Mohon tunggu...
Latif N. Janah
Latif N. Janah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cerpen | Fotografi | Sandal Jepit | Batik | Sambal | Sepeda | Pasar Tradisional\r\n pacelatonlatif.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kentrung Ibu Kota

4 Juli 2012   14:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:17 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Masih mending kamu, Rul. Aku cuma dapat dua ribu perak.” tak ketinggalan, Sidrat pun memaki-maki karena hujan yang sedari tadi tak berhenti.

Bahrul melongok lagi, menyisir gang sempit di hadapannya. Kedua temannya yang lain tak muncul juga.

Orang-orang di tempat itu lambat laun pergi satu per satu, tak peduli lagi basah yang ditimbulkan hujan. Sebagian dari mereka, bahkan rela mencopot sepatu mengilat yang dipakainya, lalu mengemasnya dalam plastik yang dibelinya dari tukang asongan dadakan seharga seribu rupiah. Seribu rupiah bagi Bahrul dan Sidrat, cukup untuk membeli sebungkus nasi kucing; nasi secuil berikut dengan ikan yang juga secuil dan ikan. Cukup untuk membungkam suara perutnya yang terdengar merdu di malam hari.

Akhirnya, setelah kedua temannya tak muncul juga, Sidrat dan Bahrul melenggang pergi, melangkah di antara titik hujan yang berangsur reda.

“Woooiii!” Sidrat berteriak lalu mengambil langkah seribu, mengejar Kurni yang merampas uang dari genggamannya. Bahrul juga ikut lari, berusaha menangkap Kurni, pengamen yang juga tinggal di kawasan kolong jembatan seperti mereka. Jalanan licin yang mereka lalui cukup membuat mereka kesulitan untuk mencapai lompatan kaki Kurni yang sangat gesit.

Krrreeekkk...

Kentrung yang nyaris jatuh dari tangan Bahrul terbentur tembok. Gagangnya patah, memisahkannya dari badannya. Senar-senarnya yang putus, serupa musuh yang melucuti Bahrul, menyita gaman satu-satunya yang ia miliki untuk bertahan di jalanan.

Mereka pulang, tak peduli lagi akan Kurni, toh lima ribu perak milik Sidrat pasti sudah ludes di tangan Kurni. Kalimat-kalimat yang terus muncul dari mulut Sidrat rupanya tak berarti apa-apa di telinga Bahrul. Kehilangan kentrung baginya lebih menyedihkan. Itu berarti, besok dirinya tak bisa lagi memetik senar-senarnya untuk menggoda orang-orang menarik receh dari saku mereka. Itu juga berarti, mungkin saja besok dirinya tak bisa mendapat uang untuk makan. Ah, itu kan besok. Lagipula masih ada semalam ini.

Seperti halnya malam-malam sebelumnya, Bahrul dan Sidrat tidur bersisihan. Angin malam sudah seperti selimut bagi keduanya. Pun dengan bising suara kendaraan di atas mereka berikut dengan cicit tikus got yang mondar-mandir di sekitar mereka. Dirapatkannya selembar sepuluh ribu yang ia dapat tadi siang. Mata Bahrul menerawang sebelum akhirnya fajar datang menyilaukan mata. Saat itu juga telah disadarinya selembar uang yang disimpannya hilang.

Solo, Juli 2012

Kentrung=gitar kecil, juga sebutan untuk salah satu kesenian di seputar pantai utara Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun