Mohon tunggu...
Lathiifa Wirasatya
Lathiifa Wirasatya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bagaimana Hukum Memandang Pengikutsertaan Pasien ODGJ dalam Percobaan Medis?

14 Desember 2020   23:54 Diperbarui: 15 Desember 2020   01:43 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Awal tahun 2020 ini seluruh dunia digemparkan dengan Pandemi Covid-19 yang terus menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia.  Para ahli dan ilmuwan dari berbagai negara berpacu dengan waktu untuk menemukan vaksin dan pengobatan yang tepat untuk melawan Virus Covid-19. Umumnya vaksin atau pengobatan terkait dengan virus dan penyakit-penyakit yang baru muncul dapat  memakan waktu hingga bertahun-tahun , namun untuk menemukan vaksin  Covid-19 ini hanya memakan waktu 1,5 tahun , karena semua prosesnya dilakukan dengan lebih cepat dan ditargetkan selesai dalam waktu dekat agar dapat segera digunakan.  

Indonesia sendiri saat ini tengah melangsungkan uji klinik fase 3  terhadap Vaksin Sinovac yang diproduksi oleh Sinovac Biotech asal Cina. Pengujian terhadap vaksin ini dilakukan oleh Tim Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran  melalui kerjasama PT.Biofarma dengan Sinovac Biotech Cina.  Pada bulan Juli yang lalu pemerintah telah membuka pendaftaran bagi masyarakat yang berminat untuk menjadi relawan uji klinis Vaksin Sinovac ini, sekitar 1620 relawan yang sehat dibutuhkan dalam pelaksanaan uji klinis terhadap Vaksin Sinovac.  . Vaksin – vaksin dan obat-obatan memang harus melewati tahap uji klinis agar mendapat ijin edar dari BPOM RI . Sebelum  akhirnya diedarkan ,  vaksin harus memenuhi persyaratan keamaanan , khasiat dan mutu sesuai standar yang telah ditetapkan.

Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum setiap calon vaksin dan obat-obatan yang diteliti akan diberikan kepada manusia , yaitu harus  dilakukannya  uji klinis untuk memastikan keamanan dan efektifitasnya . Prosesnya akan dimulai dari penelitian laboratorium dan diikuti dengan tahapan preklinis yaitu pengujian vaksin terhadap hewan. Jika hasil dari proses ini dinilai menjanjikan dan membawa harapan maka dilanjutkan dengan uji klinis menggunakan manusia sebagai subjek uji cobanya. Penelitian seperti ini membawa banyak sekali kemungkinan , baik itu kemungkinan yang baik maupun yang buruk , dan tiada suatu kepastian di dalamnya selama obat atau vaksin itu belum ditemukan .

Berangkat dari hal tersebut ,  tentunya dalam setiap percobaan dan penelitian  medis yang menyangkut manusia sebagai subjek uji cobanya memiliki  banyak sekali prosedur yang harus dilakukan, pelaksanaanya diwajibkan mengedepankan unsur hak asasi manusia dan tidak boleh adanya unsur paksaan serta harus adanya Persetujuan Sesudah Penjelasan atau Informed Consent dari subjek penelitian.  

Isu ini kemudian memunculkan pertanyaan , bagaimana jika  percobaan dan penelitian medis seperti ini mengikutsertakan Pasien Dengan Gangguan Jiwa ( ODGJ) sebagai subjek uji klinis dan percobaan medis lainnya  ? Mengingat Pasien ODGJ umumnya tak dapat mengutarakan apa yang sesungguhnya mereka inginkan, dan kita sebagai manusia biasa juga tak dapat memahami perasaan mereka seutuhnya , lalu bagaimanakah penelitian medis itu akan dilaksanakan? Bagaimanakah hukum memandang  percobaan dan penelitian medis yang mengikutsertakan Pasien ODGJ , terutama dari kacamata hukum di NKRI ini ?

Etik Penelitian Kesehatan

Bila kita menilik pada PP No .39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan , yang dimaksud dengan penelitian kesehatan adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan secara sistematik untuk menemukan informasi ilmiah dan/atau teknologi yang baru dan membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis sehingga dapat dirumuskan teori atau suatu proses gejala alam dan atau sosial di bidang kesehatan dan dilanjutkan dengan menguji penerapannya untuk tujuan praktis di bidang kesehatan.  
Dalam penelitian kesehatan yang di dalamnya melibatkan manusia sebagai subjek penelitiannya harus memiliki tujuan untuk menyempurnakan tata cara diagnosis, terapi , pencegahan serta pengetahuan mengenai etiologic dan pathogenesis suatu penyakit , sehingga dapat memberikan masukan ilmu yang dapat digunakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.(Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan 2007)

Berikut adalah prinsip etika umum yang harus digunakan dalam penelitian Kesehatan yang baik (Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan 2007):  

  1. Prinsip Menghormati harkat martabat manusia ,  
    Menghormati otonomi yang mempersyaratkan manusia yang mampu menalar pilihan pribadinya harus diperlakukan dengan menghormati kemampuannya untuk mengambil keputusan mandiri
    Melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang , meliputi manusia yang bergantung atau rentan harus diberikan perlindungan terhadap kerugian dan atau penyalahgunaan,  
  2. Prinsip Berbuat Baik  
    hal ini menyangkut kewajiban membantu orang lain dengan mengupayakan manfaat semaksimal mungkin dengan kerugian yang seminimal mungkin.
  3. Prinsip Keadilan  
    yang mana  setiap orang harus diperlakukan sama dalam memperoleh hak nya . Prinsip etik keadilan ini menyangkut keadilan distributive yang mempersyaratkan pembagian seimbang dalam hal beban dan manfaat. Yang dilakukan dengan memperhatikan distribusi usia dan gender , status ekonomi , budaya dan etnik . Perbedaan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah kerentanan yaitu kelompok yang tidak memiliki kemampuan untuk melindungi kepentingan sendiri.
    Singkatnya dalam PP No.39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan mengatur bahwa dalam melakukan penelitian kesehatan terutama yang berkaitan dengan manusia sebagai subjek / objek penelitiannya  harus dilaksankan dengan prinsip-prinsip yang baik , meskipun subjek atau objek manusia nya adalah manusia yang otonominya terganggu atau kurang , dalam hal ini termasuk juga Pasien ODGJ, sehingga mereka harus dilindungi dari kerugian dan penyalahgunaan yang berdampak buruk terutama bagi diri mereka.

Kaitannya dengan Informed Consent

Berkaitan dengan Informed Consent , sebelum dilakukannya tindakan medis apapun , termasuk penelitian medis , Dokter diwajibkan untuk memberikan penjelasan sejelas-jelasnya kepada pasien/subjek uji coba ( manusia )  atas tindakan apa yang akan dilakukan dan obat-obatan apa yang akan diberikan. Segala Tindakan medis dan pengobatan apapun baru dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Pasien / subjek uji coba dalam bentuk Informed Consent atau Persetujuan Setelah Penjelasan ( PSP).  

Kata Informed Consent sendiri  barasal dari Bahasa Latin yaitu Consentio/Consensio yang artinya persetujuan , izin , menyetujui  , memberi izin/wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu, dan “Informed” berarti informasi yang telah diberikan ( Bahasa Inggris ). (Guwandi, 301 Tanya -Jawab : Informed Consent & Informed Refusal , Edisi III 2003).
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008  dijelaskan bahwa Persetujuan Tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Dapat kita simpulkan bahwa Informed Consent adalah persetujuan atau izin yang diberikan oleh pasien ( dalam keadaan tertentu dapat diberikan oleh pihak keluarga yang berhak ) kepada dokter untuk  melakukan tindakan medis atas dirinya , setelah diberikannya informasi yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan tersebut yaitu (Samil 2001):

- Yang bertujuan untuk penelitian  ( pasien diminta untuk menjadi subjek penelitian).
- Yang bertujuan untuk terapi
- Yang bertujuan untuk diagnosis

Tujuan dari Informed Consent sendiri yaitu : (Guwandi, Tanya Jawab Informed Consent & Informed Refusal , Edisi III 2003)

1. Untuk melindungi pasien terhadap segala Tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien
2.Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negative misalnya terhadap risiko yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin untuk bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

Bagaimana dengan Pasien Gangguan Jiwa yang dinilai tidak mampu memberikan PSP atau Informed Consent terkait penelitian dan percobaaan yang menjadikannya subjek / objek percobaan medis ?

Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan No 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran mengatur bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut maka semua orang meiliki hak untuk dapat mengetahui secara jelas dan pasti apa yang akan dilakukan terhadap dirinya, obat-obatan apa yang akan diberikan kepadanya , hal ini berlaku pula untuk pasien gangguan jiwa.
Dalam UU No .18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa tepatnya pada Pasal 70 huruf d dan e , menyatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa berhak memberikan persetujuan medis atas dirinya dan ia juga berhak untuk mendapatkan informasi atas segala tindakan yang akan dan telah dilakukan terhadapnya.
Namun sayangnya , penilaian kecakapan dalam pengambilan keputusan oleh pasien dengan gangguan jiwa ini belum pernah diatur dan jarang dilakukan , sehingga umumnya pasien yang notabenenya memiliki gangguan jiwa langsung divonis tidak cakap dalam pengambilan keputusan.
Sehingga umumnya PSP atau Informed Consent atas Pasien dengan gangguan jiwa ini diwalikan kepada suami/istri , orang tua , anak , atau saudara sekandung yang paling sedikit berusia 17 tahun , wali atau pengampu atau pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dinyatakan dalam Pasal 21 ayat 3 UU Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.

Prof.H.J.J.Leenen , dalam bukunya “ Handboek Gezondheidsrecht” menggolongkan Pasien Dengan Gangguan Jiwa menjadi 2 golongan.
 - Pertama , merupakan orang degan sakit jiwa tapi dalam kondisi tertentu masih dapat diajak berkomunikasi dengan baik ( misalkan penderita Schizophrenia , saat mereka dalam kondisi prima dan tidak dalam masa kambuh dan dapat berkomunikasi dengan baik ) .
 - Kedua , yaitu orang dengan Gangguan Jiwa total yang sudah tidak dapat dilakukan komunikasi sama sekali , tidak dapat berpikir jernih , dan tidak mampu mengambil keputusan tidak bisa diberikan penjelasan dan dimintakan Informed Consent. 

Dalam hal ini , penderita gangguan jiwa yang dalam kondisi tertentu yang masih dapat diajak berkomunikasi dengan baik, diwajibkan untuk dapat diperjuangkan haknya terkait Informed Consent atau PSP nya. Pasien harus dijelaskan dengan sebaik mungkin terkait tindakan medis apa saja yang akan dilakukan kepadanya , dan jika ada pengobatan apa saja yang akan diinjeksikan dalam tubuhnya. Untuk itulah pemenuhan hak untuk memberikan Informed Consent dari pasien sangatlah penting meskipun dia adalah Pasien Dengan Gangguan Jiwa ( ODGJ ) .
Sedangkan pasien gangguan jiwa yang sepenuh nya sudah tidak dapat lagi diajak berkomunikasi , tidak dapat berpikir jernih dan tidak dapat mengambil keputusan atas dirinya sendiri , maka berkaitan dengan Persetujuan atau Informed Consent-nya , dapat diserahkan kepada anggota keluarga sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pasal 21 ayat 3 UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. 


Permasalahan ini bila dikaitkan dengan HAM
Menyangkut pembahasan kita terkait pasien gangguan jiwa yang dijadikan subjek uji coba atau penelitian medis lainnya  , penulis berpendapat bahwa hal ini dianggap tidak tepat . Jika memang terpaksa untuk dilakukan , diwajibkan untuk bisa memperhatikan HAM dari pasien tersebut. Dikarenakan , penelitian semacam ini bisa membawa banyak dampak tak terduga baik positif maupun negative bagi subjek uji coba. sehingga keselamatan subjek uji coba juga berisiko untuk terancam. 

Selain itu, pada umunya dalam tindakan medis , pasien sakit jiwa dianggap dibawah ampuan, tanpa dilakukan pengecekan kondisi kecakapan pasien sakit jiwa lebih lanjut ,kemudian Informed Consent langsung dimintakan kepada orang tua atau walinya bukan kepada dirinya sendiri , sehingga hasil akhirnya bukanlah pilihan dia sebagai orang yang akan melaksanakan tapi justru pilihan orang lain yang mewakilinya. Hal ini tentu sangat disayangkan , karena pasien sakit jiwa juga merupakan manusia yang memiliki Hak Asasi Manusia yang harus dijaga dan dihormati.
Pasien gangguan jiwa juga berhak untuk melakukan persetujuan secara bebas atas tindakan medis terhadap dirinya , mereka juga berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri , mereka berhak untuk setuju atau tidak setuju terhadap perlakuan yang ditujukan untuk mereka , mereka berhak untuk mendapatkan perlindungan, berhak atas kebebasan dan keamanan , mereka juga berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakukan kejam dan tidak mausiawi.
Terdapat banyak sekali pengaturan-pengaturan hukum yang menjamin perlindungan HAM bagi setiap umat manusia termasuk pula di dalamnya Pasien ODGJ tanpa terkcuali, karena HAM dari Pasien ODGJ juga harus diutamakan mengingat kedudukannya sama rata dengan manusia dengan keadaan mental yang sehat.
Undang-Undang Dasar 1945 dalam beberapa pasal-pasalnya mengatur terkait HAM yang dapat dikaitkan dengan pembahasan kita kali ini , diantaranya
a. Pasal 28 A
     “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”
b. Pasal 28 B ayat 2
     “Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup , tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “
c. Pasal 28 I ayat 1
    “Hak untuk hidup , hak untuk tidak disiksa , hak kemerdekaan pikiran dan hati Nurani , hak beragama , hak untuk tidak diperbudak , hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum , dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
d. Pasal 28 J
    (1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara “
    (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya , setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta perngormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral , nilai agama , keamanan , dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Selain pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut , pengaturan mengenai HAM yang berkaitan dengan pembahasan kali ini dapat ditemukan pula dalam Pasal 7 ICCPR (Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menjelaskan bahwa “ Tidak seorangpun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji , tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Tidak seorangpun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas”.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut , dapat kita sadari bahwa segala macam tindakan medis tanpa adanya persetujuan dari manusia sebagai subjek uji cobanya merupakan bentuk pencabutan atas hak asasi manusia. Perlu kita ingat dengan baik bahwa Pasien ODGJ adalah manusia yang juga memiliki HAM yang harus dijaga , sehingga semua hal yang dilakukan kepada Pasien ODGJ harus mengedepankan dan memperhatikan perlindungan HAM terhadap Pasien ODGJ.

Bagi pasien sakit jiwa yang dalam kondisi tertentu ( saat tidak kambuh ) yang masih bisa diajak berkomunikasi dengan baik dan bisa menentukan keputusannya sendiri seperti yng dijelaskan sebelumnya , maka diwajibkan untuk mendapat penjelasan sejelas-jelasnya dari pihak peneliti terkait mekanisme penelitian dan percobaan termasuk risiko dan dampak yang mungkin terjadi . Hal itu dikarenakan mereka memang punya hak untuk menentukan apakah mereka setuju atau tidak atas tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya sesuai pula dengan penjelasan Pasal 70 huruf d dan e UU No .18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.

Sedangkan bagi pasien gangguan jiwa total yang tidak bisa lagi berkomunikasi dan tidak mengerti terhadap penjelasan terkait tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya , penulis berpendapat meskipun dalam keadaan seperti ini Informed Consent untuk penelitian dan percobaan terlebih lagi yang tidak bersangkutan dengan kondisi tubuhnya meskipun bisa dimintakan kepada walinya namun hal ini dirasa melanggar HAM. Karena pasien tidak mengerti apa yang akan dilakukan pada dirinya , dan untuk tujuan apa penelitian itu dilakukan. Mungkin saja keluarganya setuju tapi bagiamana dengan pasien tersebut selaku pemilik tubuhnya sendiri?


Permasalahan ini bila dikaitkan dengan Aspek Keperdataan

Informed Consent juga merupakan suatu bentuk hubungan perikatan antara pasien dengan peneliti dan tenaga medis. Syarat sah untuk terjadinya perjanjian sendiri diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata . Dalam kasus pasien gangguan jiwa total yang tak lagi mengerti apa-apa , maka unsur perjanjian berupa “ sepakat” dan “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” tidak terlaksana. Sehingga bentuk perjanjian yang tercipta pun tidak sah karena tidak ada kesepakatan dari pasien gangguan jiwa untuk mengikatkan dirinya pada penelitian tersebut dan tidak adanya kecakapan dari pasien gangguan jiwa untuk bisa membuat suatu perikatan perjanjian berupa Informed Consent .

Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang Mengikutsertakan Pasien Gangguan Jiwa

Lebih lanjut apabila memang sangat dibutuhkan penelitian dengan Pasien Sakit Jiwa sebagai subjek penelitiannya maka pelaksanaannya mengikuti pedoman dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 103 /Menkes/SK/VII/2005 tanggal 7 Juli 2005 mengenai Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan.
Dalam Butir pedoman 9 , dijelaskan jika terdapat pembenaran etik dan ilmiah untuk melaksanakan penelitian dengan mengikutsertakan manusia yang tidak mampu memberikan PSP , maka risiko tindak penelitian yang tidak memberi manfaat langsung kepada subjek tidak boleh lebih besar dari risiko pemeriksaan rutin medik atau psikologik.
Dalam Butir Pedoman 15 , dijelaskan bahwa sebelum memulai penelitian dengan mengikutsertakan manusia karena gangguan jiwa atau perilaku tidak dapat memberikan PSP yang memadai , peneliti harus menjamin bahwa:
     a. Penelitian tidak bisa dilakukan sama baik pada manusia yang kemampuan untuk memberi PSP tidak terganggu/tanpa gangguan jiwa

     b. Tujuan penelitian untuk memperoleh pengetahuan sesuai kebutuhan Kesehatan khas manusia dengan gangguan jiwa atau perilaku
     c. Pada kasus dimana calon subjek penelitian tidak mampu memberikan PSP , persetujuan diperoleh dari anggota keluarga yang bertanggung jawab  atau wakil yang diberi kekuasaan menurut hukum yang berlaku.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas , dapat kita ambil kesimpulan bahwa pengikutsertaan pasien gangguan jiwa sebagai subjek  penelitian dan percobaan medis tidak dianjurkan . Tapi jika memang harus dilakukan , penelitian ditujukan untuk memperoleh pengetahuan sesuai kebutuhan kesehatan khas manusia dengan gangguan jiwa atau perilaku , selain itu dokter atau peneliti diharapkan melakukan tes kecakapan dengan baik terhadap pasien untuk menentukan apakah pasien tersebut bisa memberikan Informed Consent atau tidak, dan memperjuangkan hak pasien tersebut , serta dalam pelaksanaanya diwajibkan memperhatikan pemenuhan hak-hak asasi manusia dari pasien gangguan jiwa dan menyesuaikan Pedoman Nasional Etik Penelitian yang Mengikutsertakan Pasien Gangguan Jiwa sehingga perlindungan hak-hak pasien harus tetap diutamakan .
Hak Asasi Manusia sendiri menempatkan tiap-tiap individua tau orang per orang atau warga negara sebagai pemangku hak , sedangkan negara sebagai pemangku kewajiban untuk menghormati , melindungi , dan memenuhi HAM bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali , termasuk pasien ODGJ sekalipun, sehingga dalam hal ini peran pemerintah sangat diharapkan untuk dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan sebaik mungkin sebagai pemangku kewajiban.

Harus ditekankan bahwa Pasien Gangguan Jiwa juga merupakan manusia yang butuh perlindungan dan pemenuhan HAM, bukan berarti mereka yang terganggu kesehatan jiwanya lantas menjadi manusia yang tidak diperhitungkan pemenuhan hak nya , mereka adalah manusia dan mereka penting , kehadiran mereka dan hak-hak mereka penting untuk diperjuangkan , karena mereka juga makhluk ciptaan Tuhan. Sehingga penelitian apapun dan tindakan apapun yang akan dilakukan terhadap pasien gangguan jiwa harus mengedepankan pemenuhan Hak Asasi Manusia.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun