Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Ucapmu

28 November 2016   05:48 Diperbarui: 28 November 2016   08:27 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sisi lain yang tidak pernah kuperlihatkan pada orang lain. “Iya. Kita keluar yuk.” Albert meraih tanganku. Menuntunku meninggalkan bangunan rumah studi itu. Aku menikmati tiap detik bersamanya. Merasakan tangannya menggenggam jemariku. Kami bicara banyak hal. Aku sering bertanya tentang keluarganya. 

Sedikit demi sedikit aku mulai tahu seperti apa kehidupannya. Aku serasa melihat cerminan Papaku dalam diri Arif Albert. Demi Allah, aku seolah melihat gambaran Papaku di masa muda melalui sosok rupawannya. Kehidupan mereka nyaris sama. Apakah arti semua ini, Ya Rabb? Apa rencana-Mu di balik semua ini? “Ibuku memang baik, tapi tegas. Sejak kecil aku dibiasakan untuk hidup mandiri dalam kemiskinan. Jadi, aku tidak pernah merasakan kehidupan sepertimu.” “I see. Bagaimana rasanya, Albert? Dunia kita berbeda, ya? Aduh, kayak lagunya Isyana Sarasvati.” Ups, kurasa aku sudah terlalu banyak bicara. 

Albert hanya tersenyum. Aku suka melihat senyumnya. Aku suka jika ia memperlihatkan keceriaan dan kebahagiaan. Itulah yang kuinginkan. Kuharap aku bisa membuatnya selalu ceria dan mempunyai semangat hidup. Sebelum berpisah, kami berpelukan. Ia memelukku hangat. Kuletakkan tangan di punggungnya. Tubuhnya serasa begitu rapuh. Kuharap ini bukan terakhir kali aku memeluknya. Mengapa ia amat rapuh? Mengapa ia harus sakit dan kesepian seperti ini? ** “Halo, kamu lagi apa?” Terdengar Mama menyapa Papa di telepon. 

Mama sengaja me-loudspeaker ponselnya. Sesekali melirikku di ujung ruangan. “Lagi baca bukunya Romo Mangun.” “Hmm...filsafat teologikah? Sastranya? Atau politiknya?” Gerakan tanganku terhenti. Apa yang akan dikatakan Papa jika ia tahu kisahku yang sebenarnya? Kisah yang tidak jauh berbeda dengan Mama dan Papa sendiri. Like father, like daughter? Maybe... 

** 

Daun-daun berguguran Ditiup angin dingin gunung Mencoba mencari arah Tuk dapatkan keindahannya Saat hatiku bergetar keras Ingin mengerti arti ucapmu Air mataku mencari Noda hitam dalam jiwaku Mungkinkah aku yang salah Yang tak dapat membuatmu bahagia Haruskah aku mengalah Membiarkan semua menjadi nyata Saat hatiku bergetar keras Ingin mengerti arti ucapmu Air mataku mencari Noda hitam dalam jiwaku Mungkinkah aku yang salah Yang tak dapat membuatmu bahagia Haruskah aku mengalah Membiarkan semua menjadi nyata Mungkinkah aku yang salah Yang tak dapat membuatmu bahagia Haruskah aku mengalah Membiarkan semua menjadi nyata Akankah kita berdiri Walau pun kau tak bersamaku lagi Mungkinkah kita bahagia Yang kutunggu semua ini terlewati Yang kutunggu semua ini terlewati (Adera-Arti Ucapmu). Kunyanyikan untaian lirik lagu itu. 

Anggota paduan suara di sekelilingku ikut bernyanyi diiringi denting lembut piano. Tanpa sadar cairan hangat memenuhi bola mataku. Turun perlahan membasahi pipi. Aku teringat arti ucapan itu. Ucapan Papa dan Mama, juga kisah yang mereka lontarkan. Aku pun tengah mengalaminya sendiri. Albert menghilang. Entah kenapa. Tanpa penjelasan. Tanpa kata. 

Kupikir ia butuh waktu sendiri. Terakhir kali ia berkata jika ia menyayangiku dan takut aku terluka. Apa maksudnya itu? Aku bertekad menunggunya. Aku ingin dia bicara lagi padaku, hanya itu. Apakah dulu Papa pernah menghilang dari Mama sebelum akhirnya mereka menikah? Apakah dulu Mama menutup mata dan pikirannya untuk pria lain, seperti yang sekarang ini kulakukan? “Hei...kamu kenapa?” Riza menanyaiku. Duduk di sampingku, mengulurkan tangan untuk mengusap air mataku. 

Aku bergerak menjauh darinya. Tak berkata apa-apa. Wildan Syahriza, pemuda keturunan Melayu-Tionghoa itu hanya menatapku masygul. Sama sepertiku, ia mempelajari Psikologi, khususnya Psikologi perkembangan. Ia tak tertarik belajar Psikologi Klinis. Terlalu berat katanya. “Kalo ada apa-apa, cerita sama aku.” Bujuk Riza lagi. Tersenyum hangat. “Aku nggak apa-apa kok. Sedih kan manusiawi. Aku sedih, berarti aku masih jadi manusia. Bukan malaikat, apa lagi iblis.” Jawabku datar. 

Riza menghela nafas pasrah. Namun ia tetap tersenyum. “Okey...mungkin bukan sekarang. Tapi kamu boleh cerita apa aja kalo udah siap.” Ucapnya. Aku tak menghiraukan perkataannya. Tidak penting. Tubuhku ada di ruang latihan PSM. Namun hati dan jiwaku berada di tempat lain. Satu pertanyaan memenuhi pikiranku. Akankah kisahku kelak berakhir seindah Mama dan Papa? Ataukah justru sebaliknya? Hanya Allah yang bisa menjawab. Aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi. Sudah kuselesaikan bagianku, biar Allah yang menyelesaikan bagian-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun