Mohon tunggu...
Latif N. Janah
Latif N. Janah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cerpen | Fotografi | Sandal Jepit | Batik | Sambal | Sepeda | Pasar Tradisional\r\n pacelatonlatif.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kentrung Ibu Kota

4 Juli 2012   14:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:17 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kentrung Ibu Kota

Oleh: Latif Nur Janah

Digenggamnya kentrung itu dengan kedua tangannya. Melindunginya dari rintik hujan yang mulai turun bak pasukan perang yang seketika itu juga berubah menjadi lautan di tengah jalanan. Trotoar tak lagi kelihatan, bahkan baliho di pinggiran jalan nampak sedikit meliuk tertimpa angin.

Masih erat di tangannya kentrung itu, satu-satunya senjata untuk hidup di kota yang banyak dianggap orang sebagai sumber kehidupan, sumber kejayaan. Nyatanya, bagi dirinya sendiri, kota itulah asal muasal dirinya menjadi seperti ini.

Bersama puluhan bahkan ribuan anak-anak yang nyaris sama dengan dirinya, yakni anak-anak yang tak lain dan tak bukan adalah anak yang terbuang atau tepatnya dibuang, bahkan tak diinginkan keberadaannya, ia mengarugi nasib, berharap sejengkal keberuntungan akan ditemuinya dalam setiap langkah kakinya. Atau jika ia sedang sial, ia akan dihadiahi sebuah peluit panjang yang mau tak mau menyuruhnya untuk lari secepat kilat. Toh apapun yang dialaminya di kota ini, tubuh dan jiwanya seakan tak mau untuk meninggalkannya. Apalagi setelah hatinya dengan gamblang menyadari jika keberadaannya di hati ibu dan bapaknya tak pernah diinginkan akibat pernikahan yang tak pernah terwujud.

Kini, setelah sekian tahun ia berdiri di kakinya sendiri, menapaki setiap langkahnya tanpa ada yang mengayomi, setitik keinginan pun tiba- tiba meliuk perlahan di benaknya, seolah liukan itu perlahan menjadi kencang dan semakin besar. Kerinduan akan sosok ibu dan bapaknya membuncah meskipun hanya sampai pada saat ia mampu menepis rasa itu lagi.

Hujan masih terus mengganjar bumi yang kering. Entahlah, ia sendiri tak tahu apakah di kampunya-yang sudah belasan tahun lalu ia tinggalkan-sedang hujan atau tidak, mengingat ini musim kemarau. Tapi, lain ceritanya di kota yang ia tinggali sekarang ini. Air tak lagi peduli pada musim. Panas tak menghalanginya untuk mengguyur bumi. Toh kalaupun banjir tak datang dari hujan, kota itu akan selalu mendapat kiriman dari sungai, dengan oleh-oleh khas sampah dan bau anyir. Namun, apalah gunanya menyalahkan hujan dan banjir, nyatanya sampah yang menjamur di bantaran sungai tak lain dan tak bukan berasal dari manusia-manusia kota itu.

Dibenahinya lagi lipatan celana panjangnya. Celana yang tak lagi bersih apalagi rapi. Ia rapatkan tubuhnya dia antara jejalan manusia yang berebut secuil tempat untuk berteduh. Hujan selalu ampuh untuk menjadikan manusia saling menyalahkan. Seorang lelaki paruh baya di sebelahnya, memaki-maki lewat telepon yang digenggamnya hanya karena anaknya telat menjemput hingga ia terpaksa berteduh di antara rombongan manusia itu. Seorang perempuan muda dengan sepatu hak tingginya, tak berhenti mencaci-entah siapa yang dicaci-hanya karena gaun yang dipakainya kotor terciprat lumpur. Dan ketika sebuah sepeda motor melaju layaknya dipacu dengan kecepatan paling tinggi lewat di depan mereka, perempuan muda itu menjerit sembari melemparkan sumpah serapah kepada si pengendara motor, lagi-lagi hanya karena lukisan lumpur di gaunnya bertambah lebar ban lebih bermotif.

Ia, bocah yang setia menggamit kentrungnya ke manapun ia melangkah, berjinjit-jinjit untuk sesekali melihat teman-temannya sudah datang atau belum. Dua jam lalu mereka berpisah, seperti biasa di tempat yang sama pula setiap harinya. Lalu, seperti sudah menjadi agenda harian mereka, satu atau dua jam setelah itu, mereka berkencan untuk bertemu di tempat di mana mereka berpisah. Setiap jalan bahkan gang-gang kecil di tempat itu, mereka sudah hafal betul. Tapi, hampir bosan ia menunggu, bahkan satu orang pun dari temannya tak muncul juga. Sekarang, sudah hampir genap sepuluh kali ia melongokkan kepalanya di antara orang-orang yang lebih tinggi darinya untuk mengecek. Hampir saja ia terjungkal ke depan ketika Sidrat, seorang temannya muncul dari belakang dan mendorong tubuhnya.

“Dapat banyak?”

“Ah, ternyata kamu, Drat. Cuma sepuluh ribu perak.” bocah bernama Bahrul itu merogoh saku celananya,menunjukkan sudut lembaran uang sepuluh ribu kepada Sidrat.

“Masih mending kamu, Rul. Aku cuma dapat dua ribu perak.” tak ketinggalan, Sidrat pun memaki-maki karena hujan yang sedari tadi tak berhenti.

Bahrul melongok lagi, menyisir gang sempit di hadapannya. Kedua temannya yang lain tak muncul juga.

Orang-orang di tempat itu lambat laun pergi satu per satu, tak peduli lagi basah yang ditimbulkan hujan. Sebagian dari mereka, bahkan rela mencopot sepatu mengilat yang dipakainya, lalu mengemasnya dalam plastik yang dibelinya dari tukang asongan dadakan seharga seribu rupiah. Seribu rupiah bagi Bahrul dan Sidrat, cukup untuk membeli sebungkus nasi kucing; nasi secuil berikut dengan ikan yang juga secuil dan ikan. Cukup untuk membungkam suara perutnya yang terdengar merdu di malam hari.

Akhirnya, setelah kedua temannya tak muncul juga, Sidrat dan Bahrul melenggang pergi, melangkah di antara titik hujan yang berangsur reda.

“Woooiii!” Sidrat berteriak lalu mengambil langkah seribu, mengejar Kurni yang merampas uang dari genggamannya. Bahrul juga ikut lari, berusaha menangkap Kurni, pengamen yang juga tinggal di kawasan kolong jembatan seperti mereka. Jalanan licin yang mereka lalui cukup membuat mereka kesulitan untuk mencapai lompatan kaki Kurni yang sangat gesit.

Krrreeekkk...

Kentrung yang nyaris jatuh dari tangan Bahrul terbentur tembok. Gagangnya patah, memisahkannya dari badannya. Senar-senarnya yang putus, serupa musuh yang melucuti Bahrul, menyita gaman satu-satunya yang ia miliki untuk bertahan di jalanan.

Mereka pulang, tak peduli lagi akan Kurni, toh lima ribu perak milik Sidrat pasti sudah ludes di tangan Kurni. Kalimat-kalimat yang terus muncul dari mulut Sidrat rupanya tak berarti apa-apa di telinga Bahrul. Kehilangan kentrung baginya lebih menyedihkan. Itu berarti, besok dirinya tak bisa lagi memetik senar-senarnya untuk menggoda orang-orang menarik receh dari saku mereka. Itu juga berarti, mungkin saja besok dirinya tak bisa mendapat uang untuk makan. Ah, itu kan besok. Lagipula masih ada semalam ini.

Seperti halnya malam-malam sebelumnya, Bahrul dan Sidrat tidur bersisihan. Angin malam sudah seperti selimut bagi keduanya. Pun dengan bising suara kendaraan di atas mereka berikut dengan cicit tikus got yang mondar-mandir di sekitar mereka. Dirapatkannya selembar sepuluh ribu yang ia dapat tadi siang. Mata Bahrul menerawang sebelum akhirnya fajar datang menyilaukan mata. Saat itu juga telah disadarinya selembar uang yang disimpannya hilang.

Solo, Juli 2012

Kentrung=gitar kecil, juga sebutan untuk salah satu kesenian di seputar pantai utara Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun