Sang kondektur akhirnya setuju. Aku segera menyeberangi jalan yang lebih lengang dari biasanya. Sepertinya jalan perbatasan ini baru saja dilebarkan. Nyatanya aku yang biasanya menyeberang jalan tak sampai lima menit, kini sudah hampir lima menit baru saja sampai di seberang. Sepertinya aku terlalu lama sampai di seberang membuat sang sopir yang maunya cepat-cepat terus itu sedikit kesal dengan membunyikan klakson berkali-kali.
Bukankah ini aneh? Jika jalan mengalami pelebaran kenapa aku bisa melihat dengan jelas kakek tua yang duduk di bangku ini? Ah, sepertinya aku masih mengantuk sampai berpikir yang aneh-aneh.
"Mbah," sapaku setelah sampai di dekat bangku.
Lelaki berpakaian putih kusam itu menengadah, lalu seulas senyum terlihat di bibirnya menghias wajah lelah sarat pengalaman hidup.
"Ono opo, Cah Ayu*?"
"Mbah bade tindak pundi? Niki sampun ndalu, kok, kiyambak."
"Aku arep neng dukuh Rejo."Â
"Kulo enggeh ajeng mriko. Sareng kulo mawon monggo, Mbah?"
"Cah Ayu, sejatine kowe durung wayahe melu bus kuwi. Reneo lungguh bareng simbah."
Aku hanya mengernyitkan dahi. Apa coba maksudnya belum saatnya ikut bus itu, orang sejak dari Jakarta tadi aku ikut bus itu? Apa Simbah ini mau minta bus yang lain? Namun, bus mana?Sejak tadi aku tak melihat bus lewat. Jangankan bus, kendaraan lainnya saja tak ada yang lewat.
Bus kembali memberi klakson panjang. Sepertinya pak sopir sudah tak mau menunggu terlalu lama lagi.