Kubang Rasa
Saya bahkan merasa kesulitan saat mengisi formulir setiap ada pendataan di sekolah. Setiap saya bertanya pada Ibu, ia seolah menyembunyikan sesuatu dari saya.
“Kenapa harus yang ini, Bu? teman-teman Ranju biasanya milih yang ini.” kata saya, menunjuk kolom “status dalam keluarga” yang berada pada lembar formulir data diri dari sekolah.
Seperti biasa Ibu tak pernah menjawab pertanyaan saya. Ia hanya terus membantu saya menuliskan beberapa kalimat dalam titik-titik yang tertera pada formulir. Saya masih kelas tiga SD saat itu. Pernah saya membuka-buka formulir yang sama milik adik saya, Dani. Saya heran ketika melihat formulir milik Dani ditulis sama persis dengan punya teman-teman saya. Di sana tertera coretan pada tulisan “anak tiri” sementara Ibu selalu menyoret “anak kandung” pada formulir saya.
Saat itu saya sengaja menunggui Ayah di kamar tanpa sepengetahuan Ibu. Ayah bekerja di luar kota sehingga hanya di akhir pekan saya bisa bertemu. Saya juga mendengar mereka bercakap. Dari yang saya dengar, Ibu selalu menyebut-nyebut nama “Riana”.
Percakapan itu mulanya hanya pembiacaraan biasa, namun lambat laun berubah menjadi perdebatan sehingga untuk kesekian kalinya, akhirnya saya harus membiasakan diri untuk mendengar hal semacam ini setiap kali Ayah pulang.
“Saya akan mengajaknya bertemu Riana.” kata Ibu di suatu pagi di akhir pekan. Ayah tak memberi tanggapan, hanya sebuah anggukan yang membuat saya akhirnya menuruti tarikan tangan Ibu.
Selama perjalanan pagi itu, Ibu tak bicara sepatah kata pun. Biasanya, jika kami pergi bersama Dani, ia akan membelikan makanan kesukaan kami berdua. Ia hanya sesekali melirik ke arah saya yang duduk di sampingnya.
Tibalah kami di sebuah tempat makan. Tempat makan yang asing bagi saya saat itu. Kepulan asap rokok ada di setiap sudut ruangan sementara beberapa orang yang terlihat seperti preman duduk di sana. Ibu mengenggam tangan saya lalu menuntun saya menuju tempat duduk di salah satu pojoknya.
Ada seorang wanita di sana dengan pakaian yang lagi-lagi asing; topi, sepatu yang tak layak pakai, celana jins yang robek di bagian lutut. Di jari tangannya terselip rokok yang sama persis seperti rokok Ayah. Wanita itu tersenyum pada Ibu kemudian lebih mengembang ketika melihat saya yang malu-malu. Meski saya masih kecil saat itu, saya bisa menangkap jika ada ketidaknyamanan antara Ibu dan wanita itu.
“Sudah lama, Ri?” sapa Ibu pada wanita itu. Ia mengulurkan tangan, namun Ibu tidak menyambutnya. Ibu mengambil tempat duduk tepat di depan wanita itu. Ia tersenyum lagi pada saya. Lebih mengembang dan sangat manis.
“Kau sudah besar rupanya.” ujarnya setelah beberapa saat mengamati wajah saya seolah kami saling mengenal.
“Terima kasih, Mir. Aku telah banyak berhutang padamu. Jika kejadian dulu itu tak terjadi, mungkin hidupmu juga tak akan terbebani.” ia mendengus, mengeluarkan asap tebal dari mulutnya.
“Aku sudah sering kau jadikan kambing hitam seperti ini. Asal kau tahu, mungkin Mas Bowo masih mencintaimu daripada aku.” saya mendengar nama Ayah disebut dan saat itu yakinlah saya bahwa wanita itu adalah orang yang Ibu sebut-sebut tempo hari.
“Aku boleh mengajak Ranju ke rumah?” tanya wanita itu lalu mengalihkan pandangannya pada saya.
“Mas Bowo tak pernah mengijinkan.”
“Ah, keras kepalanya tak pernah hilang.” ia mengepulkan asap lagi. Kali ini lebih panjang dan lebih lama. Saya baru sadar jika ada sebuah tatto yang menghiasi lengannya ketika ia membenahi topi yang dipakainya.
“Sepertimu.” Ibu berseloroh.
“Ini untukmu.” wanita itu mengambil sebuah amplop cokelat tebal lalu menyodorknnya pada Ibu. Amplop yang saya duga berisi uang itu segera berpindah tangan.
“Memang tak banyak, Mir. Aku hanya ingin memberi Ranju apa yang seharusnya ia terima.”
Saya dan Ibu bergegas keluar dari tempat itu sementara mata wanita itu masih mengekor kami. Barulah pandangannya benar-benar beralih pada koran di meja saat saya duduk di jok mobil.
***
“Kenapa Ibu tak mengajakku dari kecil saja?” kami duduk di salah satu bangku stasiun malam itu setelah makan malam dengan satu bungkus nasi dengan lauk tempe dan sambal terasi untuk masing-masing.
“Ayahmu keras kepala. Kau tahu itu, kan?”
“Hahahaha seperti aku juga, Bu.” tawa saya pecah. Membuat beberapa pengemis yang tidur di sekitar saya mendelik ke arah saya.
“Ayahmu memang benar-benar pria baik.” pandangan Ibu melayang. Rokok yang terselip di jemarinya telah ia buang beberapa menit lalu. Saya tahu betul ia masih mencintai Ayah saya meski kini Ayah telah memilih Mira, ibunya Dani, wanita yang dipilihkan orang tuanya.
Saya juga dapat merasakan kepedihan Ibu meski sejak kecil waktu saya habis bersama Ayah dan istrinya kini. Mendapati bahwa ibu kandung saya adalah seorang yang tersingkir dari keluarga memang sakit. Sesakit saat saya mendapat perlakuan tak layak dari istri Ayah. Kami mengerti semua itu, mengerti akan kesendirian masing-masing hingga saat ini, saat umur saya 21 tahun, kami memilih untuk menjalani hidup bersama. Meskipun hidup dari petikan-petikan senar sumbang, namun kekosongan itu terkikis dan perlahan habis.
“Ibumu juga wanita yang baik.”
“Ibu?”
“Ya, kau harus banyak berterima kasih pada Tante Mira.”
Malam semakin hening. Suara kereta yang meluncur pun terasa sangat bergemuruh, mengusik. Saya tetap duduk di sampingnya, mengamati wajahnya yang layu. Wajah yang selalu mengajarkan bahwa hidup bukan hanya sekedar hidup. Wajah layu seorang wanita jalan yang mengandung janin saya.
Solo, April 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H