[2] Nano Warno, "Konsep Iman dalam Filsafat Iluminasi (Isyraq) Islam", Jurnal Ilmu Keislaman dan Sosial, Vol.3 No.1 (April 2020), Hal.11
[3] Mukhtasar Syamsuddin, "Hubungan Wahyu Dan Akal Dalam Tradisi Filsafat Islam", Jurnal Filsafat
Akal dan iman
Salah satu ciri khas filsafat Islam adalah upaya untuk mencari harmoni antara akal dan iman. Para filsuf  Muslim umumnya setuju bahwa keduanya tidak perlu bertentangan, tetapi bisa saling melengkapi. Mereka menegaskan bahwa wahyu Ilahi memberikan pengetahuan yang tidak dapat dicapai oleh akal semata, sementara akal membantu manusia untuk memahami dan menginterpretasikan wahyu dengan lebih baik.
Â
Dalam Islam, akal dan iman saling berkaitan erat. Akal digunakan untuk memahami dan memperkuat iman seseorang. Dengan akal yang sehat, seseorang dapat memahami kebenaran agama dan keyakinan yang diyakini. Akal juga membantu manusia untuk menghadapi keraguan dan tantangan dalam menjalankan agama.
 Namun, dalam Islam juga diakui bahwa akal memiliki keterbatasan. Ada hal-hal yang tidak dapat dimengerti atau dipahami sepenuhnya oleh akal manusia. Dalam hal ini, iman menjadi faktor penting dalam menerima dan mengakui kebenaran yang tidak bisa dimengerti oleh akal.
Â
Sepintar-pintarnya manusia dan setinggi apapun kecerdasan akal manusia, maka pasti tidak akan bisa berjalan dengan lurus tanpa bimbingan wahyu, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah. Setelah kita mengetahui bahwa akal membutuhkan dalil, maka kita juga bisa memahami bahwa akal yang sehat tidak akan pernah bertentangan atau bertolak belakang dengan dalil syar'i baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah. Karena semuanya berasal dari Allah Ta'ala. Akal yang sehat adalah ciptaan Allah Ta'ala dan dalil syar'i merupakan Firman Allah Ta'ala. Maka mustahil segala sesuatu yang sama-sama bersumber dari Allah Ta'ala saling bertentangan.
Â
Jika kita sudah berusaha untuk memahami dalil syar'i dengan metode yang benar namun masih tampak bagi kita seolah-olah dalil tersebut bertentangan dengan akal, fikiran, maupun tidak sesuai dengan perasaan kita. Maka wajib bagi kita untuk mengedepankan dalil syar'i daripada akal dan perasaan kita. Oleh karena itu, shahabat Nabi yang mulia 'Ali Bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu menjelaskan bahwa dalil syar'i wajib didahulukan daripada akal dan perasaan kita.