Bu Rahmi memang dirawat di rumah sakit. Namun, tindakan itu sudah terlambat. Penyakit ginjalnya sudah tak bisa diobati lagi. Tambah darah, cuci darah, tak bisa lagi membantunya. Sementara untuk operasi tak memungkinkan.
"Pasti sudah lama Bu Rahmi sakit itu, Bu. Cuma mungkin tak terlalu dirasakan, tak terlalu ditanggapi gejala awal yang dirasakan. Kan enggak mungkin, Bu tiba-tiba sakit gagal ginjal terus meninggal."
"Bener juga kamu."
"Lagian, Bu, sakit ginjal itu biasanya gak begitu terasa gejalanya. Harus dengan cek darah dan urin agar bisa tahu. Itu pun kalau ginjalnya sudah sakit 20% baru bisa terdeteksi keanehan dalam darahnya."
Ibu mendesah pelan. Pandangannya turun, sepertinya sedang menatap telapak tangannya yang saling meremas.
"Kemarin aku ajak Ibu buat cek kesehatan bukan untuk nakut-nakuti seperti yang Ibu bilang. Kalau kita tahu lebih dini apa yang kita derita, akan lebih mudah juga untuk mengobatinya, Bu. Usia memang tak bisa ditawar-tawar, tapi setidaknya kita berusaha agar tetap sehat sampai tua."
"Fi, apa tawaran kamu masih berlaku?"
Senyum seketika merekah di bibirku. Seruan puja-puji terus saja terucap dalam hati. Akhirnya Ibu mau juga diajak cek kesehatan. Sudah lama aku mengajaknya, tapi seribu alasan selalu Ibu berikan untuk menolaknya.
"Masih, Bu. Ibu mau cek di mana? Dokter langganan Ibu? Nanti sore kita ke sana, ya."
"Enggak usah di sana," jawab Ibu disertai gelengan kepala.
"Loh, kenapa, Bu?"