“Kenapa Ibu tak mengajakku dari kecil saja?” kami duduk di salah satu bangku stasiun malam itu setelah makan malam dengan satu bungkus nasi dengan lauk tempe dan sambal terasi untuk masing-masing.
“Ayahmu keras kepala. Kau tahu itu, kan?”
“Hahahaha seperti aku juga, Bu.” tawa saya pecah. Membuat beberapa pengemis yang tidur di sekitar saya mendelik ke arah saya.
“Ayahmu memang benar-benar pria baik.” pandangan Ibu melayang. Rokok yang terselip di jemarinya telah ia buang beberapa menit lalu. Saya tahu betul ia masih mencintai Ayah saya meski kini Ayah telah memilih Mira, ibunya Dani, wanita yang dipilihkan orang tuanya.
Saya juga dapat merasakan kepedihan Ibu meski sejak kecil waktu saya habis bersama Ayah dan istrinya kini. Mendapati bahwa ibu kandung saya adalah seorang yang tersingkir dari keluarga memang sakit. Sesakit saat saya mendapat perlakuan tak layak dari istri Ayah. Kami mengerti semua itu, mengerti akan kesendirian masing-masing hingga saat ini, saat umur saya 21 tahun, kami memilih untuk menjalani hidup bersama. Meskipun hidup dari petikan-petikan senar sumbang, namun kekosongan itu terkikis dan perlahan habis.
“Ibumu juga wanita yang baik.”
“Ibu?”
“Ya, kau harus banyak berterima kasih pada Tante Mira.”
Malam semakin hening. Suara kereta yang meluncur pun terasa sangat bergemuruh, mengusik. Saya tetap duduk di sampingnya, mengamati wajahnya yang layu. Wajah yang selalu mengajarkan bahwa hidup bukan hanya sekedar hidup. Wajah layu seorang wanita jalan yang mengandung janin saya.
Solo, April 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H