"Mbah, monggo sareng kulo. Mangkeh tak bayari ongkose menawi simbah mboten gadah yotro."
Aku masih mencoba membujuk kakek itu hingga beberapa saat. Hingga sang kondektur turun dan menghampiriku. Namun, jawaban dari kakek ini tetap sama. Dia tak mau ikut.Â
Melihat kakek ini tetap kekeh dengan pendiriannya membuat aku terenyuh. Sampai hati, kah aku akan meninggalkannya sendiri di sini?
"Aku arep mlaku wae. Aku meng ngaso sedilit men mari sayahe."
Apa sebaiknya aku jalan kaki saja bersama kakek ini? Kasihan dia, tapi perasaan apa ini? Sebelumnya aku tak pernah memiliki rasa simpati sebesar ini sebelumnya. Apa ini karena aku merasa bersalah tak bisa merawat Simbah Kakung di akhir hayatnya? Sedang beliau satu-satunya orang yang merawat dan membesarkanku.
"Mbak, kok, malah ngalamun. Ayo busnya udah mau berangkat."
Aku menengok sekali lagi ke arah kakek ini. "Aku turun di sini aja, Bang. Mau jalan nemenin kakek ini. Kasihan dia."
Sang kondektur segera berlari ke arah bus setelah menggerutu tak jelas. Selang beberapa saat bus menderu dan melaju. Aku melihat bus melaju hingga ke ujung tanjakan.
Simbah yang mengaku bernama Karso mengajakku untuk berjalan. Untunglah barang bawaanku tak banyak, hanya tas kecil berisi ponsel dan dompet. Aku sengaja mengirim barang-barangku yang lain, seperti baju, lemari, dan perabot lain dengan jasa pengiriman barang agar tak repot di jalan.
Mbah Karso berjalan sembari bercerita. Mulai dari cerita asal-usul dukuh Rejo, zaman penjajahan, sampai almarhum Simbah Kakung.
"Jebul saiki dadi Cah Ayu. Biyen senenge adus neng irigasi. Ngasik kulitmu ireng."