Dalam pandangan Islam, akal adalah kemampuan berpikir dan memahami yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Akal merupakan salah satu ciri khas yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karakteristik akal menurut Islam adalah adanya keterkaitan antara akal dengan hati nurani. Islam mengajarkan bahwa akal yang baik adalah akal yang dipadukan dengan hati yang bersih dan nurani yang terjaga.
 Pemikiran rasional merupakan aspek penting dari filsafat Islam, sebagaimana tercermin dalam karya-karya filsuf seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes). Mereka meyakini bahwa akal merupakan alat yang vital untuk mengeksplorasi dan memahami hukum-hukum alam serta wahyu Ilahi.
 1. Al-Kindi: Dikenal sebagai "Filsuf Arab pertama", Al-Kindi menekankan pentingnya akal dalam memahami wahyu dan menyelaraskannya dengan ilmu pengetahuan. Menurutnya, tidak ada pertentangan antara akal dan iman karena keduanya berasal dari Tuhan.
2. Al-Farabi: Ia berargumen bahwa filsafat dan agama pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai kebenaran. Al-Farabi mengembangkan konsep "Kota Utama", di mana pemimpin ideal adalah seorang filsuf yang memahami hukum Tuhan dan mampu menerapkannya dalam masyarakat.
Â
ImanÂ
 Iman, atau keyakinan, adalah aspek fundamental dalam kehidupan seorang Muslim. Iman merujuk pada keyakinan terhadap Tuhan, wahyu-Nya, dan hari akhir. Iman tidak sekedar teori yang terekam pikiran atau pengetahuan konseptual tentang pilar pilar keimanan, tapi juga ilmu yang dalam yang pasti menggerakkan amal.[2] Dalam filsafat Islam, iman tidak hanya dipahami sebagai keyakinan buta, melainkan juga sebagai bentuk pengetahuan yang mendalam dan personal yang melampaui pembuktian rasional.
Â
1. Al-Ghazali: Sebagai salah satu teolog dan filsuf terbesar dalam Islam, Al-Ghazali mengkritik para filsuf yang terlalu mengandalkan akal. Dalam karyanya, "Tahafut al-Falasifah" (Kekacauan Para Filsuf), ia menekankan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dan tidak dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan tanpa bantuan wahyu. Iman, menurutnya, adalah sumber pengetahuan yang lebih tinggi.
 2. Ibn Taymiyyah: Seorang teolog dan filsuf yang menekankan pentingnya wahyu dan sunnah Nabi Muhammad sebagai sumber utama pengetahuan. Ia berpendapat bahwa akal harus tunduk pada wahyu, karena akal manusia rentan terhadap kesalahan dan keterbatasan. Meski begitu keduanya tidak bertentangan. Pendapat akal yang lurus akan selalu sesuai dengan wahyu yang benar. Akal bukanlah dasar untuk menentukan kebenaran wahyu karena wahyu telah pasti benar dengan sendirinya, baik wahyu itu diketahui oleh akal atau tidak. Dan wahyu tidak membutuhkan pembenaran akal.[3]
[1] Maria Ulfah, "Akal Dan Wahyu Dalam Islam", (Semarang: IAIN Walisongo, 2009, Hal.24