Mohon tunggu...
lathifa hanun
lathifa hanun Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya adalah mahasiswa Universitas Imam Bonjol Padang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Kritis tentang Akal dan Iman dalam Filsafat Islam

25 Juni 2024   20:54 Diperbarui: 25 Juni 2024   20:58 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstrak

Artikel ini mengkaji hubungan antara akal dan iman dalam filsafat Islam, dengan fokus pada bagaimana kedua konsep ini berinteraksi dan saling melengkapi dalam pandangan para filsuf Muslim. Melalui telaah terhadap karya-karya filosofis utama dalam tradisi Islam, artikel ini mengidentifikasi peran sentral akal sebagai instrumen untuk memahami wahyu dan mengembangkan pengetahuan religius yang mendalam. Selain itu, artikel ini menelusuri bagaimana iman memberikan landasan moral dan spiritual yang memperkuat penggunaan akal dalam pencarian kebenaran. Diskusi ini mencakup analisis pemikiran tokoh-tokoh seperti Al-Farabi dan Al-Ghazali, yang menawarkan perspektif beragam mengenai keseimbangan antara rasionalitas dan kepercayaan. Dengan demikian, artikel ini menyoroti pentingnya integrasi akal dan iman dalam mencapai pemahaman holistik tentang realitas dalam filsafat Islam.

Kata kunci : Akal, Filsafat Islam, Iman.

PENDAHULUAN

Dalam filsafat Islam, akal dan iman adalah dua komponen penting yang saling melengkapi satu sama lain dalam memahami kebenaran dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan aturan dan syariat Islam.  Akal dan iman ini seringkali dijadikan objek pembahasan oleh para filsuf Muslim. Akal, sebagai anugerah dari Allah yang digunakan sebagai alat merenung dan berpikir untuk memahami hukum dan syariat. Iman, yaitu keyakinan yang teguh terhadap ajaran Islam yang berlandaskan wahyu Ilahi. Keduanya ini bukanlah entitas yang bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam mencapai suatu pemahaman. Artikel ini akan mengeksplorasi hubungan antara akal dan iman dalam pandangan filsafat Islam, serta bagaimana kedua komponen ini bekerjasama untuk membatu individu mencapai keseimbangan rasionalitas dan spiritualitas.

METODE PENELITIAN

            Metode ini menggunakan metode kajian pustaka (library research), yaitu metode penelitian yang memanfaatkan sumber-sumber literatur yang relevan dan kredibel dalam mengkaji topik tentang akal dan iman dalam filsafat Islam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Akal 

            Akal dipakai untuk memahami berbagai objek yang ril maupun abstrak, dan yang bersifat empiris sensual sampai empiris transendental. Akal digunakan untuk memikirkan hal-hal yang kongkrit seperti sejarah manusia, hukum-hukum alam (sunnatullah). Juga digunakan untuk memikirkan hal yang abstrak seperti kehidupan di akhirat, proses menghidupkan orang yang sudah mati, kebenaran ibadah, wahyu, dan lain-lain.[1]

Dalam pandangan Islam, akal adalah kemampuan berpikir dan memahami yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Akal merupakan salah satu ciri khas yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karakteristik akal menurut Islam adalah adanya keterkaitan antara akal dengan hati nurani. Islam mengajarkan bahwa akal yang baik adalah akal yang dipadukan dengan hati yang bersih dan nurani yang terjaga.

 Pemikiran rasional merupakan aspek penting dari filsafat Islam, sebagaimana tercermin dalam karya-karya filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes). Mereka meyakini bahwa akal merupakan alat yang vital untuk mengeksplorasi dan memahami hukum-hukum alam serta wahyu Ilahi.

 1. Al-Kindi: Dikenal sebagai "Filsuf Arab pertama", Al-Kindi menekankan pentingnya akal dalam memahami wahyu dan menyelaraskannya dengan ilmu pengetahuan. Menurutnya, tidak ada pertentangan antara akal dan iman karena keduanya berasal dari Tuhan.

2. Al-Farabi: Ia berargumen bahwa filsafat dan agama pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai kebenaran. Al-Farabi mengembangkan konsep "Kota Utama", di mana pemimpin ideal adalah seorang filsuf yang memahami hukum Tuhan dan mampu menerapkannya dalam masyarakat.

 

Iman 

 Iman, atau keyakinan, adalah aspek fundamental dalam kehidupan seorang Muslim. Iman merujuk pada keyakinan terhadap Tuhan, wahyu-Nya, dan hari akhir. Iman tidak sekedar teori yang terekam pikiran atau pengetahuan konseptual tentang pilar pilar keimanan, tapi juga ilmu yang dalam yang pasti menggerakkan amal.[2] Dalam filsafat Islam, iman tidak hanya dipahami sebagai keyakinan buta, melainkan juga sebagai bentuk pengetahuan yang mendalam dan personal yang melampaui pembuktian rasional.

 

1. Al-Ghazali: Sebagai salah satu teolog dan filsuf terbesar dalam Islam, Al-Ghazali mengkritik para filsuf yang terlalu mengandalkan akal. Dalam karyanya, "Tahafut al-Falasifah" (Kekacauan Para Filsuf), ia menekankan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dan tidak dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan tanpa bantuan wahyu. Iman, menurutnya, adalah sumber pengetahuan yang lebih tinggi.

 2. Ibn Taymiyyah: Seorang teolog dan filsuf yang menekankan pentingnya wahyu dan sunnah Nabi Muhammad sebagai sumber utama pengetahuan. Ia berpendapat bahwa akal harus tunduk pada wahyu, karena akal manusia rentan terhadap kesalahan dan keterbatasan. Meski begitu keduanya tidak bertentangan. Pendapat akal yang lurus akan selalu sesuai dengan wahyu yang benar. Akal bukanlah dasar untuk menentukan kebenaran wahyu karena wahyu telah pasti benar dengan sendirinya, baik wahyu itu diketahui oleh akal atau tidak. Dan wahyu tidak membutuhkan pembenaran akal.[3]

[1] Maria Ulfah, "Akal Dan Wahyu Dalam Islam", (Semarang: IAIN Walisongo, 2009, Hal.24

[2] Nano Warno, "Konsep Iman dalam Filsafat Iluminasi (Isyraq) Islam", Jurnal Ilmu Keislaman dan Sosial, Vol.3 No.1 (April 2020), Hal.11

[3] Mukhtasar Syamsuddin, "Hubungan Wahyu Dan Akal Dalam Tradisi Filsafat Islam", Jurnal Filsafat

Akal dan iman

Salah satu ciri khas filsafat Islam adalah upaya untuk mencari harmoni antara akal dan iman. Para filsuf  Muslim umumnya setuju bahwa keduanya tidak perlu bertentangan, tetapi bisa saling melengkapi. Mereka menegaskan bahwa wahyu Ilahi memberikan pengetahuan yang tidak dapat dicapai oleh akal semata, sementara akal membantu manusia untuk memahami dan menginterpretasikan wahyu dengan lebih baik.

 

Dalam Islam, akal dan iman saling berkaitan erat. Akal digunakan untuk memahami dan memperkuat iman seseorang. Dengan akal yang sehat, seseorang dapat memahami kebenaran agama dan keyakinan yang diyakini. Akal juga membantu manusia untuk menghadapi keraguan dan tantangan dalam menjalankan agama.

 Namun, dalam Islam juga diakui bahwa akal memiliki keterbatasan. Ada hal-hal yang tidak dapat dimengerti atau dipahami sepenuhnya oleh akal manusia. Dalam hal ini, iman menjadi faktor penting dalam menerima dan mengakui kebenaran yang tidak bisa dimengerti oleh akal.

 

Sepintar-pintarnya manusia dan setinggi apapun kecerdasan akal manusia, maka pasti tidak akan bisa berjalan dengan lurus tanpa bimbingan wahyu, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah. Setelah kita mengetahui bahwa akal membutuhkan dalil, maka kita juga bisa memahami bahwa akal yang sehat tidak akan pernah bertentangan atau bertolak belakang dengan dalil syar'i baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah. Karena semuanya berasal dari Allah Ta'ala. Akal yang sehat adalah ciptaan Allah Ta'ala dan dalil syar'i merupakan Firman Allah Ta'ala. Maka mustahil segala sesuatu yang sama-sama bersumber dari Allah Ta'ala saling bertentangan.

 

Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syar'i dengan metode yang benar namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan dengan akal, fikiran, maupun tidak sesuai dengan perasaan kita. Maka wajib bagi kita untuk mengedepankan dalil syar'i daripada akal dan perasaan kita. Oleh karena itu, shahabat Nabi yang mulia 'Ali Bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu menjelaskan bahwa dalil syar'i wajib didahulukan daripada akal dan perasaan kita.

 

KESIMPULAN 

 Pemikiran kritis tentang akal dan iman dalam filsafat Islam memiliki implikasi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, teologi, dan etika dalam dunia Muslim. Dengan menekankan pentingnya harmonisasi antara akal dan iman, para filsuf Islam telah menciptakan landasan intelektual yang memungkinkan kemajuan dalam berbagai bidang, termasuk sains, filsafat, dan studi agama.

 

Secara kritis, pandangan ini juga menantang dualisme Barat yang sering memisahkan antara rasio dan iman, sains dan agama. Filsafat Islam menawarkan model integratif di mana pengetahuan rasional dan spiritual saling melengkapi dan memperkaya.

 

Kesimpulannya, pemikiran kritis tentang akal dan iman dalam filsafat Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan dan harmonisasi antara kedua aspek ini dalam mencapai pemahaman yang utuh tentang kehidupan dan kebenaran. Ini adalah warisan intelektual yang tidak hanya relevan bagi dunia Muslim tetapi juga memberikan kontribusi berharga bagi diskusi global tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama.

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun