Memiliki ilmu yang bermanfaat dan anak yang soleh merupakan harapan semua orang. Namun hingga sekarang masih banyak kita jumpai persepsi yang salah mengenai hal ini.
Dalam sebuah Hadits populer dan banyak dihafal yang diriwayatkam oleh Imam Muslim disebutkan, yang artinya " Apabila anak adam (manusia) telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya darinya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya." (HR Muslim No. 1631).
Bagi sebagian orang menganggap bahwa orang yang memiliki ilmu bermanfaat adalah orang yang bisa berceramah Agama, bisa menjadi imam shalat, bisa memimpin majlis ta'lim, dan sebagainya.
Begitupun dengan orang soleh adalah orang yang bisa mengaji dengan fasih, bisa membaca kitab kuning, dan rajin shalatnya. Persepsi semacam ini masih banyak ditengah masyarakat.
Pemikiran dan pemahaman seperti diatas merupakan pemahaman yang sempit dan dangkal. Persepsi yang dapat berdampak pada klaim bahwa orang yang tidak belajar Agama berarti orang yang tidak memiliki ilmu bermanfaat. Orang yang tidak rajin ke masjid adalah orang yang tidak sholeh.
Ilmu bermanfaat adalah ilmu yang memiliki manfaat bagi diri sendiri dan orang lain dalam meningkatkan kualitas kehidupan di dunia. Ini tidak hanya ilmu Agama tetapi ilmu apa saja, Misalnya ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, dan lain sebagainya.
Begitupun dengan orang soleh adalah orang yang bisa memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain, meskipun orang tersebut tampak tidak religius. Orang soleh bukan berarti seorang penceramah Agama, seorang Guru Agama, seorang yang pandai mengaji dan seterusnya.
Siapapun orangnya jika ia menjadi pribadi yang memberi manfaat bagi kehidupan orang lain maka orang tersebut adalah orang soleh. Apapun jenis ilmunya jika mendatangkan manfaat bagi orang lain, merubah kepribadian menjadi lebih baik, adalah ilmu bermanfaat.
Misalnya, ada seorang tukang cukur rambut yang sukses memiliki kios cukup laris sehingga dirinya kewalahan melayani pelanggan. Kemudian ia mengajak dan mengajari para pemuda disekitar lingkunganya agar bisa membantu pekerjaanya. Akhirnya para pemuda tersebut memiliki skill ( ketrampilan) mencukur rambut dan  mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya itu. Sebagian bahkan telah membuka kios cukur rambut sendiri.
Kemudian ada seorang penceramah Agama yang fasih membawakan ayat-ayat dan dalil-dalil namun dirinya menggiring jamaah untuk membenci dan menganggap rendah orang lain yang tidak mengikuti dirinya. Ia selalu menebar kebencian melalui ceramahnya.
Ada juga orang yang rajin ke masjid dan musholla namun rajin juga bertengkar dengan tetangga. Ia menganggap orang yang tidak rajin ke masjid tidak lebih baik dari dirinya. Semakin rajin shalatnya semakin rajin pula membicarakan keburukan orang lain.
Dari beberapa contoh diatas tentu dapat kita simpulkan bahwa standar seseorang memiliki ilmu bermanfaat bukanlah orang yang pandai ilmu Agama saja. Namun seorang yang memiliki kompetensi ilmu apapun selama ilmu tersebut bermanfaat bagi diri dan orang lain.
Orang soleh bukan berarti orang yang tampak rajin ke masjid dan musholla saja, orang yang fasih membaca Alquran saja, Namun orang yang hidupnya mampu memberikan kemanfaatan bagi kehidupan diri dan orang lain.
Persepsi yang salah akan berakibat pada reaksi yang salah pula terhadap sesuatu. Seseorang yang beranggapan bahwa anak yang soleh adalah anak yang pintar mengaji, sekolah di madrasah dan belajar di pesantren saja maka akan menganggap anak yang kurang bisa mengaji, belajar di sekolah umum dan tidak pernah di pesantren sebagai anak yang tidak soleh.
Persepsi dan sikap seperti diatas merupakan kesempitan berfikir dan kesalahan dalam memahami makna ilmu bermanfaat dan anak soleh.
Wallohu a'lamÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H