama, juga kisah yang mereka lontarkan. Aku pun tengah mengalaminya sendiri. Albert menghilang. Entah kenapa. Tanpa penjelasan. Tanpa kata. 

Kupikir ia butuh waktu sendiri. Terakhir kali ia berkata jika ia menyayangiku dan takut aku terluka. Apa maksudnya itu? Aku bertekad menunggunya. Aku ingin dia bicara lagi padaku, hanya itu. Apakah dulu Papa pernah menghilang dari Mama sebelum akhirnya mereka menikah? Apakah dulu Mama menutup mata dan pikirannya untuk pria lain, seperti yang sekarang ini kulakukan? “Hei...kamu kenapa?” Riza menanyaiku. Duduk di sampingku, mengulurkan tangan untuk mengusap air mataku. 

Aku bergerak menjauh darinya. Tak berkata apa-apa. Wildan Syahriza, pemuda keturunan Melayu-Tionghoa itu hanya menatapku masygul. Sama sepertiku, ia mempelajari Psikologi, khususnya Psikologi perkembangan. Ia tak tertarik belajar Psikologi Klinis. Terlalu berat katanya. “Kalo ada apa-apa, cerita sama aku.” Bujuk Riza lagi. Tersenyum hangat. “Aku nggak apa-apa kok. Sedih kan manusiawi. Aku sedih, berarti aku masih jadi manusia. Bukan malaikat, apa lagi iblis.” Jawabku datar. 

Riza menghela nafas pasrah. Namun ia tetap tersenyum. “Okey...mungkin bukan sekarang. Tapi kamu boleh cerita apa aja kalo udah siap.” Ucapnya. Aku tak menghiraukan perkataannya. Tidak penting. Tubuhku ada di ruang latihan PSM. Namun hati dan jiwaku berada di tempat lain. Satu pertanyaan memenuhi pikiranku. Akankah kisahku kelak berakhir seindah Mama dan Papa? Ataukah justru sebaliknya? Hanya Allah yang bisa menjawab. Aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi. Sudah kuselesaikan bagianku, biar Allah yang menyelesaikan bagian-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun