Profil pelajar pancasila merupakan  potret figur  yang diharapkan  bangsa kepada pelajar Indonesia. Mereka diharapkan gemar menuntut ilmu sepanjang hayat , memiliki kompetensi global serta berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Untuk mencapainya ada  enam karakter yang harus ditanamkan kepada pelajar indonesia. Yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif,
Enam karakter tersebut dijabarkan melaui desain proyek pembelajaran  khusus yang dapat menguatkan pemahaman murid  dalam rangka mencapai kompetensi dan nilai- nilai karakter.Â
Dalam tulisan ini akan paparkan desain pembelajaran khusus yang telah dilakukan praktik baiknya di kelas 5 SD Cakra Buana Depok semester 1 pada bulan Oktober tahun ajaran 2022-2023. Praktik baik tersebut dilakukan untuk mencapai salah satu elemen atau karakter dari profil pelajar pancasila, yaitu elemen berkebhinekaan global.
 Berkebhinekaan global dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang dapat mempertahankan budaya luhur, identitas, lokalitas serta berpikiran terbuka dalam berinteraksi dan menerima budaya lain. Dari pengertian berkebhinekaan global, muncul 2 kata kunci yang dapat dijadikan acuan untuk mendesain proyek pada pembelajaran khusus. Kata kunci pertama adalah mempertahankan budaya luhur dan kata kunci kedua menerima budaya lain. Maka dari itu pembelajaran harus menumbuhkan rasa nasionalisme dan toleransi.
Rasa nasionalisme dapat ditumbuhkan dengan cara mencintai budaya lokal. Adapun nilai-nilai dari toleransi dapat diinternalisasikan di dalamnya. Ada 3 cara yang peneliti  lakukan untuk merancang prosyek pembelajaran khusus, dan kemudian dilakukan praktik baiknya.
Pertama, Â memadukan kebudayaan nasional dengan kebudayaan lokal.Â
Perpaduan budaya nasional dengan kebudayaan lokal tanpa menghilangkan orisinalitas dua budaya  yang sedang dipadukan. Alasan dipilihnya budaya nasional, dikarenakan budaya nasional dihasilkan oleh bangsa Indonesia sejak zaman dulu dan eksistensinya sampai saat ini masih terjaga sebagai karya yang khas dan dapat dibanggakan oleh setiap daerah, serta mencerminkan identitas bangsa Indonesia
Biasanya sebuah kebudayaan bisa dikatakan sebagai kebudayaan nasional ketika sudah diakui oleh UNESCO. Di antaranya adalah wayang, keris, batik, angklung, tari saman, noken Papua, pantun, dan gamelan
Peneliti memadukan kebudayaan batik dengan kebudayaan lokal kota Depok. Hal ini dikarenakan peneliti tinggal dan mengajar di kota Depok. Adapun kebudayaan kota Depok yang dipadukan ialah kesenian, peninggalan sejarah sampai icon bahkan produk unggulan kota Depok.
Perpaduan budaya tersebut diimplementasikan menjadi motif batik. Artinya peneliti sekaligus guru yang melaksanakan praktik baik ini mengajak siswa belajar membatik dengan menggunakan motif-motif yang menjadi kekhasan atau kebudayaan kota Depok. Seperti Gong si Bolong , tari Topeng Cisalak , Tugu Batu Sawangan, belimbing dewa, ikan hias  dan kujang pena.
Internalisasi nilai-nilai toleransi dari perpaduan budaya nasional dengan lokal adalah membiasakan murid-murid untuk dapat menerima budaya dari luar daerahnya untuk kemudian dipadupadakan dengan budaya lokalnya demi melestarikan eksistensi kebudayaan lokal yang ada di daerahnya.
Kedua, menggunakan strategi pembelajaran berdiferensiasi
Pembelajaran berdiferensiasi dibagi menjadi 3, diferensiasi konten, diferensiasi proses dan diferensiasi produk.  Beragamnya kebudayaan kota Depok, membuat murid-murid bebas  menentukan pilihan berdasarkan ketertarikannya.
Dalam membatik murid-murid diajarkan 2 teknik. Yaitu canting dan cap. Setelah keduanya dipelajari. Mereka kembali dibebaskan untuk memilih, dan melakukan proses membatik. Mayoritas murid perempuan memilih mencanting, sedangkan murid laki-lakinya semuanya mengecap. Perbedaan proses ini tentu berdampak pada pengalaman yang dirasakan oleh murid.
Meski tidak harus memiliki pengalaman yang sama, namun saling berbagi pengalaman atau bertukar informasi, dapat memperkaya pengetahuan murid. Karena itulah peneliti meminta murid-murid untuk menceritakan atau mempresentasikan batik yang telah mereka buat. Mulai dari sejarah motif batik yang mereka pilih sampai teknik pembuatannya.
Pemilihan motif dan teknik membatik dijadikan sarana oleh peneliti untuk menerapkan strategi pembelajaran berdiferensiasi. Di mana setiap murid atau kelompok mendapatkan informasi dan pengalaman yang berbeda-beda. Semarak merdeka belajarpun semakin terasa ketika anak-anak menceritakan masing-masing  pengalaman dan informasi yang ia peroleh melalui presentasi di kelas.
Perbedaan dalam keberagaman pada pembelajaran berdiferensiasi secara otomatis membiasakan murid agar terbiasa dengan kehidupan heterogen. Dalam kehidupan tersebut murid-murid dapat berbagi, menerima dan meghormati hak-hak setiap orang, meskipun orang tersebut tidak sama dengan dirinya. Hal ini juga dapat dikatakan dengan internalisasi nilai-nilai toleransi.
 Ketiga Memberdayakan Konteks
Ditilik dari artinya memberdayakan konteks ialah kegiatan yang mengarahkan atau menyiapkan sumber daya dari berbagai komunitas agar dimanfaatkan oleh murid untuk sumber belajar. Sumber belajar ini diharapkan mampu memberi kontribusi terhadap perubahan.
Peneliti memilih komunitas dari galeri Batik Tradju Mas Depok, di dalamnya terdapat sumber daya yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh murid-murid. Â Mulai dari sumber alat dan bahan sampai sumber daya pendidik yang terdiri dari pembatik-pembatik terlatih yang sudah terbiasa membatik motif-motif khas kota Depok. Sehingga murid-murid dapat merasakan pengalaman langsung belajar membatik dari ahlinya.
Menurut informasi dari pemilik galeri Batik Tradju Mas Depok, tenaga ahli tersebut didatangkan langsung dari kota batik, yaitu Pekalongan. Di mana kelihaian dan kemahiran mereka dalam membatik tidak diragukan lagi. Selain dari pekalongan ada juga yang dari Depok asli, sehingga informasi tentang sejarah kebudayaan dan kekhasan kota Depok dapat diterima secara utuh oleh murid.
Nilai-nilai toleransi juga terlihat dengan jelas, ketika murid-murid mampu menerima orang lain, dalam hal ini pembatik dari Pekalongan yang tidak menutup kemungkinan memiliki perbedaan suku
Memadukan kebudayaan nasional dengan kebudayaan lokal, menggunakan strategi pembelajaran berdiferensiasi dan memberdayakan konteks atau dapat disebut dengan 3M dapat dijadikan referensi untuk mencapai profil pelajar, terutama elemen berkebhinekaan global. Karena selain sarat dengan nilai-nilai kearifan/kebudayaan lokal, nilai-nilai toleransi sudah terakomodir di dalamnya. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H