Perkembangan Sawahlunto  sebagai kota tambang menjadi saksi terjadinya revolusi industri di belahan benua Eropa. Pasca Willem Hendrik de Greve menemukan kandungan batu bara dan cadangan emas hitam di sekitar aliran sungai batang ombilin pada tahun 1867, sarana penunjang untuk melakukan eksploitasi dibangun secara masif.
Seiring perkembangan zaman dan semakin menipisnya hasil tambang, Sawahlunto mulai ditinggalkan. Bangunan bangunan serta bekas tambang dibiarkan begitu saja. Pemerintah kota Sawahlunto kemudian menjadikan peninggalan bangunan tersebut menjadi wisata edukasi.
Upaya pemerintah dalam melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah tidak sia-sia. Pada tahun 2019 UNESCO telah menetapkan jejak fisik aktivitas pertambangan batu bara di Sawahlunto diakui sebagai warisan budaya tambang dunia.  Di tengah kemasyhurannya, ada satu titik area yang sempat menarik perhatian banyak orang. Area itu berupa cekungan air jernih berwarna biru, keberadaanya  tersaji dengan begitu mengagumkan.  Cekungan itu mirip danau yang tengah dikelilingi pepohonan hijau di tebing-tebing batu cadas. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan Danau Kandi atau Danau Biru
Warna biru jernihnya berasal dari endapan air bawah tanah yang mengandung mineral tinggi. Konon dulunya bekas beberapa galian tambang batu bara yang lama kelamaan melebar. Antar galian kemudian menyatu akibat jebolnya tanggul sungai batang ombilin.
Masih dengan latar belakang bukit barisan, beberapa kilo meter dari Danau Kandi, terdapat lubang peninggalan Mbah Suro. Lubang ini berada di sebuah bangunan salah satu tambang yang terkenal di Sawahlunto yaitu Lubang Tambang Mbah Suro. Lubang ini memiliki kandungan batubara yang paling istimewa. Hal itu disebabkan terletak dikawasan patahan paling bawah dari permukaan bumi
Karena kandungan batu bara pada lubang tersebut sangat istimewa, Belanda membangun pelabuhan Teluk Bayurdan jaringan jalur kereta api untuk mempermudah aksesnya dalam menuju lokasi.
Jika diamati dari luar , lubang tambang lubang Mbah Suro yang kini sudah menjadi museum tampak seperti biasa saja. Namun setelah menuruni anak tangga, kita akan dikejutkan oleh tiruan dua pekerja tambang yang tengah mendorong  kereta kecil dengan muatan batu bara  dalam pengwasan mandor Belanda.
Tiruan atau replika dua pekerja tambang yang diabadikan untuk mengenang sejarah orang rantai yang memilukan. Pekerja tambang lubang Mbah Suro dulunya adalah orang yang dianggap kriminal mempunyai kekuatan mistis. Meski tangan, kaki dan lehernya dirantai, mereka masih bisa melakukan aktivitas. Orang rantai didatangkan oleh Belanda dari Jawa ( Mayoritas), Medan dan Sulawesi.
Selain mandor Belanda, terdapat juga Mandor yang berasal dari Jawa, yakni Mbah Suro. Beliau dipilih oleh Belanda karena memiliki ilmu kebatinan. Meski menjadi mandor, namun Mbah Suro tidak  bengis. Beliau terkenal dengan keramahannya terhadap pekerja tambang dan konon Mbah Suro juga rajin beribadah. Atas kepribadiannya yang baik lubang tersebut  diberi nama Lubang Tambang Mbah Suro
Puluhan bahkan ratusan anak tangga menuju lubang Tambang Mbah Suro terasa menantang. Kemiringan anak tangganya 45 derajat dengan perkiraan lebar 2,2 dan tinggi  2,75 meter.
Biasanya saat berkunjung ke lubang Tambang Mbah Suro petugas akan sibuk mengingatkan wisatawan  untuk tetap mengenakan peralatan pelindung kepala dan sepatu bot yang memang sudah disedakan. Terutama  saat di dalam lubang Mbah Suro.
Keistimewaan kandungan batu bara dalam lubang Tambang Mbah Suro menjadi salah satu alasan Belanda membangun jaringan jalur transportasi kereta uap. Sekitar tahun 2022 penulis berkesempatan merasakan sensasi naik kereta uap peninggalan Belanda, warnanya hitam, dan pastinya kepulan uap atau asapnya berwarna abu-abu. Tak heran jika kereta legendaris itu dari dulu disebut dengan Mak Itam
Mak Itam yang penulis tumpangi dulunya dibuat langsung oleh H. Chemnitz dengan nomor E 1060 Â pada tahun 1965. Pastinya kini Mak Itam sudah dimodifikasi meski tidak menghilangkan bentuk aslinya. Mak Itam menarik satu gerbong kayu dengan muatan sekitar 25-30 orang.
Di dalam gerbong kereta Mak Itam terdapat 2 kursi kayu panjang yang berdempetan namun saling membelakangi. Di sana seolah-olah semua penumpang, termasuk penulis disuguhi langsung pemandangan alam memukau dari kota sawahlunto. Udara yang ada di dalam gerbong juga terasa sejuk, hal itu dikarenakan penyejuk ruangan berupa AC dipasang di gerbong Mak Itam untuk menaMbah sensasi nyaman para penumpang. Saat itu Mak Itam yang penulis tumpangi bergerilya dari Stasiun Muaro kalaban sampai Stasiun Silungkang
Keramahan penduduk Sawahlunto membuat penulis tau bahwa dalam perjalanan menuju Silungkang terdapat terowongan yang ditunggu-tunggu oleh para penumpang untuk melewatinya. Terowongan itu namanya Lubang Kalam atau Terowongan Kalam. Kalam artinya gelap. Meskipun demikian penumpang tidak perlu kawatir karena penerangan gerbong Mak Itam sangat menunjang, sehingga susananya tidak terlalu gelap  melainkan remang-remang dan meninggalkan kesan nan romantis
Saat sampai di Terowongan Lubang Kalam aroma kepulan asap yang dihasilkan oleh pembakaran batubara semakin melekat. Seolah-olah membawa penumpang ke zaman dulu saat Sawahlunto menjadi kota tambang pertama kali di Indonesia. Selain itu juga mengingatkan kisah Orang Rantai yang diangkut dari Jawa melalui pelabuhan Teluk Bayur lalu diangkut lagi menggunakan kereta uap untuk menambang batu bara di Lubang Mbah suro
Setelah Mak Itam berhenti secara sempurna di Stasiun Silungkang, Penulis melanjutkan perjalanan kurang lebih 2 jam untuk menuju Teluk Bayur. Satu-satunya teluk yang terbuka untuk lalu lalang kapal dalam melakukan perjalanan dagang internasional. Teluk Bayur juga berbatasan langsung dengan Samudra Hindia.
Teluk terbesar dan teramai di Pantai Barat Pulau Sumatra dibangun 1888 sampai 1893. Teluk ini sebelumnya  bernama Emmahaven. Sampai artikel ini ditulis Pelabuhan Teluk Bayur masih eksis menjadi sarana  dalam menggerakkan moda transportasi laut yang  melayani berbagai jenis komoditas unggulan. Mulai dari batu bara, karet, cilinker, teh, moulding semen, minyak kelapa sawit, furniture, karet dan kayu manis yang merupakan komoditas ekspor andalan untuk benua Eropa, Asia, Australia  dan Afrika.
Bukan hanya itu saja, Teluk Bayur juga menyimpan keindahan alam  yang memesona. Panoramanya selalu konsisten dalam menyuguhkan pemandangan-pemadangan menarik, sehingga sayang jika dilewatkan untuk tidak dikunjungi. Kondisi Teluk Bayur jauh kini lebih sempurna dibanding tahun 2022 saat penulis menyambangi teluk tesebut.
Bahkan Pemerintah juga menaruh perhatian untuk memamerkan keindahan Teluk Bayur dengan membangun jembatan yang menghubungkan antara Kecamatan Singkil dengan Kecamatan Kuala Baru melalui  jembatan terpanjang di Kota Aceh.
Adanya Jembatan tersebut telah mempermudah akses pengunjung untuk  menikmati keindahan Teluk Bayur nan bersejarah. Sebuah teluk yang turut menemani perjalanan Orang Rantai. Seandainya teluk itu bisa bicara dia pasti akan bercerita tentang penderitaan Orang Rantai yang ditempatkan di dek dek kapal. Gelap dan pengap disitu mereka berdesak-desakan dengan kawan senasibnya. Hukuman cambuk dan diceburkan di dalam laut adalah hukuman bagi yang mencoba melakukan perlawanan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H