Mohon tunggu...
Latifah Desti Lustikasari
Latifah Desti Lustikasari Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Pencerita ulung! mantuidaman.com | Blogger Lampung IG/TW @mantuidamann

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

K.H. Gholib: Kiprah Sang Panutan di Tanah Bambu Seribu

30 Maret 2020   22:03 Diperbarui: 31 Maret 2020   02:43 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengungsi sementara di Desa Banjar Rejo bersama sang istri tidak serta-merta membuat lengah mata Macan Loreng yang terus mengintai. Karena sesaat setelah kembali ke rumahnya di daerah Pringsewu, ia lantas ditawan oleh polisi federal Belanda. 

Berunding bukanlah sikap asli tentara Belanda, rakyat Nusantara di kala itu sudah paham betul kejahatan dan kelicikan para penjajah. Kendati demikian ia tetap memenuhi undangan dan menyetujui perjanjian gencat senjata yang akan berlangsung beberapa hari kemudian.

Malam itu dua pekan sudah ia menjadi tawanan Belanda, dinginnya dinding dan lantai sel setia menemani hari-harinya di pengasingan, tanpa jengukan sanak-saudara apalagi istri tercinta, karena penjagaan atas dirinya amat ketat.

Kompleks gereja Pringsewu menjadi saksi bisu, malam itu kamis legi di awal bulan november 1949, di antara gigilnya malam ia dibebaskan dari penjara. Belanda membiarkan tawan yang paling militan melawannya begitu saja, sulit dipahami namun bangunan gereja itu menjadi 

saksi. Sepuluh meter ia melangkahkan kaki, rentetan peluru dilepaskan ke arahnya selongsongnya bertaburan dan putra Pertiwi yang gagah perkasa seketika jatuh terkapar.

Akal licik Belanda boleh saja membuatnya meregang nyawa, namun Tuhan pemilik semesta berkehendak lain, ia gugur sebagai syuhada yang kelak akan dikenang sepanjang masa. Darahnya yang tumpah ke tanah air tercinta tidak pernah sia-sia, sebab perjuangannya akan diteruskan oleh generasi anak-cucunya.

Ia yang bersama para pejuang lain berjuang di jalan Allah, membela kebenaran dan mempertahankan hak sepanjang hayat dengan sepenuh jiwa. Ia berjuang untuk  kepentingan umat, membela agama, merebut kemerdekaan  dari tangan penjajah Jepang dan Belanda. Ia yang hingga detik ini dikenang sebagai panutan. Ia adalah Kiai Haji Muhammad Gholib.

                                                                                                                                        ***

Dua belas tahun silam, kali pertama tinggal di Kabupaten Pringsewu untuk menimba ilmu, saya sukses dibikin terheran-heran pada sebuah nama salah satu jalan protokol yang juga digunakan untuk nama masjid, kompleks pesantren, hingga nama sekolah, K.H. Gholib.

"Siapa sosok ini, hingga namanya begitu diagungkan?"

Jaman itu teknologi belum secanggih sekarang, akses informasi belum semudah menggerakan jemari. Saya hanya berhasil menuai jawaban bahwa K.H. Gholib merupakan sosok ulama besar sekaligus pahlawan yang berasal dari Jawa. Beliau banyak mengambil peran menyebarkan ajaran islam di Pringsewu hingga ikut serta mengusir bala tentara kompeni di bumi Lampung.

Cerita yang dituturkan oleh budhe saya itu tidak dapat dikatakan salah, kendati kurang lengkap. Namun dapat digarisbawahi betapa beliau amat disegani, menjadi panutan dan selalu dikenang oleh masyarakat Pringsewu turun-temurun hingga saat ini.

Perjuangan K.H. Gholib Menuntut Ilmu

Ia diasuh dengan segenap cinta dan kasih oleh sang ibu. Menginjak usia akil baligkh Gholib kemudian dikhitan, uang sebesar satu ringgit sempat K. Rohani berikan di hari itu.

Tidak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pendidikan agama di Desa Mojosantren, Muksiti lantas menitipkan anak laki-lakinya pada seorang kiai untuk belajar agama. Mulai dari ilmu tauhid, hikmah, fiqih, ahlak, hingga kajian-kajian agama Islam Gholib pelajari dari Kiai Ali di madrasah.

Sebuah pondok pesantren di daerah Semarang menjadi titik awal pemuda yang haus ilmu itu untuk berpidah dari satu daerah ke daerah lain untuk berguru dan menimba ilmu. Tidak serta-merta ilmu agama saja yang Gholib pelajari, di sisi banyak hafal hadist pemuda itu juga mempelajari ilmu bela diri, ilmu berperang, hinga ilmu bermasyarakat.

Gholib tercatat pernah menjadi murid tokoh terkenal Nahdatul Ulama, K.H. Hasyim Asyari dari Pondok Pesantren Tebuireng, hingga Ulama terkenal dari Bangkalan, Madura K.H. Kholil.

 

Menyebarkan Syiar Islam Hingga ke Pringsewu

Gholib memutuskan untuk mengembara setelah ia menikah dengan seorang putri bangsawan Jawa bernama Syiah'iyah. Kemudian Gholib mulai berkelana, jengkal demi jengkal mulai dari tanah Jawa, Kalimantan, bahkan Singapura dan Malaysia.

Ketika tiba di Tanjung Pura, Medan, Sumatera Utara sosok Kiai ini amat diterima dengan baik oleh masyarakat. Kiai Haji Gholib bahkan sempat membangun sebuah masjid yang dijadikan lokasi kegiatan pengajian untuk anak-anak, remaja, dan orang-orang tua.

Hal serupa juga terjadi saat ia menapakkan kaki di Batu Pahat, Johor, Malaysia. Kegiatan pengajian dan ceramahnya mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Beberapa tahun berselang, setelah kader-kader baru bermunculan dan dirasa sanggup untuk meneruskan sang Kiai, ia lantas berpindah ke lokasi lain.

Sekitar tahun 1924 K.H. Gholib mulai menelusuri daerah-daerah yang masih minim sentuhan ajaran islam. Salah satunya di desa Martapura, Balikpapan, Kalimantan ia bahkan mendirikan masjid dan pondok pesantren sebagai sarana mengembangkan ajaran islam. Meskipun dalam kondisi yang sederhana, dalam kurun waktu setahun pesantren yang sang Kiai dirikan berkembang cukup pesat.

Sedari lahir Gholib terbiasa hidup sederhana sebagai anak desa. Ayahnya K. Rohani bin K. Nursihan bahkan sudah meninggalkan Gholib untuk berperang melawan penjajah. Gholib kecil lahir di Desa Mojosantren, Krian, Sidoarjo, Jawa Timur. Lahir di masa-masa sulit membuat putra dari Muksiti itu tidak memiliki catatan sahih mengenai tanggal lahir. Beberapa sumber menyebutkan Gholib lahir tahun 1896---ada pula yang menyebut tahun 1899.

Tahun 1927 K.H. Gholib bersama istri bertolak ke Singapura. Di sana ia bertemu dengan M. Anwar Sanprawiro seorang perantau yang berasal dari daerah Pagelaran, Pringsewu, Lampung. Melalui Anwar ia mengetahui kabar mengenai program kolonisasi yang dilakukan Pemerintah Hindia-Belanda dengan mengirim orang-orang dari Pulau Jawa ke Lampung untuk membuka hutan dan berkebun di sana. 

dokpri
dokpri
Informasi itu lantas menggerakkan hati K.H. Gholib. Bersama sang istri berangkatlah ia ke Lampung dengan kapal laut dari Singapura. Kala itu daerah Pringsewu sebagai area hutan yang baru dibuka masih belum tersentuh agama. Kegiatan maksiat merajalela. Tantangan sekaligus pekerjaan rumah besar bagi sang Kiai untuk mengajak masyarakat pringsewu ke jalan islam.

Sang Kiai yang saat itu berusia empat puluh tahunan, memutuskan untuk membeli tanah dan membangun rumah beserta masjid yang sederhana di desa Fajaresuk. Kelak sebelum ia berpindah ke daerah Pringsewu masjid yang telah dibangun diserahkan kepada warga setempat untuk lokasi kegiatan keagamaan.

Di pringsewu K.H. Gholib mendirikan rumah dan masjid yang berlokasi di sebelah utara Pasar Pringsewu. Masjid pertama yang berdiri di tanah Pringsewu itu dinamai Masjid Jami K.H.

Gholib. Di dekat rumahnya, K.H. Gholib juga mendirikan pesantren tempat belajar agama islam bagi masyarakat Pringsewu.

Bukan hal yang mudah memberi penyadaran agama kepada masyarakat yang awalnya hidup dalam budaya yang cukup jauh dari nilai-nilai agama. Namun lambat laun anak-anak dan remaja  hingga orangtua mulai belajar mengaji di di tempah K.H. Gholib. Mulai dari belasan anak hingga puluhan, bahkan sempat mencapai ribuan.

Berkat kesabaran dan ketekunan K.H. Gholib dan para kerabatnya yang membantu menjadi pengajar, pesantren K.H. Gholib menjadi terkenal dan berkembang pesat. Semakin banyak santri yang berdatangan untuk menimba ilmu. Jumlah santri diperkirakan pernah mencapai seribuan orang. Mereka datang tidak hanya dari daerah Lampung, tapi juga daerah lain seperti Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan  Jawa. 

Santri-santri K.H. Gholib yang dididik disiplin dan penuh kasih sayang terkenal fasih membaca Al Quran. Di samping belajar bahasa Arab, kegiatan yang bersifat seni dan budaya juga diajarkan seperti barzanji dan marhaban.

Tidak bisa dimungkiri, kehadiran sosok ulama K.H. Gholib membawa dampak yang begitu besar bagi masyarakat khususnya di Pringsewu hingga saat ini. Dibuktikan dengan banyaknya pondok pesantren, sekolah, hingga perguruan tinggi berbasis agama islam di ibukota kabupaten yang saat ini dikenal sebagai kota pendidikan itu.

Kehadiran K.H. Gholib benar-benar sanggup mengikis habis cerita maksiat dan kriminal yang pernah dikisahkan oleh sahabat sang Kiai, si perantau di negeri Singa. Masyarakat Pringsewu yang sebagian besar pendatang itu menaruh rasa hormat dan segan kepada sang Kiai panutan.

Perjuangan Melawan Penjajah Hingga Akhir Hayat

Di sisi menyebarkan syiar islam, K.H. Gholib juga turut berperan aktif dalam melawan penjajah yang saat itu sempat menduduki daerah Lampung khususnya Pringsewu. Bersama masyarakat dan  para santri ia menyumbangkan segenap jiwa dan raga untuk memperjuangkan hak rakyat sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka.

Sebagai pejuang dan tokoh masyarakat yang amat disegani K.H. Gholib tidak lepas dari target operasi tangkap saat Pringsewu diduduki tentara Belanda maupun Jepang. Namanya sangat diperhitungkan oleh pihak musuh. Sebab di bawah komando sang Kiai, masyarakat Pringsewu

bisa saja setiap saat bersatu untuk berjihad mengepung penjajah. Sekalipun dengan bekal senjata yang sangat terbatas dan tidak sebanding. Melalui cara gerilya maupun terang-terangan pasukan bentukan sang Kiai tidak gentar menyerbu basis pertahanan penjajah. Betapa sang Kiai ini adalah sosok pahlawan yang amat disegaani dan titahnya dilaksanakan oleh rakyat.

Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang disambut suka cita oleh rakyat Nusantara, begitu pula rakyat Pringsewu. Namun Belanda tidak begitu saja mengakui kemerdekaan Indonesia dan bermaksud kembali meguasai Indonesia. Diibantu pasukan sekutu, pasukan Belanda kembali menggempur hampir seluruh basis pertahanan tentara dan rakyat Indonesia, pula di Pringsewu. 

K.H. Gholib tidak tinggal diam, kemerdekaan sudah digenggaman dan sepantasnya dipertahankan dari pihak musuh sekalipun dsrah harus ditumpahkan. Beliau memilih melawan dan kembali angkat senjata. Adalah pasukan Hizbullah dan Sabilillah dari kalangan santri yang ia bentuk sesaat setelah proklamasi kemerdekaan. Kedua laskar yang dipimpin K.H. Gholib itu kemudian bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). 

Tanggal 1 November 1945 sampai dengan 7 Agustus 1946, pasukan yang dipimpin sang Kiai digembleng fisik dan mental layaknya tentara oleh  Mayor Infanteri Herni dibantu oleh Mayor Infanter Mulkan dan Mayor Infanteri Nurdin. 

Tanggal 8 Agustus 1947, periode waktu Agresi Militer Belanda Pertama terjadi, K.H. Gholib memerintahkan laskar Hisbullah dan Sabilillah untuk bergerak menuju ke Front Baturaja dan Martapura. kepada Abdul Fattah, H. Aman dan H. Hanafiah ia berikan mandat untuk  memimpin rombongan. 

Rombongan tersebut bergabung bersama pasukan TKR dan BKR di bawah pimpinan Mayor Infanteri Herni dan Mulkan yang telah lebih dahulu berada di sana. Bersama-sama mereka menggempur markas Belanda di Sepancar--Gibang. Pertempuran berlangsung cukup sengit. Pejuang Indonesia yang selamat diantaranya Mayor Herny, Mayor Nurdin, Mayor Mulkan, Sukardi, Sukemi, Supardi, Abdul Fattah, Irsan, Silur, Suparno, Suwarno,  Mardasam, Harun, Hasan, dan Husen. Selebihnya anggota pasukan harus gugur sebagai pejuang.

Sekitar awal Januari 1949, Agresi  Militer Belanda kedua tidak terelakkan, Pemerintah Hindia-Belanda yang tidak terima daerah jajahannya melawan dengan sengit kembali mendaratkan 

pasukan salah satunya di Pelabuhan Panjang. Mengetahui berita tersebut, K.H. Gholib beserta pasukan segera mengatur strategi. 

Demi menghambat pergerakan tentara lawan, ia memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan jembatan Bulok Karto (Bulok). Upaya tersebut cukup efektif, terbukti dengan pasukan yang kala itu membutuhkan waktu lebih lama untuk memasuki wilayah Pringsewu. Bala tentara musuh harus berputar arah melalui Gedong Tataan, Kedondong, dan Pagelaran.

Di sisi mengirim pasukan tempur di darat, penjajah juga memborbardir tempat-tempat yang diduga sebagai basis pertahanan pejuang Indonesia dengan hujan peluru melalui udara. Melihat keadaan yang semakin tidak terkendali dan banyaknya korban tewas, K.H. Gholib dan  pasukannya memutuskan mengungsi ke hutan-hutan yang kala itu masih lebat dan rapat di daerah Gedong Tataan, Kedondong, Gading Rejo, dan Pringsewu.  

Pada masa Agresi Militer Belanda II inilah pesantren dam masjid Jami K.H. Gholib berperan penting dan menjadi saksi bisu sejarah yang masih berdiri hingga saat ini. Kala itu, pesantren K.H. Gholib menjadi basis TRI yang beranggotakan Kapten Alamsyah, Ratu Prawiranegara dan Mayor Effendy. Di sini juga puluhan ulama berkumpul untuk membahas bagaimana hukum perang melawan Belanda dari sudut  pandang Islam.

dokpri
dokpri
Ulama yang berkumpul datang dari berbagai daerah di Lampung, seperti K.H. Hanafiah dari Sukadana, K.H. Nawawi Umar dan K.H. A. Rauf Ali dari Teluk Betung, K.H. Abdul Rozak Rais dari Kedondong, K.H. Umar Murod dari Tulang Bawang Barat, K.H. M. Nuh dan K.H. Aman  dari Tanjungkarang, Kiai M. Yasin dari Ketua Masyumi,  serta K.H. A. Razak Arsyad dari Lampung Utara.

Melalui hasil musyawarah, diputuskan bahwa perang melawan Belanda untuk  mempertahankan kemerdekaan bersifat fardhu ain. Itulah yang menjadi dasar umat Islam di Pringsewu untuk  melawan Belanda yang hendak kembali menguasai Nusantara dengan segenap jiwa.

Masih di bulan Januari 1949, K.H. Gholib dengan laskarnya menyerang Belanda di  Front Kali Nongko, Kemiling, Tanjungkarang, dipimpin oleh Kapten Alamsyah, Ratu Prawiranegara dengan berjalan kaki selepas melaksanakan sholat  Jumat. Pada waktu itu ternyata serangan tidak mendapat perlawanan karena Belanda telah meninggalkan Kemiling dan pasukan laskar kembali ke markas di Pringsewu.

Namun malang bagi pejuang di Pringsewu, karena tidak lama kemudian pasukan Belanda menyerang dan menduduki kota Pringsewu secara tiba-tiba. Tidak ada perlawanan dari para 

pejuang, mengingat banyaknya korban yang berjatuhan di Pringsewu dan sekitarnya. Tapi upaya Belanda untuk menghabisi nyawa K.H. Gholib kala itu selalu gagal.

Sang Kiai tahu tahu bahwa dirinya menjadi sasaran utama pasukan penjajah. Begitu dedadamnya belanda kepada sosok pemimpin laskar pejuang Pringsewu ini, bahkan selama K.H. Gholib bersembunyi, tentara Belanda tak henti melakukan aksi menyita, merusak, dan menghancurkan harta benda dan aset sang pemimpin umat. Mulai dari rumah, pabrik, sebagian bangunan pondok pesantren, mobil, pabrik tapioka, pabrik  padi, gudang padi dan rotan, poliklinik, tidak luput dari perusakan Belanda.

Melalu kerusuhan itu, pasukan seolah menyampaikan pesan untuk K.H. Gholib agar segera keluar dari persembunyian dan menyerahkan diri saja. Juga sebagai peringatan kepada masyarakat Pringsewu yang selama ini berani melawan kompeni agar memberitahu lokasi pemimpin mereka bersembunyi. Pada masa ini, sahabat karib K.H. Gholib, Ustad M. Nuh, sempat menjadi korban salah sasaran tentara Belanda. Tentara belanda menembak mati sang sahabat karena menduga M. Nuh adalah K.H. Gholib.  

K.H. Gholib dan istri sempat bersembunyi di desa Banjar Rejo, Sinar Baru. Namun saat beliau kembali ke Pringsewu, telinga Belanda dengan cepat mendengar berita tersebut. Kemudian K.H. Gholib dipanggil oleh pasukan polisi federal untuk berunding saja dengan tentara Belanda. Nampaknya perundingan tidak berlangsung mulus karena ulah jahat dan usil kaki-tangan Belanda yang disebut Macan Loreng. Ini menyebabkan K.H. Gholib harus ditawan di markas Belanda yang ada di kompleks gereja Pringsewu. 

Perjuangan sang Kiai dalam mengenyahkan penjajah harus berakhir karena akal bulus Belanda. Saat itu kedua belah pihak sudah saling sepakat untuk mengumumkan perang terbuka 2-3 hari ke depan. Namun K.H. Gholib yang masih berstatus tawanan justru dijaga semakin ketat, tidak ada keluarga maupun kerabat yang diijinkan untuk membesuk.

Dua pekan lamanya K.H. Gholib mendekam di sel tahanan di markas Belanda, Sementara persetujuan gencatan senjata tinggal beberapa hari lagi. Tepatnya malam kamis legi sekitar pukul dua dini hari, tanggal 9 November 1949---referensi lain menyebut 6 November 1949), K.H. Gholib akhirnya dilepaskan dari penjara.

Baru sepuluh meter berjalan keluar dari penjara, K.H. Gholib lalu ditembaki dari arah belakang. Beliau gugur seketika. Pagi harinya, dua orang Polisi Federal Belanda datang ke pesantren untuk mengabarkan berita meninggalnya K.H Gholib. Ribuan kerabat, keluarga, santri dan orang-orang yang mengenalnya menangisi kepergian sang Kiai. Namanya kemudian diabadikan pula sebagai nama salah satu ruas jalan utama di Kota Pringsewu.

Beliau dikenang sebagai sosok ulama dan pahlawan yang gigih lagi perkasa. K.H Gholib meninggal sebagai syuhada, sepanjang hidupnya didedikasikan untuk menuntut dan menyebarkan ilmu.  Kepergiannya di tengah jalan membela kepentingan umat, membela agama dan bersama pejuang lainnya merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda dan Jepang. Bukan hal yang berlebihan jika beliau kelak dinobatkan sebagai Pahlawan Bangsa.

dokpri
dokpri
Warisan Adiluhung K.H. Gholib

Makam sang Kiai yang memiliki tiga orang anak angkat itu, hingga saat ini acap kali dikunjungi oleh peziarah dari  berbagai kota, tak jarang isitghosah dan pengajian dilangsungkan di sana. Peziarah tidak hanya datang dari Lampung saja, kota dan daerah yang dahulu pernah beliau sambangi dan asal para santrinya seperti Sumatera Selatan, Jambi, Jakarta, Bandung, Bogor, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan lain sebagainya.

Sedangkan Masjid Jami K.H. Gholib, merupakan masjid pertama dan tertua di Pringsewu yang mensaksi sejarah perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Masjid tersebut tidak hanya menjadi tempat beribadah namun juga menjadi basis perjuangan merebut dan memertahankan kemerdekaan Indonesia. Di sanalah kesepakatan dan strategi melawan penjajahan bangsa Belanda dan Jepang pernah dirundingkan bersama. Tentu hal yang amat layak jika kelak Masjid Jami K.H. Gholib dijadikan cagar budaya atau museum, yang dijadikan rujikan pelajaran serta penelitian para pelajar.

Pada tahun 1971-1974, ada sekitar tiga puluh surat pernyataan dan kesaksian yang dibuat kerabat, handai taulan, santri, dan rekan seperjuangan K.H. Gholib sebagai upaya pendokumentasian perjuangannya. Dokumen yang disimpan rapi oleh salah satu cucu sang Kiai panutan itu yang diharapkan dapat menjadi bukti otentik tentang kiprah sang panutan K.H. Gholib.

dokpri
dokpri
Rujukan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun