Mohon tunggu...
Latif N. Janah
Latif N. Janah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cerpen | Fotografi | Sandal Jepit | Batik | Sambal | Sepeda | Pasar Tradisional\r\n pacelatonlatif.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pergilah, Presiden Datang!

19 April 2012   13:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:25 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumin merebahkan tubuhnya di pinggiran jalan di bawah rimbunan pohon mangga yang daunnya mulai menguning. Berbagi udara yang mulai mahal dengan pengguna jalan yang hilir mudik yang sekarang ini juga mulai diwarnai dengan deru dan kepul knalpot. Sudah hampir setengah hari ia terpaku di sana, di dekat sebuah masjid yang dipakainya sebagai tempat mengadu nasib, menjajakan dagangan.

Ia hampir saja dibuat rugi oleh pejalan kaki yang berdesakan ketika seseorang hampir saja menginjak dagangannya. Jika saja ia tak sigap menyeret sebuah poster yang tergelar itu, mungkin saja uang sebesar dua ribu rupiah yang ia keluarkan untuk membelinya tidak akan kembali. Uang sebesar itu sangatlah cukup untuk mengenyangkan perutnya yang melilit di siang itu. Ah, suara kucluk-kucluk itu rupanya belum dapat hilang jika belum diganjal dengan sesuatu. Dengan berat karena belum mendapatkan pembeli satupun, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang untuk dibelikannya es cendol. Sama sekali tak akan membuat perutnya kenyang, namun cukup untuk mengaliri tenggorokannya yang kemarau.

“Besok Tuan Presiden datang, Kang.” kata pedagang es cendol membuka obrolan.

“Mau apa? Mau bantu kita gitu?” jawab Sumin cengengesan. Es di plastik yang digenggamnya tinggal separo.

“Mau ngresmiin masjid, katanya.”

Matahari semakin terik, memamerkan sinar panasnya yang tak tertandingi. Sumin meringis. Diusapnya keringat yang mulai tergelincir di pelipisnya. Lapaknya kini sudah diterpa panas hingga ia lekas memasang terpal sebagai peneduh. Rimbunan daun mangga di sekitarnya juga tak mampu lagi menyuplai oksigen yang cukup dan menghalau panas yang kian menerpa.

Ia kembali duduk dan memandangi gelaran poster-poster di hadapannya. Sesekali dibersihkannya poter-poster itu dari kepulan debu yang beterbangan. Dan ketika punggungnya tak tahan akan pegal dan letih akibat usia yang tak lagi muda, ia bersandar pada pagar masjid. Sejenak letih itu hilang, namun hingga matahari tenggelam pun tak satupun orang menjamah lapaknya.

***

Sebuah pengumuman dari petugas berseragam itu membuatnya gugup. Ia ingat tentang perkataan pedagang es cendol tempo hari yang mengatakan jika presiden akan datang. Dilihatnya segerombol barisan mobil mewah menuju masjid yang notabene berada di kawasan perkantoran itu. Hanya ada dirinya di sana sementara pedagang lain sudah mengemas dagangannya.

“Kau tak dengar?” suara salah satu petugas berseragam membuatnya terhenyak.

“Pergilah, sebentar lagi presiden masuk!” bentaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun