Mobil menderu. Sang kondektur kembali turun untuk mengambil bantalan tadi. Para penumpang berseru lega, termasuk aku.
"Tunggu!" Aku berseru tepat sebelum bus melaju.
"Ada apa?" tanya sang kondektur yang sigap menengok ke arahku. "Kau mau turun?"
Aku menengok keluar sebelum menjawab pertanyaan itu. Tepat di bangku yang tadi kosong terdapat kakek tua sedang duduk di sana. Tangannya mengusap-usap kaki keriput. Sangat terlihat kalau kakek itu begitu kelelahan.
"Woy! Kalau mau turun cepat turun! Malah bengong." Ucapan sang sopir tak pelak membuatku tergugup.
Aku mengangguk, lalu bersiap untuk turun. Belum juga kakiku menjejakkan ke tanah, sang kondektur mencegahku.
"Sebentar aja, Bang. Kasian kakek itu. Aku akan mengajaknya naik bersama. Kalo dia tak punya uanng biar aku saja nanti yang bayar."
"Kamu kenal sama dia?"
Aku menatapnya sekali lagi. Sebenarnya aku ragu, apakah aku mengenal kakek itu atau tidak. Wajah itu sangat familiar denganku, seperti wajah simbah kakung. Namun, itu belum tentu Simbah kakung, selain karena sudah malam Simbah juga sudah lama meninggal.
Akan tetapi, ada rasa yang tak bisa aku tolak dan ketahui datangnya dari mana yang mendesak agar segera turun dan menemui lelaki senja itu.
"Sebentar aja, Bang," kataku setelah menggelang.