Aspek budaya dalam Tari Gambang Semarang, terlihat dari kostum dan musik pengiringnya. Kostum penari dalam tari Semarangan dipengaruhi dari dua lintas budaya, yakni Tionghoa dan Arab.
Kebaya encim, yang pada waktu itu sering dipakai oleh masyarakat Arab kemudian dipadukan dengan warna-warna ngejreng khas Cina dengan dominasi warna merah. Pengaruh kebudayaan Tionghoa dalam Tari Semarangan juga bisa diketahui lewat musik yang mengiringinya. Musik pengiring Tari Semarangan menggunakan kongahyan, sejenis alat musik musik gesek yang menyerupai rebab kalau di Jawa.
Itulah sebabnya Tari Semarangan harus dilestarikan. Mengapa? Selain filosofinya yang menarik untuk diketahui, jiwa penerus karya leluhur harus dipertahankan. Jangan sampai luntur termakan zaman. Apalagi Tari Semarangan merupakan identitas Kota Semarang.
Baca juga: Tari Merak, Tarian Daerah yang Membumi
Ketika seseorang membicarakan kota ini, maka nama Tari Gambang Semarang pasti akan disebutkan. Jika tidak dilestarikan, bukankah tentunya turis akan bertanya-tanya “mana yang disebut Tari Semarangan kebanggaan kota ini?” Betapa uniknya arti dari Tari Gambang Semarang ini. Di era generasi Z seperti sekarang, jarang sekali tari tradisional ini ditampilkan.
Menurut survei saya terhadap orang Semarang tulen alias asli, bahkan ada yang selama 13 tahun terakhir belum pernah melihat mana yang disebut Tari Semarangan. Dari 8 orang yang menjawab pertanyaan saya tentang level gerakan tari Gambang Semarang, hanya 3 responden yang mengatakan tari ini mudah.
Tentu perlu sosialisasi dan pembelajaran tentang pelestarian Tari Gambang Semarang agar semakin banyak peminatnya. Apalagi di era pandemi ini menurut saya dan jawaban para responden, sama sekali belum pernah ada pementasan Tari Gambang Semarang.
Berikut beberapa upaya yang menurut saya dapat dilakukan agar Tari Gambang Semarang bisa abadi:
1. Pemerintah Kota Semarang mengadakan ekstrakulikuler tari meski secara online
Pandemi COVID-19 telah membuat kegiatan sekolah offline diliburkan dan belum tau sampai kapan. Semua kegiatan ekstrakulikuler juga ditiadakan. Padahal, dari kegiatan ekstrakulikulerlah yang membuat bakat para siswa terlatih terutama bakat menjadi penari. Peminat ekstrakulikuler tari tidak hanya satu dua.
Namun apa daya kini ekstrakurikuler tidak diadakan karena dihalang pandemi. Saran saya, ekstrakulikuler tetap diadakan agar budaya dan semangat tunas bangsa tidak luntur dan berhenti akibat pandemi. Bagaimana jika selama dirumahkan mereka lupa dengan gerakan-gerakan tari?