Menepi sejenak di sebuah angkringan, di kawasan Malioboro. Sebuah lagu terdengar. Bibirku pelan mengiringi lagu "Pupus" Dewa 19 itu.
"Kapan terakhir pulang?" tanyaku. Kopi hitam ala angkringan diseruputnya pelan-pelan.
"Hari Raya kemarin." Dia nyalakan sebatang rokok. "Maaf. Ngerokok dulu," ucapnya.Â
"Kuliah lancar?" Aku kembali bertanya dengan rasa penasaran.
"Lancar. Ngamen nih pas nggak kuliah. Ngisi waktu aja, Kak," jelasnya.
Sabtu Minggu Jogja dipenuhi bus dan mobil plat luar kota. Malioboro, pusat wisata Jogja yang selalu diriuhi wisatawan lokal dan asing. Terkadang heran, kok bisa mereka betah berlama-lama di Malioboro? Kadang sekadar duduk. Kadang sibuk menawar harga di deretan penjual oleh-oleh. Kadang menikmati kuliner. Tidak perlu heran juga, sih. Aku pun betah berlama-lama di sini.
Segelas kopi dan tiga gorengan seperti sesaji. Sebenarnya tidak lapar. Hmmm..., rasanya ada yang kurang kalau tidak mampir dan ngopi di angkringan.
Di angkringan ini pula, aku memulai obrolan dengan si pengamen, pemuda 20-an tahun. Berawal dari ketidaksengajaan mendengar perbincangan berbahasa Banjar dengan temannya. Samarinda, dia menyebutkan kota asalnya.
"Kakak kuliah juga?" Dia bertanya.
"Kerja."
"Wah, jarang-jarang orang Banjar kerja di Jogja, Kak," katanya.