Perkawinan wanita hamil menurut ulama diantaranya ulama 4 madzhab.
Menurut hanafiyyah pernikahan wanita hamil tetap sah meskipun menikahnya dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun tidak. Sedangkan menurut malikiyyah pernikahan sah jika dilakukan hanya dengan laki-laki yang menghamilinya dalam kategori sudah bertaubat dan tidak boleh melakukan jima' sampai melahirkan. Sedangkan menurut imam syafi'i adalah pernikahan tetap sah meskipun menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.Â
Dalam pendapat madzhab imam syafi'I ini bahwa wanita yang berzina tidak memiliki masa iddah dan tetap sah bila menikahinya. Ada juga yang berpendapat bahwa boleh menikah setelah melewati masa haid dan suci, dan tidak boleh dikumpuli sebelum melewati masa istibra'. Sedangkan menurut KHI perkawinan wanita hamil disebutkan pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2 dan 3 yaitu : pasal 1. Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria menghamilinya; pasal 2.Â
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Pasal 3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Dalam hal ini tidak ada larangan atu kebolehan wanita hamil(diluar nikah) untuk menikah.Â
5. Upaya untuk menghindari perceraian
  Ada beberapa konsekuensi yang harus diterima jika sesorang hendak melakukan perkawinan, salah satunya yaitu perceraian. Seringkali kita menemukan beberapa perkara perceraian dan alsannya juga berbeda-beda. Ada yang bercerai karena merasa tidak cocok, ada yang bercerai karena menikah pada usia dini, ada yang bercerai karena ekonomi dan masih banyak lagi alasan-alasan orang melakukan perceraian. Adapun upaya-upaya untuk menghindarinya adalah sebagai berikut:Â
Menjaga keharmonisan keluarga
Saling memahami antar pasangan
Tidak memikirkan diri sendiri (egois)
Mengikuti kajian-kajian pra nikah
Usia nikah yang sudah dewasa dan mampu