Mohon tunggu...
Lathiifa Wirasatya
Lathiifa Wirasatya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bagaimana Hukum Memandang Pengikutsertaan Pasien ODGJ dalam Percobaan Medis?

14 Desember 2020   23:54 Diperbarui: 15 Desember 2020   01:43 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

- Yang bertujuan untuk penelitian  ( pasien diminta untuk menjadi subjek penelitian).
- Yang bertujuan untuk terapi
- Yang bertujuan untuk diagnosis

Tujuan dari Informed Consent sendiri yaitu : (Guwandi, Tanya Jawab Informed Consent & Informed Refusal , Edisi III 2003)

1. Untuk melindungi pasien terhadap segala Tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien
2.Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negative misalnya terhadap risiko yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin untuk bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

Bagaimana dengan Pasien Gangguan Jiwa yang dinilai tidak mampu memberikan PSP atau Informed Consent terkait penelitian dan percobaaan yang menjadikannya subjek / objek percobaan medis ?

Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan No 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran mengatur bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut maka semua orang meiliki hak untuk dapat mengetahui secara jelas dan pasti apa yang akan dilakukan terhadap dirinya, obat-obatan apa yang akan diberikan kepadanya , hal ini berlaku pula untuk pasien gangguan jiwa.
Dalam UU No .18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa tepatnya pada Pasal 70 huruf d dan e , menyatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa berhak memberikan persetujuan medis atas dirinya dan ia juga berhak untuk mendapatkan informasi atas segala tindakan yang akan dan telah dilakukan terhadapnya.
Namun sayangnya , penilaian kecakapan dalam pengambilan keputusan oleh pasien dengan gangguan jiwa ini belum pernah diatur dan jarang dilakukan , sehingga umumnya pasien yang notabenenya memiliki gangguan jiwa langsung divonis tidak cakap dalam pengambilan keputusan.
Sehingga umumnya PSP atau Informed Consent atas Pasien dengan gangguan jiwa ini diwalikan kepada suami/istri , orang tua , anak , atau saudara sekandung yang paling sedikit berusia 17 tahun , wali atau pengampu atau pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dinyatakan dalam Pasal 21 ayat 3 UU Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.

Prof.H.J.J.Leenen , dalam bukunya “ Handboek Gezondheidsrecht” menggolongkan Pasien Dengan Gangguan Jiwa menjadi 2 golongan.
 - Pertama , merupakan orang degan sakit jiwa tapi dalam kondisi tertentu masih dapat diajak berkomunikasi dengan baik ( misalkan penderita Schizophrenia , saat mereka dalam kondisi prima dan tidak dalam masa kambuh dan dapat berkomunikasi dengan baik ) .
 - Kedua , yaitu orang dengan Gangguan Jiwa total yang sudah tidak dapat dilakukan komunikasi sama sekali , tidak dapat berpikir jernih , dan tidak mampu mengambil keputusan tidak bisa diberikan penjelasan dan dimintakan Informed Consent. 

Dalam hal ini , penderita gangguan jiwa yang dalam kondisi tertentu yang masih dapat diajak berkomunikasi dengan baik, diwajibkan untuk dapat diperjuangkan haknya terkait Informed Consent atau PSP nya. Pasien harus dijelaskan dengan sebaik mungkin terkait tindakan medis apa saja yang akan dilakukan kepadanya , dan jika ada pengobatan apa saja yang akan diinjeksikan dalam tubuhnya. Untuk itulah pemenuhan hak untuk memberikan Informed Consent dari pasien sangatlah penting meskipun dia adalah Pasien Dengan Gangguan Jiwa ( ODGJ ) .
Sedangkan pasien gangguan jiwa yang sepenuh nya sudah tidak dapat lagi diajak berkomunikasi , tidak dapat berpikir jernih dan tidak dapat mengambil keputusan atas dirinya sendiri , maka berkaitan dengan Persetujuan atau Informed Consent-nya , dapat diserahkan kepada anggota keluarga sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pasal 21 ayat 3 UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. 


Permasalahan ini bila dikaitkan dengan HAM
Menyangkut pembahasan kita terkait pasien gangguan jiwa yang dijadikan subjek uji coba atau penelitian medis lainnya  , penulis berpendapat bahwa hal ini dianggap tidak tepat . Jika memang terpaksa untuk dilakukan , diwajibkan untuk bisa memperhatikan HAM dari pasien tersebut. Dikarenakan , penelitian semacam ini bisa membawa banyak dampak tak terduga baik positif maupun negative bagi subjek uji coba. sehingga keselamatan subjek uji coba juga berisiko untuk terancam. 

Selain itu, pada umunya dalam tindakan medis , pasien sakit jiwa dianggap dibawah ampuan, tanpa dilakukan pengecekan kondisi kecakapan pasien sakit jiwa lebih lanjut ,kemudian Informed Consent langsung dimintakan kepada orang tua atau walinya bukan kepada dirinya sendiri , sehingga hasil akhirnya bukanlah pilihan dia sebagai orang yang akan melaksanakan tapi justru pilihan orang lain yang mewakilinya. Hal ini tentu sangat disayangkan , karena pasien sakit jiwa juga merupakan manusia yang memiliki Hak Asasi Manusia yang harus dijaga dan dihormati.
Pasien gangguan jiwa juga berhak untuk melakukan persetujuan secara bebas atas tindakan medis terhadap dirinya , mereka juga berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri , mereka berhak untuk setuju atau tidak setuju terhadap perlakuan yang ditujukan untuk mereka , mereka berhak untuk mendapatkan perlindungan, berhak atas kebebasan dan keamanan , mereka juga berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakukan kejam dan tidak mausiawi.
Terdapat banyak sekali pengaturan-pengaturan hukum yang menjamin perlindungan HAM bagi setiap umat manusia termasuk pula di dalamnya Pasien ODGJ tanpa terkcuali, karena HAM dari Pasien ODGJ juga harus diutamakan mengingat kedudukannya sama rata dengan manusia dengan keadaan mental yang sehat.
Undang-Undang Dasar 1945 dalam beberapa pasal-pasalnya mengatur terkait HAM yang dapat dikaitkan dengan pembahasan kita kali ini , diantaranya
a. Pasal 28 A
     “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”
b. Pasal 28 B ayat 2
     “Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup , tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “
c. Pasal 28 I ayat 1
    “Hak untuk hidup , hak untuk tidak disiksa , hak kemerdekaan pikiran dan hati Nurani , hak beragama , hak untuk tidak diperbudak , hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum , dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
d. Pasal 28 J
    (1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara “
    (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya , setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta perngormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral , nilai agama , keamanan , dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Selain pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut , pengaturan mengenai HAM yang berkaitan dengan pembahasan kali ini dapat ditemukan pula dalam Pasal 7 ICCPR (Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menjelaskan bahwa “ Tidak seorangpun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji , tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Tidak seorangpun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas”.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut , dapat kita sadari bahwa segala macam tindakan medis tanpa adanya persetujuan dari manusia sebagai subjek uji cobanya merupakan bentuk pencabutan atas hak asasi manusia. Perlu kita ingat dengan baik bahwa Pasien ODGJ adalah manusia yang juga memiliki HAM yang harus dijaga , sehingga semua hal yang dilakukan kepada Pasien ODGJ harus mengedepankan dan memperhatikan perlindungan HAM terhadap Pasien ODGJ.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun