Aku tersenyum mendengar ucapan Mbah Karso. Dulu aku memang sangat senang mandi di irigasi yang airnya dingin dan jernih. Namun, setelah sekian lama berbincang, aku masih tak ingat siapa Mbah Karso ini sebenarnya.
Sudah ada satu jam kami berjalan, tapi sepertinya tujuan kami masih jauh dari angan. Aku masih ada di tanjakan tadi.
"Ojo noleh!" Ucap Mbah Karso tepat sebelum aku menengok.
Tempat ini, ucapan Mbah Karso, kini aku mulai menyesali kenapa tak ikut saja dengan bus tadi. Jika aku ikut bus itu pasti sudah bisa tidur nyenyak di rumah. Ya setidaknya aku sudah membersihkan diri.
"Lebar iki siap-siap mlayu. Ojo ngasik kalah karo aku. Mudeng, ya, Cah Ayu."
Belum juga aku menjawab karena ak mengerti, Mbah Karso sudah lebih dulu berlari. Bahkan larinya lebih cepat dari seekor kidang.Â
"Mbah!"
Tak ingin tertinggal aku turut berlari mengejar Mbah karso. Seluruh tenaga sudah aku kerahkan, tapi Mbah Karso belum juga terlihat. Padahal napasku sudah tersengal-sengal dan mulai terbatuk.
"Mbah aku ra kuat."
Entah sudah berapa lama aku terlelap. Seingatku kaki sudah terasa berat untuk berjalan, sedang nafasku susah untuk mengendalikan agar tak  tersengal.
Aku mengerjap beberapa kali saat cahaya terang seakan menerobos paksa mataku. Badan, tangan, kaki semua terasa sakit, mungkin efek berlari menaiki tanjakan semalam.