Mohon tunggu...
Latifah Hardiyatni
Latifah Hardiyatni Mohon Tunggu... Buruh - Buruh harian lepas

Latifah, seorang wanita penyuka membaca dan menulis sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perbatasan 0 Kilometer

6 Juni 2023   15:04 Diperbarui: 6 Juni 2023   15:55 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perbatasan 0 Kilometer

Tubrukan keras disertai suara dentuman besar membuatku seketika terjaga. Dahiku sedikit berdenyut, selain karena pusing yang tiba-tiba mendera dahiku juga menabrak sandaran punggung kursi di depanku. Tanganku mengusap dahi yang sedikit lecet. Sepertinya benturan yang terjadi cukup kencang.

Aku memicingkan mata, memindai sekeliling yang mendadak ricuh dengan dengungan-dengungan kepanikan penumpang lainnya. Padahal tadi bus ini sunyi senyap dengan penumpang terbuai mimpi. Terlihat kondektur bus turun dengan membawa kayu besar yang ada di bawah salah satu kursi penumpang.

Mataku turut mengikuti gerakan sang kondektur, pria muda yang kutaksir berusia sepantaran denganku. Bus berhenti tepat di samping tanjakan. Di sisi kiri jalan terdapat tebing. Sepertinya di bawah tebing terdapat sungai, terdengar dari lamat-lamat gemercik airnya. Sedang di sisi kanan terdapat tebing tinggi menjulang. Tak jauh dari bus ada sebuah lampu jalan dan tak jauh dari sana ada kursi kosong. Tempat ini sepertinya ada di tanjakan perbatasan kotakku dengan kota tetangga. Hanya berjarak sekitar 1,5 kilometer lagi aku akan sampai di rumah.

"Ada apa? Apa yang menghantam bus? Kenapa busnya belum berjalan lagi?" tanya salah satu penumpang yang duduk di samping kursiku.

"Tak ada apa-apa di luar," jawab sang kondektur kepada sang supir, lalu tatapannya beralih ke para penumpang. "Aku sudah memeriksa di semua bagian, tapi aku tak menemukan apa-apa. Apa kau yakin bus dalam kondisi baik-baik saja saat berangkat tadi?"

"Kalo busnya kenapa-kenapa, ya mstinya gue enggak berangkat," jawab sang sopir dengan raut wajah seakan tak suka.

"kau tak nipu, kan? Bukan karena kejar setoran dan ingin cepat sampai makanya asal berangkat. Kita taruhannya nyawa!"

"Gue lebih tau dari pada lo! Cek lagi sana!"

Aku yang duduk tak jauh dari kursi supir hanya bisa menelan ludah dengan susah payah. Adegan perseteruan tak pernah kusukai apa pun bentuknya.

Selang beberapa saat sang kondektur masuk lagi. Dia masih mengatakan kalau tak ada apa-apa dan menyarankan agar sang sopir mencoba menyalakan ulang mesin busnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun