Mohon tunggu...
Latif N. Janah
Latif N. Janah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Cerpen | Fotografi | Sandal Jepit | Batik | Sambal | Sepeda | Pasar Tradisional\r\n pacelatonlatif.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepeda Kumbang

5 April 2012   17:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:59 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepeda Kumbang

Sepeda kumbang yang sudah berkarat adalah bukti ketangguhan dirinya. Karat-karat itu lah yang membuktikan jika ia setia pada hidupnya. Setia pada negara, katanya setiap ditanya tetangga. Tetangganya pun hanya melongo jika sudah mendengarnya begitu. Bukan bengong karena pekerjaannya, tapi bengong karena kesetiaannya menjadi guru. Guru negeri meski kadang harus makan hati. Guru yang bisa membuat orang pintar seperti Pak Habibi.

Umar pergi ke sekolah pagi itu seperti biasa. Setelah menghabiskan pisang kepok rebus yang dihidangkan istrinya. Sebagai guru matematika favorit di sekolahnya, ia terpilih menjadi guru pembimbing sehingga setiap harinya harus berangkat lebih pagi dari guru yang lain. Lumayan mendapatkan tambahan dua belas ribu rupiah tiap harinya. Cukup untuk beli rokok satu bungkus.

Umar paling benci jika musim hujan tiba. Sepedanya harus rela bermesraan dengan lumpur jalanan yang berlubang. Belum lagi jika ia harus melihat sepatunya yang sudah disemir kinclong mendadak berlipstik lumpur. Belepotan.

“Ayo, Pak! Kejar saya!” suara motor meraung dari belakang. Umar sudah bersiap banting setang ke kiri menghindari kubangan, namun karena apes adalah temannya dan sial adalah belahan jiwanya, ia pun terbasuh air-air cokelat lembek itu. Baju dinasnya kotor. Ia hampir terjerembab ke selokan jika saja tangannya tidak cekatan menopang tubuhnya.

“Awas, nanti di kelas! Huh!” Umar mendengus. Memaki murid bengalnya yang bernama Alex. Alex sudah lebih dulu menggilas tas hitamnya yang tergeletak tak jauh dari selokan sebelum Umar membetulkan posisinya.

Sepanjang perjalanan Umar ngedumel sendiri. Tasnya tersampir di setang sepeda karatan berhias lumpur di sana-sini. Berbagai ide muncul di benaknya. Ya, ia akan mengebiri Alex di kelas nanti. Ia tidak akan melukainya, tidak. Ia hanya ingin membuat Alex jera hingga tak barulah lagi padanya.

“Itu tandanya mereka senang sama Bapak,” tanggapan Bakri, si tukang kebun setelah mendengar keluh kesah Umar. Pagi itu hanya ada mereka berdua di ruang guru.

“Saya ini enggak bodo, Kri. Wong jelas-jelas mereka itu mbalelo."

“Lah kalau mbalelo, mereka enggak mungkin berani becandaan sama sampeyan tho, Pak.”

“Halah yo wis, sekarang mana kopiku?”

“Sudah di depan sampeyan dari tadi, Pak.”

“Hahahaha...” Umar tertawa sementara Bakri terus membersihkan gumpalan-gumpalan rayap yang semakin menggerogoti dinding ruang kantor. Sudah menjadi kebiasaan Umar minum kopi sebelum mengajar. Sengaja karena di rumah ia jarang punya gula. Daripada beli gula mending beli beras, begitu kata istrinya setiap ditanya.

***

Keadaan kelas masih sepi. Seperti biasa ia memang selalu kepagian berangkatnya. Baru setelah beberapa menit kemudian datang lah satu persatu murid yang sangat dicintainya itu, termasuk Alex yang mulai mengambil posisi duduk di bangku paling dekat dengan meja guru.

“Selamat pagi, anak-anak dan anik-anik.” Begitu lah ia menyapa murid laki-laki dan perempuan sehingga mereka yang disapa tak sedikit pun tertawa mendengarnya.

Ia mulai memberikan pelajaran matematika. Pelajaran yang membawanya menjadi guru yang paling disukai murid-muridnya. Entahlah, mereka benar-benar suka atau tidak. Papan tulis hitam itu sudah mulai penuh goresan kapur. Umar harus segera melap kacamatanya sehabis menulis karena debu-debu melekat erat di sana, menganggu pandangan.

Umar bergegas keluar meninggalkan kelas melihat bangku Alex tiba-tiba kosong. Dikayuhnya sepeda kumbangnya menyusuri jalanan seputaran sekolah. Ia bermaksud mencari Alex si murid bengal. Dari satu toko ke toko lain. Dari satu tempat tongkrongan ke tongkrongan yang lain, namun nihil. Ia lelah oleh peluh yang membasahi tubuh. Sepeda pun berhenti dikayuh.

Saat kembali ada beberapa polisi di pintu gerbang.

“Itu, Pak! Itu yang nyuruh rusuh.” Alex bersemangat melihat Umar dari kejauhan. Polisi bengong melompong.

“Iya! Itu,Pak! Itu Pak Umar yang nyuruh tawuran sama sekolah sebelah.” Alex bersorak telah berhasil mengundang polisi dan siswa-siswa sekolah sebelah. Ia terbirit diikuti tangan-tangan berpentungan dan lagi–lagi hampir tercebur ke selokan. Wajah-wajah garang mengikuti dari belakang, membuntuti sepeda kumbang. Tas hitamnya tertinggal. Ia panik tak karuan hingga kentutnya tak terdengar. Umar pulang dengan napas tersengal.

________________

Solo, April 2012

Terinspirasi dari lagu Oemar Bakri-Iwan Fals

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun